Jumat, 06 November 2020

MENIKMATI BAWAH LAUT PADA MALAM HARI DI TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

 

Oleh : Isai Yusidarta (Ka. SPTN Wilayah I)

 



Rahasia umum. Kondisi perairan Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) memiliki visibility (jarak pandang) rendah. Kedalaman 1 – 3 meter visibility masih tergolong cukup bagus. Kedalaman 4 meter mulai menurun. Kedalaman 5 meter, tidak jarang dijumpai visibility hanya 2 meter kedepan, maksimal hanya 5 meter. Itu pun kalau mata tua saya, sudah terlihat samar-samar. Mau menikmati keindahan bawah laut TNKpS? Malam hari jawabannya. Bukan siang hari. Kalau siang hari pergilah yang paling dekat yaitu Taman Nasional Karimunjawa atau bahkan lebih jauh ke Bunaken atau Raja Ampat.

Pada tulisan ini, saya belum membahas pendapat saya tentang visibility perairan TNKpS. Sedang saya persiapkan tulisan lain yang mengulas pendapat saya tentang visibility yang terjadi di TNKpS berdasarkan yang saya lihat dan rasakan disaat sudah lebih dari 1 tahun ini menyelam di perairan TNKpS.

Saya hanya ingin menunjukkan bagaimana cara saya menikmati visibility rendah di perairan TNKpS. Kata kuncinya adalah NIGHT DIVE dengan bantuan sinar ber-LUMENS tinggi. SENTER dan atau STROBE EXTERNAL. Lainnya tak kalah penting adalah PEMANDU NIGHT DIVE.

Gambar 1 memperlihatkan permukaan pasir terlihat jelas ukuran bebatuan. Pantulan sinar senter yang diterima bebatuan semakin memperlihatkan batuan warna putih yang merupakan potongan dari kalsium karbonat. Kita boleh menduga batuan itu adalah pecahan karang yang terdekomposisi dengan proses yang panjang.

Terus terang saja, mata tua saya pada saat memotret kondisi ini, tidak dapat dengan jelas melihat pada kondisi in-situ. Tetapi saya tahu, hasil bidikan kamera dan bantuan senter akan menghasilkan gambar yang lebih jelas. Kondisi tersebut saya nikmati, setelah melihat di layar komputer hasil bidikan saya.

Penampakan batuan di malam hari tersebut, tidak mungkin dapat kita lihat jika kita menyelam biasa yaitu pada matahari sudah terbit. Warna tentu akan didominasi warna hijau dan biru. Penggunaan senter tidak akan cukup membantu pada siang hari.


Gambar 1 : Permukaan pasir laut di kedalaman 15 meter


 

Gambar 2. Tangan memainkan pasir

 

Gambar 3. Pasir dilemparkan dari permukaan tangan.

 

“Cahaya buatan” dari senter atau strobe eksternal akan menjadi bantuan yang sangat menakjubkan pada malam hari. Kondisi gelap diterangi cahaya putih menjadikan penyelam dapat membidikkan kamera ke obyek dan menghasilkan warna alami. Maksudnya adalah warna dari obyek akan muncul secara apa adanya dari obyek tersebut. Foto tidak perlu dibantu untuk memunculkan warna aslinya. Hal  ini dapat dilihat pada Gambar 4 dan 5.


Gambar 4. Penampakan warna natural pada foto dengan bantaun cahaya senter atau strobe di malam hari. Warna karang dan ikan pari bintik biru yang bersebunyi pada lubang berpasir.

Gambar 5, menunjukkan bahwa penggunaan senter pada night dive di celah-celah gua kecil pada area boulder karang, mampu memunculkan warna alami. Tampak sun flower (coral matahari), memunculkan warna apa adanya kining keemasan pada tentakel dan semburat kemerahan pada badan hydrozoid-nya. Penampakan warna pada dinding sekitar yang diterangi senter seperti apa adanya.

Rekomendasi

1.      Sudah saatnya memunculkan wisata night dive di Taman Nasional Kepulauan Seribu, untuk menikmati keunikan di bawah lautnya.

