Selasa, 27 Maret 2018

RE-BORN TAMBAK UDANG DI KARIMUNJAWA



RE-BORN TAMBAK UDANG DI KARIMUNJAWA
Oleh : Isai Yusidarta, ST., M.Sc.
(Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda – Balai Taman Nasional Karimunjawa)
Gambar 1. Tambak udang sistem intensif di Jatikerep. Lokasinya di luar kawasan TNKj tetapi pengambilan air laut untuk pengisian kolam berasal dari perairan TNKj. Pembuangan air dari kolam tambak pada sat penggantian air dan panen langsung ke perairan TNKj karena tidak terdapat sungai yang melintasi kawasan tambak tersebut. Inilah ancama yang nyata terhadap perairan TNKj. (Sumber : Dokumentasi BTNKj)
Tambak di Karimunawa seperti mengalami re-born (terlahir baru) pada akhir tahun 2017 dan 2018 setelah kolaps pada sebelum tahun 2000. Mengapa? Tambak udang windu dan galah mengalami booming (berkembang masif) pada periode 1990-an, lahan mangrove dibuat menjadi tambak bahkan saat ini masih tersisa jejak bekas tambak pada saat itu.  Aktivitas pertambakan betul – betul berakhir sebelum periode 2000an, artinya bekas – bekas tambak dibiarkan dan mulai ditutupi oleh vegetasi mangrove.
Periode 2000 – 2017 merupakan masa pemulihan ekosistem mangrove. Semua tambak telah ditutupi dengan tegakan mangrove yang tumbuh alami di bekas – bekas kolam tambak udang. Tumbuhanya tegakkan mangrove menandai kondisi pemulihan secara alamiah. Kawasan mangrove menunjukkan daya lenting menuju keseimbangan biogeokimia. Sisa – sisa peninggalan usaha tambak seperti limbah kelebihan pakan telah terurai selama hampir 17 tahun sudah tidak terlihat. Penyakit udang yang dulu menghancurkan usaha tambak udang windu dan galah tidak lagi terdengar dari mulut petambak. Artinya, kawasan mangrove di Karimunjawa ibaratnya gadis cantik yang telah lahir kembali sehingga menarik minat penanam modal.
Akhir 2017 dan awal 2018 ini, di kantor Balai Taman nasional Karimunjawa (BTNKj) sampai terdengar diskusi mengenai pengajuan ijin tambak udang vaname oleh pengusaha (investor). Sampai harus masuk satu rauangan ke ruangan yang lain untuk mencari pendapat staf BTNKj. Dilapangan terdengar deru excavator yang mulai mengeruk bekas lahan tambak yang sudah menghijau oleh tegakan mangrove. Mangrove tercabut, terbentuk petak – petak tambak. Ketika di ground check di tingkat tapak, lokasi tambak berada di luar kawasan TNKj. Luasan tambak yang sudah, sedang dan akan beroperasi hingga awal 2018 ini sekitar 20 ha.
Perbedaan Tahun 1990 dan 2017
            Terdapat banyak perbedaan apabila tambak periode 1997-an diperbandingkan dengan tambak yang mulai bersemi kembali pada saat ini. Re-born tambak di Karimunjawa menggunakan sistem tambak intensif. Hal yang paling mencolok dalam sistem intensif adalah mencegah air di dalam kolam dan udang kontak (terdedah/ ter-exposure) dengan substrat (tanah) di lokasi, pemberian kincir air untuk mempertahankan oksigen terlarut (dissolved oxygen/ DO) dalam perairan tetap optimal dan pemberian pakan buatan. Perbedaan itu dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Jenis udang dan metoda tambak yang dikembangkan di Karimunjawa
No
Substansi
Tahun 1990-an
Tahun 2017-an
1.
Jenis Udang
Udang Windu dan Galah
Udang Vaname
2.
Sistem tambak
Tradisional – semi intensif
Intensif
3.
