Sabtu, 31 Oktober 2020

Non-scleractinian : Millepora sp // Karang api (fire - coral)

 

Non-scleractinian : Millepora sp DI DINDING BETON TANGGUL PULAU KALIAGE TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

Non-scleractinian : Millepora sp  on concrete wall at Kaliage Island Levee, Kepulauan Seribu National Park







Kingdom :    Animalia

Divisio     :    Cnidaria

Class        :    Hydrozoa

Ordo        :    Milleporina

Familly    :    Milleporidae

Genus      :    Millepora

Species    :    Millepora sp.

Non-sleractian Millepora sp in Indonesian was called karang api (fire – coral)

 

Warna : coklat muda // Colour : brown light 

Diameter koloni : 10 cm // Diameters of colony : 10 meters

Lokasi : dinding beton tanggul Pulau Kaliage // Location : Concrete wall of levee on Kaliage Island

Kedalaman : 1,5 meter dari permukaan air // Depth : 1,5 meters of waters surface

Tanggal foto : 28 Juni 2019 // Date : June 28th, 2019

Photo by Isai Yusidarta, ST., M.Sc.







Coral : Acropora millepora (red light or pink colour) // Karang Acropora millepora (warna merah muda)

 

Acropora millepora DI DINDING BETON PULAU KALIAGE TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

 Acropora millepora on concrete wall at Kaliage Island, Kepulauan Seribu National Park




Warna : merah muda dan putih // colour : red light (pink) and white

Diameter koloni : 15 cm // Diameters of colony : 15 centimeters

Lokasi : dinding beton tanggul Pulau Kaliage // Location : Concrete wall on Kaliage Island levee

Kedalaman : 1,5 meter dari permukaan air // Depth : 1,5 meters of water surface

Tanggal foto : 28 Juni 2019 // Date : June 28th, 2019

Photo : Isai Yusidarta, ST., M.Sc.



Jumat, 30 Oktober 2020

Coral Acropora millepora (brown light colour) // Karang Acropora millepora (warna coklat muda)

 Acropora millepora DI DINDING BETON PULAU KALIAGE TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

 

Acropora millepora on concrete wall at Kaliage Isaland, Kepulauan Seribu National Park








Warna : coklat, coklat muda dan putih  // Colour : brown, light brown and white

Diameter koloni :  20 cm // Colony diameter : 20 centimeters

Lokasi : dinding beton tanggul Pulau Kaliage // Location : concrete wall of  Kaliage Island levee

Kedalaman : satu (1) meter dari permukaan air // Depth :  1 meter from surface waters

Tanggal foto : 28 Juni 2019 // Date : June 28th, 2019

Photo : Isai Yusidarta, ST., M.Sc. 













Rabu, 28 Oktober 2020

MELUKIS REALISME PULAU KELAPA DUA SALAH SATU ENCLAVE TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU (Bagian-1)

                                         MELUKIS REALISME PULAU KELAPA DUA

SALAH SATU ENCLAVE TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

(Bagian – 1)

 

Oleh :

Isai Yusidarta, ST., M.Sc. (Ka. SPTN Wilayah I)

 

Ketika menginjak pertama kali ke Pulau Kelapa Dua, data keruangan tingkat tapak “blank spot”. Memori sertijab hanya memberikan kondisi pelaksanaan DIPA 2019 dan barang milik negara (BMN). Mencoba memahami Simpul Seribu yang digadang-gadang menyediakan data dan informasi tentang kawasan Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) dan isinya, belum mampu menyediakan informasi yang dibutuhkan baik internal maupun eksternal. Simpul Seribu baru saja dibangun masih memerlukan tahapan selanjutnya untuk optimal.

Hal yang menyejukkan adalah pada Seksi Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Pulau Kelapa di Kelapa Dua telah tersedia tiga orang pilot drone dan sebuah peralatan Drone Mavic yang masih baru dan jarang dipakai (salah satu jenis penyakit jika berkaitan dengan barang milik negara – takut rusak apalagi tertelan laut). Ketiganya berkemapuan perpetaan ArcGIS. Sumber daya itu belum bersinergi untuk menggambar Pulau Kelapa Dua beserta isi perairan dangkalnya. Karena mereka belu tahum tentang perencanaan terbang dan aplikasi aerial mapping.