2.  Peningkatan kapasitas diver lokal untuk penyelaman malam dan under water photography.

3.    Foto malam di bawah laut sebagai souvenir wisatawan Taman Nasional Kepulauan Seribu.

 

Tenang saja, Balai TNKpS akan – sedang menuju ke arah menikmati night dive.

link IG : https://www.instagram.com/p/CHRlrz4lwQQ/?utm_source=ig_web_button_share_sheet

Rabu, 04 November 2020

MOON CRAB OR PLONGKOR (KEPITING BULAN)

  • KEPITING BULAN atau PLONGKOR
  • MOON CRAB OR PLONGKOR

  • Oleh :
  • By
  • Isai Yusidarta (Ka. SPTN Wilayah I Pulau Kelapa di Kelapa Dua - IG : yusidartaisai)
  • Ardi Putra (Gondrong)
  • Wira Saut Parianto Simanjuntak

 


Kepiting Bulan (istilah lokal Indonesia) atau kepiting karang totol (istilah inggris) diketemukan di daerah terumbu karang pada substrat pasir. Dicirikan oleh adanya totol pada karapasnya. Aktif pada malam hari. Secara Taksonomi adalah sebagai berikut :

Moon crab (Indonesian nomenclature) or spotted reef crab (English nomenclature) was colected at coral reef area on sand surface.  To be easily identified by the presence of spots located on its carapace. It’s nocturnal crab.

Klasifikasi kepiting karang totol adalah :

The taxonomy of spotted reef crab is :

  • Kingdom             :    Animalia
  • Phylum                :    Arthropoda
  • Sub phylum         :    Crustacea
  • Class                    :    Malacostraca
  • Ordo                    :    Decapoda
  • Infraordo             :    Brachyura
  • Family                 :    Carpiliidae
  • Genus                  :    Carpilius
  • Species                :    Carpilius maculatus

 

Kepiting Bulan yang di Taman Nasional kepulauan Seribu (TNKpS) disebut dengan Kepiting Plongkor.  Masyarakat memasaknya dengan cara membelah, merebus dan menyiramnya dengan kuah kuning. Cukup ditumis pedas atau dengan saus tiram. 

Moon crab was called as Kepiting Plongkor by local communities at Kepulauan Seribu National Park. How to cook? Be split, then boilling in the water and finally it’s smothered by yellow sauce seasoning. It’s very delicious. Or it’s cooked by saute the spices or oyster souce.

Moon crab is very expensive. Website : https://shopee.co.id/Kepiting-plongkor-bulan-i.236561658.7119941555  had been selling off Rp 80.000,00 for one (@5,3 USD).

Saya menangkapnya pada saat selam malam bersama Ardi Putra (Gondrong) disekitar Dermaga Wisata SPTN Wilayah Pulau Kelapa di Pulau Kelapa Dua, kedalaman 5 meter pukul 19.05 wib. Nelayan di TNKpS juga menangkap pada saat ngobor (mencari ikan malam hari).

I was cathed a moon crab, while I night dive with Ardi Putra (Gondrong) inside waters of a wharf touris at Kelapa Dua Island, Kepulauan Seribu National Park. Depth of location is five (5) meters at 19.05 wib. The Fisherismen at Kepulauan Seribu National Park can do it by ngobor (looking for fish at night).





BELAJAR KONDISI LOKAL PULAU KALIAGE UNTUK TRANSPLANTASI KARANG (LEARNING WITH LOCAL CONDITIONS OF KALIAGE ISLAND FOT CORAL TRANSPLANTATION)

  • BELAJAR KONDISI LOKAL PULAU KALIAGE
  • UNTUK TRANSPLANTASI KARANG

  • Oleh :
  • Isai Yusidarta (Ka. SPTN Wilayah I, Balai TNKpS)
  • Wira Saut Perianto (Penyuluh Kehutanan Muda SPTN Wilayah I, Balai TNKpS)
  • Irvan Sofiansyah (PPNPN SPTN Wilayah I, Balai TNKpS)

Tulisan ini adalah tulisan pertama menjabat sebagai Ka. SPTN wilayah I Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu. Tulisan ini saya buat pada tangga 28 Juni 2019. Setelah pada pagi tanggal 28 Juni 2019 pukul 08.29 Wib saya memulai pemotretan kondisi bawah air tanggul  Pulau Kaliage dengan peralatan scuba gear.