Persiapan lahan
Tenaga kerja manusia
Excavator
Sumber : Data primer hasil wawancara dan pengamatan yang diolah
Penggunaan jenis udang Vaname (Lithopenaeus vannamei) berasal dari Amerika Selatan. Keunggulan jenis udang ini adalah 1) Responsif terhadap pakan dengan kadar protein 25 - 30%  (lebih rendah dari udang windu); 2) Kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap lingkungan suhu rendah; 3) Adaptasi terhadap perubahan salinitas (khususnya pada salinitas tinggi); 4) Laju pertumbuhan yang relatif cepat pada bulan I dan II; 5) Angka kehidupan (survival rate/SR)  hidup tinggi; 6) Dapat ditebar dengan kepadatan tinggi karena hidupnya mengisi kolom air bukan di dasar saja; dan 6) Serapan pasar luas, mulai dari ukuran 10 hingga 25 gram per ekor.
Gambar 2. Penggunaa excavator untuk pembukaan petak - petak lahan tambak di wilayah SPTN II Kemujan. Penggunaan traktor menjadi pertanyaan, apakah layak disebut pembudidaya ikan kecil yang kemudian diberikan TPUPI? Apakah tidak layak disebut pembudidaya ikan besar maka harus diberikan SIUP (Surat Ijin Usaha Pembudidayaan) (Sumber : Dokumen BTNKj)

Tambak berbentuk persegi panjang dengan ukuran 70 meter x 50 meter dengan kedalaman 1 meter – 1,5 meter. Permukaan kolam dilapisi plastik hitam (mencegah terpapar dasar kolam) yang disambung satu dengan yang lainnya dengan cara pemanasan, agar tidak bocor. Kincir air bergerak terus di dalam kolam sebanyak 4 sampai 6 bahkan bisa 8 buah membuat percikan air tambak. Selanjutnya yang pasti ditandai dengan pembentukan pakan mulai dari mengkultur pakan alami sewaktu ukuran udang vaname masih kecil di dalam tambak hingga pakan buatan berupa pellet (pakan buatan) pada saat udang sudah berumur 60 hari. Itulah gambaran pembukaan tambak intensi di Karimunjawa pada saat re-born ini.
Persamaan Pengelolaan Tambak
Sebagai masyarakat subsisten, penduduk Karimunjawa pada kedua periode usaha tambak hanya sebagai obyek baik sebagai pekerja maupun pemilik tambak. Proporsi perputaran uang yang dihasilkan dari usaha tambak tidak seimbang antara masyarakat lokal dengan subyek yaitu investor. Masyarakat lokal hanya bergerak dalam masa persiapan pembuatan tambak sebagai pekerja kasar yaitu meratakan dasar tambak, merapikan tanggul tambak, merekatkan plastic membran yang akan dipasang menutupi tambak, menebarkan kapur untuk menurunkan derajat keasaman substrat sekitar tambak. Upah pun tidak melebihi dari UMP Kabupaten Jepara. Jika petak tambak selesai dibuat, para pekerja kasar ini akan berhenti bekerja.
Setelah tambak siap, tambak memasuki tahapan seperti pengisian air, pemasangan peralatan seperti kincir air, operasional pompa airdan peralatan tambak intensif lainnya dilakukan oleh tenaga terampil. Selanjutnya kultur pakan alami udang vaname saat masih juvenile, penggantian air secara teratur, pengukuran kualitas air secara teratut dan pengaturan pemberian pakan buatan (pallet) setelah udang berusia 60 hari dilakukan oleh tenaga ahli. Ada kemungkinan penggunaan tenaga terampil dan tenaga ahli bukan berasal dari masyarakat lokal. Ataupun kalau mempergunakan masyarakat lokal haruslah yang pernah terlatih dan dipercaya oleh investor.
Artinya, masyarakat lokal Karimunjawa tetaplah masyarakat subsisten yang sebenarnya hidupnya tergantung pada sumber daya alam Karimunjawa, tetapi tidak bisa meningkatkan penghasilan hanya sekedar mempertahankan hidup dengan mengambil porsi yang kecil dalam usaha re-born tambak udang Vaname ini. Tidak ada perbedaan posisi masyarakat Karimunjawa antara periode tambak udang Windu dan Galah dengan periode tambak udang Vaname. Kondisi ini diperkuat dengan Tabel 2, yang memperlihatkan posisi masyarakat lokal dalam usaha tambak udang di Karimunjawa

Tabel 2. Persamaan posisi masayarakat dalam usaha tambak udang di Karimunjawa
No
Substansi
Tahun 1990-an
Tahun 2017-an
1.