Modal yang sangat berharga, dengan hanya petunjuk sebuah laporan penyelesaian kasus perusakan terumbu karang oleh vessel grounding kapal tongkang di Taman Nasional Karimunjawa dan staf fungsional (Hardian Agustin, Wira Saut dan Mustalafin) yang memiliki passion pada pemetaan ruang (spatial),  mulailah penggabungan untuk “melukis” Pulau Kelapa Dua beserta isinya.

Lukisan Realisme Pengelola Kawasan Konservasi

Banyak sekali aliran lukisan, paling tidak ada 10 aliran yang pernah saya baca. Salah satunya adalah realisme, yang menurut pemahaman saya adalah gaya melukis dengan menangkap fenomena yang nyata terjadi dan dialami dalam kehidupan secara obyektif. Bagi seorang manjer pengelola di tingkat wilayah (tapak), sangat bermanfaat sekali untuk mampu “melukis” secara nyata kondisi wilayah kerja. Sasarannya adalah mampu memberikan gambaran kondisi wilayah secara menyeluruh (komprehensif) dan objektif.

Lukisan realisme (sebagai pengelola kawasan konservasi), adalah memindahkan kondisi nyata (riil) dan detail dalam bentuk tiga dimensi di alam kedalam sarana dua dimensi. Pemindahan ini menimbulkan konsekuensi bahwa setiap orang akan berusaha berpikir sesuai dengan sudut pandang masing-masing tetapi harus bisa diarahkan (digiring) untuk mencapai satu pemahaman yang sama. Penggiringan tetap berdasarkan keilmuan (science) yang membalut peraturan perundangan pengelolaan kawasan konservasi dan lingkungan hidup. Mengapa? Aturan perundangan adalah “kaku” (letter leg) dan science adalah “lentur”. (akan terlihat pada tulisan-tulisan yang akan datang).

Harapan dari lukisan realisme ini adalah orang yang tidak tahu karena tidak pernah berkecimpung pun akhirnya mengerti dan paham akan situasi dan kondisi yang terjadi. Orang yang tidak paham diharapkan menjadi paham. Orang yang paham akan semakin menjadi paham dan mampu memberikan pemecahan masalah (solution). Orang yang memberikan pemecahan masalah akan mampu mengajak orang lain untuk melaksanakan pemecahan masalah tersebut sehingga sumber daya alam hayati akan semakin lestari tanpa mengorbankan kepentingan manusia yang tinggal di dalam kawasan konservasi.

Lukisan Realisme dengan Teknologi

Era RBM (Resort Base Manajemen) Tahun 2010-an, menggambarkan kondisi tingkat tapak kawasan menggunakan keruangan wilayah yang sudah tersedia, seperti digitasi peta-peta lama buatan meja gambar dan tangan hingga memanfaatan peta-peta satelit edisi yang belum terbarukan (lama), atau bisa juga google earth dan google map. Setiap personil lapangan melakukan ground check dengan tally sheet yang sudah dipersiapkan. Fungsi hasil ground check ada 2 yaitu :

1.        Mengisi peta-peta lama hasil buatan meja gambar dan tangan;

2.        Mengkoreksi isi peta-peta satelit yang belum terbarukan

Dimulai dengan terpilihnya Ir. Djoko Widodo sebagai Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia tahn 2014, maka era RBM edisi 2020-an, setiap pengelola kawasan tingkat tapak (tidak terkecuali SPTN Wilayah I TNKpS) harus mampu membuat sendiri peta dasar keruangan sendiri sesuai dengan kebutuhan lapangan. Bahkan beliau mendengungkan drone yang waktu itu masih asing dan mahal. Hingga berkembang yang namanya aerial mapping dan berbasis pada umumnya adalah terestrial.

Kemudian oleh orang-orang yang berkecimpung dalam dunia kelautan, mulai penerapan pada wilayah pesisir dan kedalaman laut yang bisa ditembus oleh kamera drone. Penerapan teknologi semakin berkembang dengan adanya ROV dan drone underwater yang baru tahap eksplorasi foto dan video belum spasial keruanga. Tetapi sudah dirintis dengan keluarnya Catline yang di Indonesia baru digunakan di Taman Nasional Karimunjawa, Taman Nasional Bunaken dan Perairan Sangihe – Talaud.