Pulau Kaliage, merupakan satu dari sekian pulau yang hak guna pakai-nya dimiliki oleh privat. Pemanfaatannya sebagai resort pribadi. Pemilik resort melalui manajemen pulau, memiliki keinginanan  untuk membuat coral garden pada area perairan disekeliling pulau melalui transplantasi. Area perairan tersebut notabene merupakan kewenangan dari Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, yang secara tapak diwakili oleh Resort Wilayah Kelapa Dua, Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah 1 (SPTN 1)

              SPTN 1 menanggapi keinginan perwakilan manajemen pengelola resort Pulau Kaliage dengan melaksanakan monitoring kondisi perairan Pulau Kaliage untuk “belajar pada kondisi in-situ (lokal +)” kehidupan koral (karang) di area tersebut. Tim SPTN 1 yang terdiri dari Isai Yusidarta, ST., M.Sc., Wira Saut Perianto Simanjuntak, S.P., dan Irvan Sofiansyah melaksankan kegiatan monitoring tersebut pada tanggal 28 Juni 2019.

              Monitoring difokuskan pada 2 (dua) hal yaitu 1). Menilai kondisi terkini transplantasi karang yang dilakukan tahun 2015; dan 2) Mempelajari kondisi perairan perairan Pulau Kaliage. Mengapa? Melaksanakan transplantasi tidak hanya sekedar menanam (men-transplant), dan meniru metode yang sudah umum dilakukan tanpa mempelajari kondisi lokal +, yang sangat mungkin berbeda antar titik di satu pulau. Apalagi menerapkan metoda baku yang sebenarnya merupakan hasil karya ilmiah dengan merata-ratakan kondisi perairan yang optimum.

Monitoring Transplantasi 2015

             Hasil penilaian transplantasi 2015, menunjukkan kegagalan 100%Dapat dikatakan tidak ada transplant yang hidup apalagi tumbuh dan berkembang. Kegagalan tersebut ditunjukkan pada Gambar 1. Transplantasi menyisakan substrat berupa cone-block dalam kondisi berserakan, hancur berantakan, tertutup sedimen sehingga terkesan menjadi sampah di dalam kolom perairan.

Gambar 1.   Kondisi up to date transplant karang yang ditanam tahun 2015

Mengapa hal tersebut terjadi?

1. Tidak ada pemeliharaan pasca penanaman transplant karang

- Pemeliharaan sangat penting, terutama 7 hari setelah pemasangan transplant. Pada umumnya transplant karang dalam kondisi stress pada 7 hari pertama, ditandai dengan keluarnya mukus. Mukus merupakan reaksi atas kondisi lingkungan yang baru. Mukus ini akan meng-koagulasi benda asing (sedimen) yang mendekati transplant. Jika tidak dibersihkan, akan membungkus transplant karang itu sendiri.

- Pemeliharaan dilakukan dengan pembersihan media dari sedimen dan sampah. Pada area horizontal cone-block, acapkali ditutupi oleh sedimen. Kondisi ini harus dibersihkan untuk membantu penempelan transplant karang pada media horizontal tersebut. Jika tidak dibersihkan transplant karang sulit sekali menempel. Karena pada kondisi awal, transplant karang lebih sibuk melakukan adapatasi pada lingkungan yang baru.

2.  Dissolved material tinggi

Visibility (jarak pandang) pada lokasi transplantasi tahun 2015 sangat rendah. Mengapa? Dissolved material pada kolom perairan juga tinggi, dengan kata lain tingkat kekeruhan tinggi. Hal ini menyebabkan proses sedimentasi (penempelan bahan terlarut) pada permukaan media transplant (cone-block) sehingga tertutup sedimen

3. Lokasi di area tambat kapal

- Kapal yang bergerak saat masuk dan keluar dermaga akan menyebabkan pengadukan (dissolved material) berupa sedimen di dalam kolom air, menutupi cone-block, transplant karang, dan akhirnya membunuh transplant karang

-  Kapal yang berlabuh dalam jangka waktu lama akan menghalangi sinar matahari masuk ke kolom air yang menyebabkan karang tidak dapat melakukan fotosintesis (memasak makanan sendiri) dan menyebabkan kematian

4. Lokasi area merupakan tubir 

      Lokasi transplantasi merupakan area slope (kemiringan) yang berupa tubir sehingga tidak cocok untuk transplant karang Acropora sp yang non-tabulate. Area slope sangat cocok untuk karang massive atau karang yang membentuk boluder. Dilokasi ini ternyata yang ditransplant adalah acropora branching, sehingga akan menyebabkan kematian.