Subyek (pemilik operasional)
Investor luar
Investor luar
2.
Obyek (pekerja)
Masyarakat lokal
Masyarakat lokal
3.
Pemilik lahan
Masyarakat lokal
Masyarakat lokal
4.
Sistem pemakain lahan
Sewa
Sewa
5.
Tenaga kerja
Masyarakat lokal
Masyarakat lokal
6.
Keuntungan
Investor luar
Investor luar
7.
Pengolahan limbah
Tidak ada
Tidak ada
Sumber : Data primer hasil wawancara dan pengamatan yang diolah
Asumsi - Asumsi
            Berdasarkan analisa yang disampaikan di atas, dapat disampaikan asumsi – asumsi tentang re-born (menggulirkan kembali) usaha pengembangan tambak udang di Karimunjawa sebagai berikut :
Pertama. Bukan matapencaharian alternatif. Parameter yang dapat menyatakan suatu kegiatan usaha dikatakan sebagai matapencaharian alternatif adalah masyarakat lokal berperan sebagai subyek dan pemegang keuntungan terbesar karena pendapatan itu dapat mencukupi kebutuhan keluarganya. Tetapi yang terjadi di Karimunjawa adalah :
1)      Masyarakat lokal hanya menjadi obyek, investor dari luar Karimunjawa (1 – 2 orang saja asli Karimunjawa). Apalagi sebenarnya masyarakat lokal-lah yang mempunyai lahan mangrove yang dapat dikembangkan menjadi tambak.
2)      Masyarakat lokal pun menyewakan lahan tambak mereka kepada investor per petak ukuran 70 meter x 50 meter senilai Rp 6.000.000,- per tahun.
3)      Masyarakat hanya sebagai buruh. Biaya (pegawai/buruh) dalam analisa studi kelayakan bisnis tambak vaname sekitar Rp 6.000.000,-/siklus, yang terdiri dari 1 teknisi, 2 pemberi pakan dan 1 operator mesin. Modal siklus pertama yang terdiri dari biaya investasi awal dan biaya siklus 1 mencapai 1 milyar. Proporsinya sangat jauh dari 1 %.
Kedua. Bukan matapencaharian yang berkelanjutan. Kata kuncinya adalah sewa. Lama sewa di Karimunjawa hanya 4 tahun. Diestimasi, tahun keempat pemodal akan meninggalkan Karimunjawa karena keuntungan sudah tidak optimal dan menyisakan kolam bekas tambak yang sudah tidak layak diusahakan. Mencermati analisa budidaya udang vanname yang bertebaran di blog – blog dunia maya, semua modal yang dikeluarkan untuk tambak udang langsung tertutup pada siklus pertama. Siklus kedua dan selanjutnya hanya menunggu lahirnya keuntungan. Para investor tidak perlu berhitung rumit tentang BEP – Break Even Point, BCR – Benefit Cost Ratio, IRR – Internal Rate Return. Kepentingan pragmatis.
Ketiga. Belum ramah lingkungan. Fakta di lapangan kolam tambak udang di Karimunjwa tidak dilengkapi dengan pengelolaan air limbah dari kolam sebelum dibuang. Penggantian air langsung dibuang begitu saja, terutama saat panen. Tambak ramah lingkungan dilengkapi dengan 4 kolam yaitu kolam fisika, kimiawi, biologis dan sampel. Fungsi keempat kolam tersebut berbeda – beda yaitu :
1)      Kolam fisika untuk memisahkan  limbah padat, cair dan gas misalnya pasir, lumpur maupun sisa pakan yang terendapkan.
2)      Kolam kimiawi  untuk mengelola limbah dari kolam fisika dengan menggunakan bahan kimia tertentu sehingga limbah mudah dipisahkan.
3)      Kolam biologis fungsinya mengolah air dari kolam kimiawi untuk dinetralkan dengan menggunakan bakteri probiotik seperti jenis bakteri Bacillus. 
4)      Kolam sampel merupakan tahap terakhir mengolah air limbah hasil budidaya sebelum di baung ke laut. Kolam ini efektifnya menggunakan ikan, misalnya ikan bandeng sebagai kontrol.