Mengapa butuh peta keruangan berbasis teknologi khususnya drone? Drone atau UAV merupakan perkembangan dari teknologi dalam bidang pemetaan dimana pemanfaatan pesawat tanpa awak dalam pemotretan udara dimanfaatkan dengan teknologi GIS untuk memetakan suatu area daratan dan perairan pada kedalaman tertentu.

Kelebihan pemetaan dengan drone yaitu : 1) Mendapatkan gambaran citra kenampakan terbaru; 2) Mendapatkan kenampakan dengan citra resolusi tinggi; 3) Low cost untuk pemetaan area kecil dibanding harus membeli citra resolusi tinggi; 3) Efisien dalam waktu karena pemotretan dapat langsung dilihat hasilnya;  4) Peta yang dihasilkan dapat diperbaharui secara parsial maupun secara keseluruhan dengan cepat; dan 5) Citra yang sangat real time dan in-situ

Jadi yang dimaksud sebagai lukisan realisme dengan teknologi adalah pembuatan peta keruangan dengan menggunakan teknologi drone beserta perangkat aplikasinya.

Bagaimana dengan kaitan RBM tahun 2020-an? Citra aerial mapping telah memberikan gambaran terbaru (terkini) yang lebih konkrit sebelum ke lapangan, dengan presisi kordinat yang tidak terbantahkan (resoslusi bisa mencapai 1 pixel = 1,5 cm) dan kualitas citra bisa dipilih higest. Artinya petugas groundcheck sudah membawa bekal pemahaman (gambaran) lebih tentang kondisi suatu objek pada  (khususnya yang tidak bergerak) suatu titik koordinat dan tinggal membuat bukti dan koreksi bahkan dapat merencakan cara menjangkaunya dengan persiapan yang lebih simpel dan tidak berlebih peralatannya.

 

Lukisan Realisme Pulau Kelapa Dua

Sebagai manajer pengelola kawasan konservasi yang baru, pelaksaan kegiatan melukis Pulau Kelapa Dua adalah adalah hal yang baru. Paling mudah adalah memberikan kepercayaan (trust). Paling berat adalah meningkatkan keyakinan (belief), bahwa mereka (staf) bisa, walaupun belum pernah melaksanakan aerial mapping apalagi di perairan pesisir. Tapi saya tidak begitu yakin mereka “belum pernah mengenal aerial mapping”.  Mengapa? Berdasarkan data infromasi yang saya dapatkan tentang ketiga staf saya mereka adalah orang yang cerdas.  

Melukis realisme Pulau Kelapa Dua dengan memanfaatkan dan meramu sumber daya SPTN Wilayah I Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (BTNKpS) berupa  : 1) Staf pilot drone; 2) Staf pengolah Arc-GIS; 3) Staf pengolah aplikasi foto udara; 4) Peralatan drone mavic dan 5) Penelaah hasil aerial mapping.

Lukisan realime dalam dua dimensi dalam bentuk file JPEG dapat dilihat Gambar 1. Jika menginginkan dalam bentuk soft file (pdf dengan berbagai skala dan kualitas) dapat menghubungi saya dengan menuliskan dalam kotak komentar blog saya ini yaitu kolom-mari.blogspot.com.

Gambar 1.  Hasil aerial mapping Pulau Kelapa Dua pada ketinggian 30 meter menggunakan drone mavic. Hasil olahan oleh Hardian Agustin, S.Hut (polhut SPTN Wilayah I)

 Berdasarkan Gambar 1. Pulau Kelapa Dua, secara ekologi terbagi dalam wilayah tiga (3) pesisir pulau-pulau kecil yaitu :

1.    Supratidal yaitu area yang tidak tergenang air laut pada saat pasang tertinggi. Area supratidal dapat disebut sebagai daratan (terestrial).

2.    Sub tidal yaitu area yang tergenang air laut pada saat pasang tertinggi dan pada saat surut terendah tidak tergenang air laut. Area Subtidal ini lebarnya tidak lebih dari 2 meter dan hanya terlihat di mulai dari kantor SPTN Wilayah I ke arah barat di PT. Lucky. Area ini berupa pasir putih dan pecahan karang. (tidak terlihat pada peta Gambar 1)

3.    Tidal yaitu area yang tetap tergenang pada saat air surut sekalipun hingga ke arah tubir hingga reef slope (lereng karang). Area ini terdapat 3 ekosistem yaitu 2 ekosistem asli yaitu terumbu karang dan lamun serta 1 ekosistem buatan yaitu mangrove (hasil adaptasi).