Tanggul Pulau Kaliage

Mengapa karang tumbuh pada dinding vertikal Tanggul Kaliage?

    Kondisi vertikal meminimalkan penempelan (dissolved matters) berupa sedimen. Sedimen penyebab karang tidak mampu menempel pada substrat bahkan bisa membunuh karang

     Area vertikal tanggul Kaliage yang ditumbuhi karang mempunyai rataan karang yang lebih luas dan memiliki indukan karang yang cukup besar sebagai sumber bibit karang secara generatif

  Area sekitar tanggul Kaliage yang ditumbuhi karang relatif lebih terawat secara alami melalui pencucian air laut sehingga terhindar sedimen, juga mudah dipantau kebersihannya oleh petugas kaliage.


Gambar 2.  Kondisi up to date tanggul Pulau Kaliage

Karang yang tumbuh secara generatif pada tanggul Pulau Kaliage dari kelompok Acropora dan Non-Acropora. Kelompok Acrpora didominasi bentuk pertumbuhan Acropora tabulate (meja). Jenis ini mampu bertahan hidup pada gelombang dan arus yang menabrak dinding dikarenakan bentuknya yang mampu mengiris perairan karena pipih. Pada daerah tubIr berarus deras, Acropora tabulate acapkali diketemukan selain dominasi karang massive.

Gambar 3. Kondisi up to date tanggul Pulau Kaliage pada kelompok Acropora


Gambar 4. Kondisi up to date tanggul Pulau Kaliage pada kelompok Non-Acropora


             Kelompok non-Acropora didominasi bentuk pertumbuhan encrusting (merayap), yang ternyata mampu mengikat 2 buah balok beton menjadi satu. Bentuk pertumbuhan karang massive juga diketemukan di dinding tanggul Pulau Kaliage yaitu Porites sp. Hal ini juga diduga adanya indukan karang Porites sp yang berjarak lebih kurang 3 meter.




Gambar 5. Kondisi up to date tanggul Pulau Kaliage yang ditumbuhi karang secara generatif


Rekomendasi Lokasi

            Lokasi yang direkomendasikan untuk pelaksanaan transplantasi pada tahun selanjutnya di perairan Pulau Kaliage terletak lebih kurang 30 meter dari lokasi transplantasi tahun 2015. Pada lokasi ini terdapat indukan karang yang dapat memicu pertumbuhan generatif pada media transplant dan perkawinan eksternal ketika transplant karang sudah mampu adaptasi dan tumbuh berkembang. 

Gambar 6.  Rekomendasi lokasi transplatasi karang yang cocok untuk perairan Pulau Kaliage


Rekomendasi Media

        Media yang direkomendasikan untuk lokasi transplantasi karang di perairan Pulau Kaliage yang direkomendasikan berdasarkan Gambar 6, adalah sesuai dengan Gambar 7. Media transplantasi karang yang direkomendasikan memiliki sisi dinding vertikal yang lebih luas dari dinding horisontalnya. Hal ini umutk memberikan kesempatan penempelan planula karang secara generative tanpa diganggu oleh penempelan sedimen pada media.


Gambar 7.   Rekomendasi media transplatasi karang yang cocok untuk perairan Pulau Kaliage

              

Sabtu, 31 Oktober 2020

Non-scleractinian : Millepora sp // Karang api (fire - coral)

 

Non-scleractinian : Millepora sp DI DINDING BETON TANGGUL PULAU KALIAGE TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

Non-scleractinian : Millepora sp  on concrete wall at Kaliage Island Levee, Kepulauan Seribu National Park







Kingdom :    Animalia

Divisio     :    Cnidaria

Class        :    Hydrozoa

Ordo        :    Milleporina

Familly    :    Milleporidae

Genus      :    Millepora

Species    :    Millepora sp.