Keempat. Tidak berpihak pada masyarakat lokal. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan no. 49/2014 tentang Usaha Pembudidayaan Ikan pada pasal 12 (a), 13 dan 21, memang berpihak pada pembudidaya ikan kecil. Tetapi persyaratan untuk memperoleh TPUPI (tanda pencatatan usaha pembudidayaan ikan) berupa kartu tanda penduduk (KTP) dan surat pernyataan bermaterai cukup yang menyatakan luas lahan yang digunakan dan jenis ikan yang dibudidayakan tidak lebih dari 5 ha untuk budidaya air payau. Artinya, pembudidaya ikan kecil belum tentu masyarakat lokal. Fakta, investor saat ini sewa lahan masyarakat lokal dan bukan warga asli dan bertempat tinggal di Karimunjawa sesuai dengan kartu tanda penduduk asalnya. Bagaimana kondisi yang demikian disebut pembudidaya ikan kecil? Pembudidaya ikan kecil kok bisa melakukan ekpansi keluar daerah asalnya. Adakah kemungkinan permainan administrasi dalam pengurusan ijin? Hanya investor, pemilik lahan, petugas dan Tuhan yang tahu.
Kelima. Hasil panen bukan untuk pemenuhan kebutuhan pasar Karimunjawa. Pasar Karimunjawa tidak akan dapat menyerap semua hasil panen, selain permintaan kecil juga telah terpenuhi dengan substitusi produk lain seperti ikan segar yang lebih disukai oleh wisatawan. Rente ekonomi yang dihasilkan lebih besar jika hasil panen di lempar ke daratan pulau Jawa. Jumlah penduduk besar, permintaan tinggi adalah pasar potensial.
Konsensus Bersama
Kegiatan investasi merupakan wujud pembangunan suatu daerah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Investasi menggerakan sendi perekonomian masyarakat. Tidak terkecuali di Karimunjawa. Setelah kolaps-nya tambak udang windu sebelum tahun 2000, geliat ekonomi masyarakat Karimunjawa murni dari sektor pariwisata yang mendorong pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Selain itu ditopang dengan perikanan tangkap, tetapi sudah menjadi rahasia umum bahwa nelayan Karimunjawa juga menangkap keluar Kepulauan Karimunjawa.
Apakah geliat tambak udang vaname saat ini akan mengulangi sejarah tambak udang windu sebelumnya? Melihat kelima parameter di atas, secara teori pasti akan terjadi cepat atau lambat jika tidak didasari suatu konsensus bersama diantara para stakeholder mulai dari tingkat desa, Kecamatan Karimujawa, Kabupaten Jepara dan Propinsi Jawa Tengah.
Pertama. Pemberdayaan masyarakat lokal sebagai subyek investasi. Kunci dasarnya, masyarakat lokal pemilik lahan dan masyarakat lokal sebagai tenaga terampil dan ahli mengelola tambak udang. Bagaimana bisa menciptakan masyarakat lokal sebagai investor, tenaga terampil dan ahli serta bukan buruh? Syaratnya adalah :
1)      Pimpinan instansi pemerintah dapat menggerakkan penyuluh perikanan untuk mendampingi budidaya udang vaname. Mengapa? Penyuluh perikanan mempunyai peran strategis. Melalui penyuluh perikanan dapat memberikan bimbingan teknis kepada pemilik lahan dan masyarakat yang mau dan mampu menjadi tenaga pembudidaya yang terampil dan ahli. Penyuluh perikanan juga dapat membentuk daya dan pola pikir masyarakat lokal untuk memanfaatkan sumber daya alamnya secara berkelanjutan. Penyuluh perikanan dapat memberikan pengetahuan tentang distribusi hasil – hasil tambak dari hulu hingga hilir. Bahkan ada kemungkinan penyuluh perikanan dapat menghubungkan langsung dengan user, sehingga memotong jalannya distribusi hasil tambak
2)      Pemerintah daerah dapat mengarahkan perbankan untuk mengucurkan modal usaha berbunga lunak (rendah) dengan jaminan dari APBD sektor perikanan budidaya.
