DAMPAK
GELIAT WISATA PADA TENURIAL DI KARIMUNJAWA
Isai
Yusidarta, ST., M.Sc*
Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ)
telah didorong menjadi salah satu pusat pertumbuhan pariwisata di Jawa Tengah,
yang dengan sadar mendorong sistem “Uang Harus Tumbuh” melalui industri wisata.
Menggeliatnya industri wisata ditandai dengan peningkatan jumlah kunjungan
wisatawan. Tahun 2011 tercatat 39.224 (wisnu 37.208 dan wisman 2.016) orang dan
Tahun 2015 tercatat 92.115 (wisnu 84.536 dan wisman 7.579) orang. Jika
berdasarkan tarif PNBP pada PP No.59 Tahun 1998 (sudah tidak berlaku) dan PP
No. 12 Tahun 2014, terdapat potensi uang yang beredar setara Rp 133.340.000,00
(2011) – Rp 1.559.530.000,00 (2015), belum termasuk souvenir, transportasi,
konsumsi dan akomodasi.
Paling mudah mengamati geliat
industri wisata di Karimunjawa adalah bertambahnya sarana akomodasi homestay
dan hotel. Tahun 2000 hanya terdapat 2 homesaty, 1 hotel dan 1 resort. Tahun
2015 jumlah hotel dan homestay menjadi 28 bangunan dengan 6 hotel, 3 resort dan
17 homestay. Tahun 2016 telah dibuka lagi 1 bangunan hotel bintang 3.
Pertumbuhan sarana akomodasi tersebut, membutuhkan lahan dengan luasan cukup
banyak.
Bukti Peralihan Lahan (Tanah)
Berkaca pemberitaan Suara Merdeka
tanggal 28 Nopember 2016 dengan judul berita “Punggung Karimunjawa Kini
Berbopeng”, salah satu pejabat di Karimunjawa menyatakan “pengeprasan dan
pengerukan lahan itu milik perorangan yang beralamat di Solo yang sudah lama
disini”. Ditulis pula bahwa luas lahan tersebut 3 hektar dan berada di bawah
hutan lindung yang diatasnya. Hal ini dapat diduga telah terjadi peralihan
penguasaan lahan di luar kawasan konservasi TNKJ ke pemilik di luar penduduk
Kepulauan Karimunjawa.
Sepanjang jalan Karimunjawa –
Kemujan dijumpai MMT dijual tanah sekian ribuan meter2 sampai 30.000
m2 atau 3 hektar. Sangat
jarang penawaran tanah ukuran kavling rumah tinggal. Dapat diduga, penjualan
lahan dalam ukuran besar tujuannya menyasar investor untuk berinvestasi di
Karimunjawa. Hotel, homestay dan resort yang didirikan belakangan ini,
kemungkinan investornya berasal dari “luar”. Berbagai keterangan yang
diperoleh, sarana akomodasi tersebut ada yang dimiliki oleh “Bule”. Kita
harapkan bule tersebut sudah melakukan naturalisasi kewarganegaraan menjadi
warga negara Indonesia. Jika tidak, bagaimana “Bule” memiliki tanah di
Kepulauan Karimunjawa? (tidak kita bahas di sini).
Upaya peralihan penguasaan lahan,
juga terjadi di dalam kawasan TNKJ. Tanggal 19 Februari 2008 terjadi penerbitan
sertifikat yang terdiri dari 5 bidang setara 170.027 m2 atau 17,0027
ha di bagian daratan TNKJ yang dulunya Cagar Alam Pulau Karimunjawa dan telah
ditata batas temu gelang dengan keluarnya Berita Acara Tata Batas Cagar Alam
Pulau Karimunjawa pada tanggal 13 Maret 1989. Pada tahun 2015, BTNKJ menghadapi
gugatan perdata dari salah satu oknum masyarakat yang melakukan klaim lahan di
dalam kawasan TNKJ walaupun hasil akhirnya Pengadilan Negeri Jepara membatalkan
pencatatan gugatan yang diajukan penggugat oknum masyarakat.
Mengapa Terjadi Peralihan Lahan
Bruce (1998) dalam Affandi dan Harianja (2008), menyatakan bahwa dalam kajian Land tenure system kata tenure berasal
dari kata dalam bahasa Latin “tenere” yang mencakup arti: memelihara, memegang,
atau memiliki. Land tenure berarti
sesuatu yang dipegang dalam hal ini termasuk hak dan kewajiban dari pemangku
atau penguasa lahan. Land tenure
adalah istilah legal untuk pemangkuan lahan, dan bukan hanya sekedar fakta
pemangkuan lahan. Seseorang mungkin memangku lahan, tetapi ia tidak selalu
mempunyai hak menguasai.
Berdasarkan
pengertian di atas, penguasa lahan mempunyai hak dan kewajiban atas tanah yang
dikuasainya. Artinya dapat berbuat “apapun” atas lahan yang dikuasainya.