Non-sleractian Millepora sp in Indonesian was called karang api (fire – coral)

 

Warna : coklat muda // Colour : brown light 

Diameter koloni : 10 cm // Diameters of colony : 10 meters

Lokasi : dinding beton tanggul Pulau Kaliage // Location : Concrete wall of levee on Kaliage Island

Kedalaman : 1,5 meter dari permukaan air // Depth : 1,5 meters of waters surface

Tanggal foto : 28 Juni 2019 // Date : June 28th, 2019

Photo by Isai Yusidarta, ST., M.Sc.







Coral : Acropora millepora (red light or pink colour) // Karang Acropora millepora (warna merah muda)

 

Acropora millepora DI DINDING BETON PULAU KALIAGE TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

 Acropora millepora on concrete wall at Kaliage Island, Kepulauan Seribu National Park




Warna : merah muda dan putih // colour : red light (pink) and white

Diameter koloni : 15 cm // Diameters of colony : 15 centimeters

Lokasi : dinding beton tanggul Pulau Kaliage // Location : Concrete wall on Kaliage Island levee

Kedalaman : 1,5 meter dari permukaan air // Depth : 1,5 meters of water surface

Tanggal foto : 28 Juni 2019 // Date : June 28th, 2019

Photo : Isai Yusidarta, ST., M.Sc.



Jumat, 30 Oktober 2020

Coral Acropora millepora (brown light colour) // Karang Acropora millepora (warna coklat muda)

 Acropora millepora DI DINDING BETON PULAU KALIAGE TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

 

Acropora millepora on concrete wall at Kaliage Isaland, Kepulauan Seribu National Park








Warna : coklat, coklat muda dan putih  // Colour : brown, light brown and white

Diameter koloni :  20 cm // Colony diameter : 20 centimeters

Lokasi : dinding beton tanggul Pulau Kaliage // Location : concrete wall of  Kaliage Island levee

Kedalaman : satu (1) meter dari permukaan air // Depth :  1 meter from surface waters

Tanggal foto : 28 Juni 2019 // Date : June 28th, 2019

Photo : Isai Yusidarta, ST., M.Sc. 













Rabu, 28 Oktober 2020

MELUKIS REALISME PULAU KELAPA DUA SALAH SATU ENCLAVE TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU (Bagian-1)

                                         MELUKIS REALISME PULAU KELAPA DUA

SALAH SATU ENCLAVE TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

(Bagian – 1)

 

Oleh :

Isai Yusidarta, ST., M.Sc. (Ka. SPTN Wilayah I)

 

Ketika menginjak pertama kali ke Pulau Kelapa Dua, data keruangan tingkat tapak “blank spot”. Memori sertijab hanya memberikan kondisi pelaksanaan DIPA 2019 dan barang milik negara (BMN). Mencoba memahami Simpul Seribu yang digadang-gadang menyediakan data dan informasi tentang kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) dan isinya, belum mampu menyediakan informasi yang dibutuhkan baik internal maupun eksternal. Simpul Seribu baru saja dibangun masih memerlukan tahapan selanjutnya untuk optimal.

Hal yang menyejukkan adalah pada Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Pulau Kelapa di Kelapa Dua telah tersedia tiga orang pilot drone dan sebuah peralatan Drone Mavic yang masih baru dan jarang dipakai (salah satu jenis penyakit jika berkaitan dengan barang milik negara – takut rusak apalagi tertelan laut). Ketiganya berkemapuan perpetaan ArcGIS. Sumber daya itu belum bersinergi untuk menggambar Pulau Kelapa Dua beserta isi perairan dangkalnya. Karena mereka belu tahum tentang perencanaan terbang dan aplikasi aerial mapping.

Modal yang sangat berharga, dengan hanya petunjuk sebuah laporan penyelesaian kasus perusakan terumbu karang oleh vessel grounding kapal tongkang di Taman Nasional Karimunjawa dan staf fungsional (Hardian Agustin, Wira Saut dan Mustalafin) yang memiliki passion pada pemetaan ruang (spatial),  mulailah penggabungan untuk “melukis” Pulau Kelapa Dua beserta isinya.