Kedua. Para pemilik lahan bergabung bersama dalam kelompok besar untuk dapat mensiasati permodalan. Dengan berkelompok, maka luas lahan yang dapat diajukan sebagai jaminan perbankan akan semakin besar dan mampu memenuhi kriteria capital dalam pengajuan kredit modal usaha tambak udang vaname. Nilai capital merupakan syarat bankable yaitu sebagai nilai jaminan atau agunan pada sebuah bank untuk memberikan modal kerja.
Penggabungan nelayan dalam kelompok besar juga mempunyai resiko apabila tiap anggota tidak solid dan tidak mau mentaati aturan yang menjadi kesepakatan bersama. Hal ini dibutuhkan penengah yang dapat menjadi pembimbing. Penengahnya dapat seorang penyuluh atau bapak angkat yaitu perusahaan yang dapat menampung hasil tambak kelompok tersebut. Hasil tambak di Karimunjawa, dari data yang di dapat akan didistribusikan ke Pulau Jawa. Artinya, user hasil tambak udang selain jadi penengah juga dapat mendapat prioritas membeli hasil panen dengan harga wajar.
Ketiga. Keberpihakan dalam penerbitan TPUPI. Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan no. 49/2014 tidak mensyaratkan status masyarakat lokal (Karimunjawa – red) sebagai pemegang TPUPI. Karena TPUPI diberikan kepada siapapun pembudidaya ikan kecil yang telah memenuhi persyaratan, diantaranya lahan. Lahanpun ternyata tidak mensyaratkan milik sendiri, tetapi dapat dapat diterjemahkan bisa menyewa lahan yang letak lokasinya dapat dimanapun (tidak harus sesuai dengan kartu tanda penduduk investor), yang penting lahan tersedia di lokasi yang akan dijadikan tambak. Sehingga dilokasi budidaya tambak tidak harus masyarakat lokal yang mengusahakan. Tetapi instansi pemegang wewenang pengeluaran TPUPI dapat mensiasati dengan memberikan skala prioritas ataupun kuota yang lebih besar bagi masyarakat lokal Karimunjawa. Dan apabila konsensus pertama dan kedua di atas dapat dijalankan dengan baik dan menjadi kesepakatan bersama, sehingga masyarakat lokal mempunyai modal sendiri maka harus diprioritaskan untuk mendapat TPUPI.
Keempat. Pemantauan terhadap kualitas air buangan dari kolam tambak udang. Perlu membuat fasilitas pengelolaan limbah air kolam tambak sebelum dibuang ke perairan. Mengingat limbah yang dihasilkan dari air buangan kolam tambak dapat mempengeruhi perairan laut Taman Nasional Karimunjawa (TNKj) yang di dalamnya terdapat ekosistem terumbu karang yang menjadi ikon wisata. Limbah yang dibuang langsung dapat menyebabkan blooming algae di perairan pesisir Karimunjawa dan sangat berbahaya berbahaya karena menyebabkan dissolved oxygen dapat turun kadarnya hingga menyebabkan kondisi anoxic (tanpa oksigen). Balai TNKj dengan program bantuan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan dapat menggandengan stakeholder seperti dinas lingkungan hidup untuk gayub mendorong tersedianya instalasi pengolahan limbah tersebut secara swadaya oleh pembudidaya tambak udang.
Dengan adanya konsensus di atas, diharapkan re-born tambak udang yang terjadi di Karimunjawa tidak terlahir untuk kepentingan sesaat, tetapi juga memenuhi asas sustainable (keberlanjutan) baik hasil tambak maupun keberadaan sumber daya alam di TNKj. Keberadaan tambak di sekitar kawasan TNKj dapat bersinergi bahkan menambah obyek daya tarik wisata baru.
ANTISIPASI OLEH BALAI TNKj
            Balai TNKj selaku pemegang mandat pengelolaa Taman Nasional Karimunjawa, sudah seharusnya mulai mengantisipasi usaha tambak udang Vaname ini, baik jika tambak udang berhasil terus menerus (kalo harapan dari pengembangan perekonomian untuk mendapatkan keuntungan finansial pasti akan berlanjut terus) atau ketika usaha tambak sudah kolaps atau mati (kita tahu tambak udang rentan serangan penyakit) karena sudah tidak dapat memberikan keuntungan finansial secara  optimal.