Bagaimana jika masyarakat “kecil” yang menguasai lahan tersebut? Fakta di
lapangan dan tidak hanya terjadi di Karimunjawa, bahwa suatu ketika akan
dilepaskan penguasaan atas lahan. Alasan – alasan yang banyak diungkap dari
pemegang awal lahan adalah :
1) Tidak punya “modal” untuk
mengembangkan lahan sebagai modal alam. Modal dimaksud tidak hanya mencakup
fisik (bangunan dan finansial) tetapi juga sumber daya manusianya (keahlian dan
ketrampilan) serta modal sosial secara vertikal. ;
2) Adanya
keinginan “pemenuhan kebutuhan baru dan semakin meningkat dan banyak variasinya”.
Masyarakat Karimunjawa telah mengalami transformasi gaya hidup, sejak industri
wisata masuk. Perubahan gaya hidup tentunya menambah biaya hidup.
Pengendalian
oleh Stakeholder dan BTNKJ
Mencegah peralihan lahan sangat
sulit bahkan tidak mungkin, apalagi pada lahan hak milik. Di Kecamatan Karimunjawa,
pengendalian yang bisa diterapkan ada di izin
mendirikan bangunan (IMB). “Kalau luasnya di bawah 100 m2 itu otoritas
kecamatan, tetapi kalau lebih lewat kabupaten,” kata salah satu pejabat di
Kecamatan Karimunjawa seperti dikutip dari harian Suara Merdeka tanggal 28
Nopember 2016. Inilah peran Pemda Jepara dalam mengendalikan peruntukan lahan
di luar kawasan TNKJ dan di lahan milik masyarakat.
Balai Taman Nasional Karimunjawa
(BTNKJ) melaksanakan patroli rutin, patroli fungsional, dan patroli gabungan dengan
kepolisian untuk mencegah terjadi peralihan lahan di dalam kawasan TNKJ. Ini
pun, masih ada upaya oknum masyarakat untuk memiliki lahan di dalam TMKJ
terutama pada daerah yang berbatasan langsung dengan lahan masyarakat. Modus yang
digunakan adalah perusakan sarana prasarana perlindungan hutan berupa pal batas
dan penebangan pohon untuk menambah luas
lahannya. Pada tahun 2017, dengan output kegiatan menurunnya gangguan pada
kawasan TNKJ telah dianggarkan Rp 1.376.687.000,00 melalui kegiatan pengamanan
kawasan (baik pre-emtif, persuasif dan penegakkan hukum) dan sosialisasi
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berkaitan hal di atas, Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) wilayah kerja Kabupaten Jepara yang menerima
pensertifikatan tanah di Kecamatan Karimunjawa dan berdekatan dengan batas kawasan
TNKJ, seyogyanya meminta rekomendasi BTNKJ yang berkoordinasi dengan Balai
Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah IX Jawa dan Madura.
Setiap tahun BTNKJ menganggarkan
kegiatan pengembangan usaha ekonomi desa di desa penyangga TNKJ untuk mendukung
peningkatan pendapatan masyarakat. Pada tahun 2017 dengan output kegiatan
terciptanya usaha ekonomi produktif di desa sekitar taman nasional telah
dianggarkan Rp 238.478.000,00. BTNKJ juga membentuk dan membina Sentra Penyuluhan
Kehutanan Terpadu (SPKP) Mangga Delima yang bergerak di persewaan peralatan
pesta di Desa Kemujan dan Karya Bhakti yang bergerak di bidang simpan pinjam,
persewaan alat selam dan membuka kios kelontong di Desa Karimunjawa. SPKP selalu
didampingi fungsonal penyuluh dan rutin melaksanakan pertemuan rutin. Hasil
audit SPKP menunjukkan bahwa deviden yang dibagi kepada setiap anggota
meningkat disertai peningkatan aset kelompok.
Pengembangan homestay, merupakan
satu jalan mencegah peralihan lahan milik masyarakat di TNKJ. Homestay adalah “rumah
dan tempat tinggal” milik warga setempat yang dikembangkan sebagai penginapan
bagi wisatawan sekaligus tempat edukasi wisatawan mengenal filosofi kehidupan pemiliknya.
Wisata di TNKJ dapat mengeksplorasi filosofi kehidupan masyarakat Karimunjawa. Pemda
harus membuat terobosan, agar pengembangan homestay dapat diajukan dalam
penganggaran pembangunan dengan aturan “mengikat dan tidak menjerat”. Pemda dapat
mendorong perbankan terlibat dalam merenovasi rumah agar layak sebagai homestay
dengan memberikan insentif fiskal. Juga memberikan jaminan pendampingan dan
pengawasan pengelolaan homestay dengan menggerakkan penyuluh wisata yang
dididik, dibiayai dan bertanggung jawab ke pemda setempat.
Peningkatan pendapatan masyarakat
dan homestay dapat mencegah peralihan tenurial.
*Pengendali Ekosistem Hutan Balai Taman Nasional
Karimunjawa