Lukisan Realisme Pengelola Kawasan Konservasi

Banyak sekali aliran lukisan, paling tidak ada 10 aliran yang pernah saya baca. Salah satunya adalah realisme, yang menurut pemahaman saya adalah gaya melukis dengan menangkap fenomena yang nyata terjadi dan dialami dalam kehidupan secara obyektif. Bagi seorang manjer pengelola di tingkat wilayah (tapak), sangat bermanfaat sekali untuk mampu “melukis” secara nyata kondisi wilayah kerja. Sasarannya adalah mampu memberikan gambaran kondisi wilayah secara menyeluruh (komprehensif) dan objektif.

Lukisan realisme (sebagai pengelola kawasan konservasi), adalah memindahkan kondisi nyata (riil) dan detail dalam bentuk tiga dimensi di alam kedalam sarana dua dimensi. Pemindahan ini menimbulkan konsekuensi bahwa setiap orang akan berusaha berpikir sesuai dengan sudut pandang masing-masing tetapi harus bisa diarahkan (digiring) untuk mencapai satu pemahaman yang sama. Penggiringan tetap berdasarkan keilmuan (science) yang membalut peraturan perundangan pengelolaan kawasan konservasi dan lingkungan hidup. Mengapa? Aturan perundangan adalah “kaku” (letter leg) dan science adalah “lentur”. (akan terlihat pada tulisan-tulisan yang akan datang).

Harapan dari lukisan realisme ini adalah orang yang tidak tahu karena tidak pernah berkecimpung pun akhirnya mengerti dan paham akan situasi dan kondisi yang terjadi. Orang yang tidak paham diharapkan menjadi paham. Orang yang paham akan semakin menjadi paham dan mampu memberikan pemecahan masalah (solution). Orang yang memberikan pemecahan masalah akan mampu mengajak orang lain untuk melaksanakan pemecahan masalah tersebut sehingga sumber daya alam hayati akan semakin lestari tanpa mengorbankan kepentingan manusia yang tinggal di dalam kawasan konservasi.

Lukisan Realisme dengan Teknologi

Era RBM (Resort Base Manajemen) Tahun 2010-an, menggambarkan kondisi tingkat tapak kawasan menggunakan keruangan wilayah yang sudah tersedia, seperti digitasi peta-peta lama buatan meja gambar dan tangan hingga memanfaatan peta-peta satelit edisi yang belum terbarukan (lama), atau bisa juga google earth dan google map. Setiap personil lapangan melakukan ground check dengan tally sheet yang sudah dipersiapkan. Fungsi hasil ground check ada 2 yaitu :

1.        Mengisi peta-peta lama hasil buatan meja gambar dan tangan;

2.        Mengkoreksi isi peta-peta satelit yang belum terbarukan

Dimulai dengan terpilihnya Ir. Djoko Widodo sebagai Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia tahn 2014, maka era RBM edisi 2020-an, setiap pengelola kawasan tingkat tapak (tidak terkecuali SPTN Wilayah I TNKpS) harus mampu membuat sendiri peta dasar keruangan sendiri sesuai dengan kebutuhan lapangan. Bahkan beliau mendengungkan drone yang waktu itu masih asing dan mahal. Hingga berkembang yang namanya aerial mapping dan berbasis pada umumnya adalah terestrial.

Kemudian oleh orang-orang yang berkecimpung dalam dunia kelautan, mulai penerapan pada wilayah pesisir dan kedalaman laut yang bisa ditembus oleh kamera drone. Penerapan teknologi semakin berkembang dengan adanya ROV dan drone underwater yang baru tahap eksplorasi foto dan video belum spasial keruanga. Tetapi sudah dirintis dengan keluarnya Catline yang di Indonesia baru digunakan di Taman Nasional Karimunjawa, Taman Nasional Bunaken dan Perairan Sangihe – Talaud.

Mengapa butuh peta keruangan berbasis teknologi khususnya drone? Drone atau UAV merupakan perkembangan dari teknologi dalam bidang pemetaan dimana pemanfaatan pesawat tanpa awak dalam pemotretan udara dimanfaatkan dengan teknologi GIS untuk memetakan suatu area daratan dan perairan pada kedalaman tertentu.