            Keberhasilan pengusahaan tambak udang tidak hanya dilihat dari kuantitas dan kualitas produk udang yang dipanen, tetapi keberlangsungan panen yang berkelanjutan berarti manajemen pertambakan udangnya sangat bagus. Menjadi penentu adalah bagaimana kondisi perairan TNKj yang pasti menerima efek samping ketika tambak udang tambak udang berproduksi terus. Berproduksi terus berarti juga menghasilkan limbahberupa endapan padat, cair dan gas yang dihasilkan dari sisa – sisa pakan yang tercampur di dalam air tambak. Jangan sampai terulang lagi kondisi perairan di Taman Nasional Kepulauan Seribu ketika karamba jarring apung beroperasi terus di kawasan tersebut.
            Sudah seharusnya, Balai TNKj melakukan langkah – langkah sebagai berikut :
1)      Membuat plot – plot permanen untuk melakukan pengukuran kualitas fisika dan kimia perairan di lokasi yang terpengaruh langsung oleh pembuangan air dari kolam tambak baik pada saat penggantian air selama pemeliharaan maupun pembuangan air terbesar pada saat panen;
2)      Mengambil data kualitas fisika dan kimia perairan secara periodic di plot – plot permanen;
3)      Melengkapi SPTN I Kemujan dan SPTN II Karimunjawa dengan peralatan portable untuk mengukur kualitas fisika dan kimia perairan seperti DO meter (kadar oksigen terlarut dalam perairan), PH meter (Kadasr asam – basa perairan), Termometer (suhu), Salinometer (salinitas), secchi disk (kecerahan perairan).
4)      Mengambil contoh sampel air pada plot – plot permanen untuk di analisa di laboratorium. Untuk menekan biaya analisa sampel sebaiknya di buat kerjasama dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabupaten Jepara dan Jawa Tengah yang mempunyai laboratorium (mengingat pengawasan lingkungan hidup adalah tupoksinya karena ada juga fungsional pengawas lingkungan hidup);
5)      Melakukan koordinasi dan konsultasi dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabupaten Jepara dan Jawa Tengah untuk membahas hasil – hasil monitoring keberlangsungan tambak dan hasil analisa sampel perairan yang rutin diukur dan diambil dari plot – plot permanen;
6)      Sangat penting yang harus dikerjakan bersama dengan stakeholder lain adalah mendorong dibuatnya semacam instalasi pengolahan limbah air dari kolam tambak sebelum dibuang ke perairan laut seperti yang telah dibahas diatas yang terdiri dari 4 kolam yaitu kolam pengolahan fisik, kimia, biologis dan sampel;
7)      Apabila tambak udang telah ditinggal/ dibiarkan karena sudah tidak optimal menghasilkan keuntungan financial, maka bersama – sama dengan pemangku kepentingan lainnya untuk melakukan restorasi untuk mencegah pengaruh sampingan lainnya dan dapat digunakan untuk re-born tambak udang selanjutnya.

Gambar 3. Peta degradasi lahan di luar kawasan BTNKj. Beberapa titik adalah degradasi lahan akibat pemanfaatan kawasan mangrove di luar TNKj yang dimanfatkan sebagai tambak udang. Wilayah pemantauan SPTN II Karimunjawa. (Dokumen BTNKj)

Gambar 4. Peta degradasi lahan di luar kawasan BTNKj. Beberapa titik adalah degradasi lahan akibat pemanfaatan kawasan mangrove di luar TNKj yang dimanfatkan sebagai tambak udang. Wilayah pemantauan SPTN I Kemujan. (Dokumen BTNKj)


Pustaka :


Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 49/Permen-KP/2014 tentang Usaha Pembudidayaan Ikan

Rabu, 14 Maret 2018

ALTERNATIVE DISPUTE RESOLUTION DI PERAIRAN KARIMUNJAWA
Oleh Isai Yusidarta ST., M.Sc.
(Pengendali Ekosistem Ahli Muda Balai Taman Nasional Karimunjawa)

Foto drone oleh Nugroho Dri Atmojo di dalam kawasan perairan Taman Nasional Karimunjawa
Kapal merupakan alat transportasi yang paling tua dalam sejarah peradaban manusia yang digunakan hingga saat ini. Menggangkut logistik adalah dominasi fungsi kapal modern saat ini. Pergerakan kapal dalam lalu lintas di laut seringkali mengakibatkan gangguan pada ekosistem terumbu karang, termasuk di dalam perairan Taman Nasional Karimunjawa (TNKj). Karena letaknya yang strategis di tengah – tengah perairan Laut Jawa menjadi persimpangan kapal – kapal komersial dalam jalur pelayarannya. Alasan cuaca ekstrim, seringkali berlabuh di dalam perairan TNKj. Padahal, TNKj sebagai kawasan konservasi (laut), sudah menjadi salah satu dari 10 kawasan yang harus bebas dari alur pelayaran yang memasuki perairan dalam pulau.
Sejak kasus Caledonia Sky, vessel grounding (kapal kandas) di periran TNKj mulai terkuak ke permukaan publik dan media sosial. Penangannya menggunakan Undang – Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Pengelolaan dan Perlindungan Lingkungan Hidup. Tug Boat Samudera Pratama 01 – Tongkang SPA27007 merupakan salah satu contoh penanganan kapal kandas di perairan Telaga TNKj yang menggunakan skema penyelesaian sengketa lingkungan hidup (PSLH) di luar pengadilan atau Alternative Dispute Resolution (ADR).
Latar belakang ADR adalah 1) Ketidakpuasan terhadap proses pengadilan yang memakan waktu yang relatif lama, mahal dan sulit; 2) Penyelesaian sengketa melalui pengadilan menimbulkan perasaan bermusuhan di antara para pihak; 3) Adanya budaya musyawarah yang telah dikenal dalam berbagai masyarakat; 4) Penyelesaian bersifat win-win solution; 5) memperhatikan aspek substantif, prosedural dan psikologis; dan 6) kedudukan kedua belah pihak  yang bersengketa adalah “sama kuat” di mata hukum, sangat beda ketika sudah memasuki ranah pengadilan.
Sesuai Pasal 86 UU No. 32 Tahun 2009 penyedia jasa mediator pada kasus vessel grounding TB SP 01- SPA27007 adalah Sub Direktorat Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan, Direktorat Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Pelaksanaan ADR
Secara riil, grounding vessel  diatas diawali oleh laporan warga Desa Kemujan pada tanggal 15 Agustus 2017 kepada Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Kemujan, diteruskan ke Balai TNKj, yang selanjutnya membuat laporan ke Direktorat  Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup.
Melalui Sub Direktorat Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup di Luar Pengadilan sebagai mediator, membentuk tim penyelesaian yang terdiri dari ahli kerusakan terumbu karang, ahli ekologi terumbu karang dan ahli valuasi ekonomi kerusakan terumbu karang yang kompeten ditunjukkan dengan sertifikat keahlian atau kompetensi di bidangnya untuk melaksanakan verifikasi lapangan pada tanggal  11 – 15 September 2017.  
Verifikasi lapangan dilaksanakan dengan konsep join survey bersama pengacara dan tim ahli yang ditunjuk pihak perusahaan pemilik kapal. Pelaksanaan join survey juga dihadiri oleh Dinas Lingkungan Hidup Jepara, Dinas Lingkungan Hidup Jawa Tengah dan perwakilan stakeholder lokal seperti syahbandar, navigasi dan lain – lain.
Pada saat join survey telah terjalin kesamaan : 1) Lokasi pengukuran kerusakan terumbu karang; 2) Metoda pengukuran kerusakan terumbu karang; 3) Metoda penilaian ekologi terumbu karang; 4) Stasiun sampling ekologi terumbu karang, dan; 5) Metoda valuasi ekonomi terumbu karang. Tujuannya adalah tidak terdapat perbedaan pendapat yang dapat mengakibatkan “debat kusir” pada tahapan ADR selanjutnya. Disaat waktu jeda selama join survey, tidak jarang terjadi diskusi mendalam di antara tim ahli kedua belah pihak. Hal ini penting untuk meminimalkan perbedaan pendapat dan menyelesaikan kemungkingan beda hasil di lapangan secepat mungkin.