Kelebihan pemetaan dengan drone yaitu : 1) Mendapatkan gambaran citra kenampakan terbaru; 2) Mendapatkan kenampakan dengan citra resolusi tinggi; 3) Low cost untuk pemetaan area kecil dibanding harus membeli citra resolusi tinggi; 3) Efisien dalam waktu karena pemotretan dapat langsung dilihat hasilnya;  4) Peta yang dihasilkan dapat diperbaharui secara parsial maupun secara keseluruhan dengan cepat; dan 5) Citra yang sangat real time dan in-situ

Jadi yang dimaksud sebagai lukisan realisme dengan teknologi adalah pembuatan peta keruangan dengan menggunakan teknologi drone beserta perangkat aplikasinya.

Bagaimana dengan kaitan RBM tahun 2020-an? Citra aerial mapping telah memberikan gambaran terbaru (terkini) yang lebih konkrit sebelum ke lapangan, dengan presisi kordinat yang tidak terbantahkan (resoslusi bisa mencapai 1 pixel = 1,5 cm) dan kualitas citra bisa dipilih higest. Artinya petugas groundcheck sudah membawa bekal pemahaman (gambaran) lebih tentang kondisi suatu objek pada  (khususnya yang tidak bergerak) suatu titik koordinat dan tinggal membuat bukti dan koreksi bahkan dapat merencakan cara menjangkaunya dengan persiapan yang lebih simpel dan tidak berlebih peralatannya.

 

Lukisan Realisme Pulau Kelapa Dua

Sebagai manajer pengelola kawasan konservasi yang baru, pelaksaan kegiatan melukis Pulau Kelapa Dua adalah adalah hal yang baru. Paling mudah adalah memberikan kepercayaan (trust). Paling berat adalah meningkatkan keyakinan (belief), bahwa mereka (staf) bisa, walaupun belum pernah melaksanakan aerial mapping apalagi di perairan pesisir. Tapi saya tidak begitu yakin mereka “belum pernah mengenal aerial mapping”.  Mengapa? Berdasarkan data infromasi yang saya dapatkan tentang ketiga staf saya mereka adalah orang yang cerdas.  

Melukis realisme Pulau Kelapa Dua dengan memanfaatkan dan meramu sumber daya SPTN Wilayah I Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (BTNKpS) berupa  : 1) Staf pilot drone; 2) Staf pengolah Arc-GIS; 3) Staf pengolah aplikasi foto udara; 4) Peralatan drone mavic dan 5) Penelaah hasil aerial mapping.

Lukisan realime dalam dua dimensi dalam bentuk file JPEG dapat dilihat Gambar 1. Jika menginginkan dalam bentuk soft file (pdf dengan berbagai skala dan kualitas) dapat menghubungi saya dengan menuliskan dalam kotak komentar blog saya ini yaitu kolom-mari.blogspot.com.

Gambar 1.  Hasil aerial mapping Pulau Kelapa Dua pada ketinggian 30 meter menggunakan drone mavic. Hasil olahan oleh Hardian Agustin, S.Hut (polhut SPTN Wilayah I)

 Berdasarkan Gambar 1. Pulau Kelapa Dua, secara ekologi terbagi dalam wilayah tiga (3) pesisir pulau-pulau kecil yaitu :

1.    Supratidal yaitu area yang tidak tergenang air laut pada saat pasang tertinggi. Area supratidal dapat disebut sebagai daratan (terestrial).

2.    Sub tidal yaitu area yang tergenang air laut pada saat pasang tertinggi dan pada saat surut terendah tidak tergenang air laut. Area Subtidal ini lebarnya tidak lebih dari 2 meter dan hanya terlihat di mulai dari kantor SPTN Wilayah I ke arah barat di PT. Lucky. Area ini berupa pasir putih dan pecahan karang. (tidak terlihat pada peta Gambar 1)

3.    Tidal yaitu area yang tetap tergenang pada saat air surut sekalipun hingga ke arah tubir hingga reef slope (lereng karang). Area ini terdapat 3 ekosistem yaitu 2 ekosistem asli yaitu terumbu karang dan lamun serta 1 ekosistem buatan yaitu mangrove (hasil adaptasi).

 

Bersambung ke Bagian 2