Tahap selanjutnya adalah pelaksanaan klarifikasi hasil verifikasi oleh kedua belah pihak pada tanggal 9 Oktober 2017. Pada tahapan ini, tim ahli kedua belah pihak dapat melakukan diskusi hasil laporan pelaksanaan verifikasi lapangan berdasarkan pengetahuan ilmiah (Scientific knowledge) dan referensi ilmiah. Bukan kukiralogi atau kelirumologi. Pada tahapan ini telah di sepakati luas kerusakan terumbu karang, rona awal berupa prosentase penutupan terumbu karang dan jenis - jenisnya sebelum terjadi vessel grounding, luas klaim kerusakan terumbu karang. Sedangkam nilai klaim ganti rugi kerusakan akan dipelajari terlebih dahulu dan ditangggapi oleh pihak pemilik kapal, pengacara dan tim ahlinya pada saat negosiasi. Semua proses dalam tahapan ini dibuatkan notulensi yang ditandatangani oleh pihak-pihak yang bersengketa.
Tahap negosiasi dilaksanakan pada tanggal 19 Oktober 2017. Diskusi mendalam terkait nilai klaim ganti rugi dilaksanakan oleh pihak yang bersengketa seharian penuh. Melalui argumen ilmiah, terjadi kesepakatan nilai ganti rugi sebesar Rp 987.795.188,26 untuk luas klaim kerusakan 24,09 m2 dan skema pembayarannya yang dibayarkan ke negara (bukan Balai TNKj). Nilai ganti rugi terbagi 4 (empat) komponen yaitu rehabilitasi, kerugian community fisheries, kerugian jasa ekosistem dan verifikasi.
Pekerjaan Rumah
Kesepakatan atas konsep ADR/ PSLH di luar pengadilan, menghasilkan pekerjaan rumah yang tidak ringan untuk mengaplikasikan kesepakatan diatas. Harus berhasil mengaplikasikan kesepakatan yang ada, termasuk restorasi terumbu karang yang rusak. Kesepakatan memuat klausul bahwa pihak pemilik kapal dapat mengetahui perkembangan pelaksanaan restorasi yang dilakukan dalam jangka waktu 10 tahun.
Hasil kesepakatan jika analogi dibalikkan, mirip adposi pemulihan ekosistem terumbu karang. Pihak pemilik kapal, yang bertanggung jawab merusak terumbu karang, telah menyediakan (“menitipkan”) sejumlah dana berdasarkan perhitungan pengetahuan ilmiah untuk merestorasi ekosistem terumbu karang dan berhak mengetahui hasil akhir restorasi. Artinya jika tidak berhasil berarti dapat berlaku implikasi hukum positif.
Sudah sewajarnya, jika pihak – pihak yang nantinya mempunyai kewenangan melaksanakan restorasi harus benar – benar mempunyai pengetahuan, pengalamaan dan terverifikasi oleh para ahli di bidang restorasi terumbu karang. Artinya, yang melakukan restorasi tidak harus Balai TNKj, bisa juga pihak – pihak yang berbadan hukum, yang mempunyai kompetensi. Mengapa? Karena proses yang terjadi akan menjadi contoh pembelajaran terbaik restorasi, sebab skema ADR yang terjadi di perairan Telaga TNKj adalah yang pertama di dunia di kawasan konservasi.
Apabila selama ini banyak pihak yang menyatakan klaim mencintai alam Karimunjawa, persiapkanlah diri meleburkan diri berperan serta dalam proses pelaksanaan hasil ADR di atas,  melengkapi diri dengan  pengetahuan, pengalaman, keahlian dan terverifikasi oleh para ahli di bidang restorasi terumbu karang.
Gambar 2. Ahli Penilaian Kerusakan Terumbu Karang dari UI yang dihadirkan oleh pihak perusahaan pemilik kapal dalam klarifikasi dan negosiasi klaim ganti rugi vessel grounding kasus lain


Gambar 3. Contoh suasana dalam proses negosiasi klaim ganti rugi kasus vessel grounding, stakeholder yang terlibat seperti pemilik kapal, pengacara, asuransi, broker asuransi dan tim ahli dari pihak kapal hadir

Gambar 4. Kasubdit PSLH Bidang Sumber Daya Alam sebagai mediator dalam skema ADR


Gambar 5. Tim ahli dari pemerintah yang berasal dari akademisi salah satu nya ahli valuasi ekonomi dari IPB mencermati segala perkembangan dalam proses negosiasi yang berdasarkan kajian ilmiah dan berbasis pengetahuan