 

Bersambung ke Bagian 2


Minggu, 25 Oktober 2020

JARING MURO AMI DI TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU (Bagian 2)

- Bagian 2* -

DILEMA BESAR JARING MURO AMI 

DI TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

(Isai Yusidarta, ST., M.Sc. – Kepala SPTN Wilayah I, TNKpS)

(Wira Saut Parianto Simandjuntak, SP. – Penyuluh SPTN Wilayah I)

(Hardian Agustin, S.Hut. – Polisi Hutan SPTN Wilayah I)

(Mustalfin, SP. – PEH SPTN Wilayah I)

Diterjemahkan ke Bahasa Inggris oleh :

Yuniar Ardianti, S.Hut. – Penyuluh Balai TNKpS




Ketersinggungan Penduduk dan Alam

Keberadaan penduduk di pulau – pulau di Taman Nasional Kepulauan Seribu (TNKpS) tidak dapat dilepaskan keberadaan sumber daya alam laut di sekitarnya. Pada umumnya pulau-pulau kecil mempunyai keterbatasan atau kondisi kritis (critical conditions) dalam penyediaan kebutuhan penduduknya, tidak terkecuali pada area pulau pemukiman di yang merupakan enclave TNKpS.

Baik pulau pemukiman maupun pulau private di TNKpS mengalami kondisi kritis (critical conditions), diantaranya adalah : 1) Ketersediaan air bersih (fresh waters) terbatas; 2) Ketersediaan energi terbatas dan harga yang tinggi; 3) Ketersedian dan pemenuhan pangan yang kurang menyebabkan tingginya harga kebutuhan pokok; 4) Tebatasnya tanah daratan menimbulkan reklamasi ala masyarakat lokal; 5) Lingkungan terestrial (daratan pulau) yang rentan terhadap perubahan geomorfologi membutuhkanbiaya tinggi untuk mempertahankan keberadaaanya; 6) Terbatasnya sarana kesehatan, baik medis maupun paramedis; 7) Keterbatasan sarana prasarana pendidikan formal. Hanya sampai pada tingkat SMA/SMK sederajat. Bakahan Pulau Kelapa Dua hanya sampai tingkat TK/PAUD; 8) Ketersediaan bahan-bahan substitusi yang tidak ada. Bahan bangunan berupa batu dan pasir dari gunung berapi yang berasal dari daratan Pulau jawa tidak tersedia untuk menggantikan kebutuhan pasir laut dan batu karnag yang sebenarnya menyusun kondisi lahan terestrial pulau; dan 9) Ketersediaan informasi yang terbatas, khusus pulau pemukiman penduduk di TNKpS dapat diantisipasi melalui sarana internet saja.

Kesembilan kondisi tersebut menyebakan BIAYA HIDUP TINGGI untuk memenuhinya. Hal ini menyebabkan masyarakat berlomba untuk menguras sumber daya alam yang tersedia disekitarnya tanpa memperhatikan keseimbangan dan kelestarian. Mereka menggunakan peralatan yang memungkinkan untuk menangkap sebanyak-banyaknya sumber daya ikan hingga tanpa memperhatikan kelestariannya, bahkan cenderung membahayakan keselamatan atau memperpendek umur hidupnya masyarakat nelayan. Hal ini hanya untuk menghasilkan PENDAPATAN SEBANYAK-BANYAKNYA untuk mengimbangi BIAYA HIDUP TINGGI di pulau pemukiman kecil.

Jaring Muro Ami

Masyarakat nelayan di kawasan perairan TNKpS dapat dikatakan masih ada sebagaian melakukan penangkapan tidak lestari untuk mengimbangi biaya hidu tinggi. Penangkapan ikan dengan jaring muro ami indikasi penggunaan potasium sianida untuk penangkapan ikan hias, dan yang belum banyak disinggung adalah penangkapan ikan dengan penggunaan lampu ber-watt besar yang panas pancarannya dapat diduga membunuh juvenil ikan.

Penangkapan ikan jaring muro ami dapat dikatakan sudah berlangsung lebih dahulu dibandingkan dengan penggunaan dua metoda penangkapan ikan di atas dan masih berlangsung hingga saat ini. Disaat penggunaan jating muro ami di Taman Nasional Karimunjawa atau TNKj (taman nasional laut yang paling dekat dengan TNKpS) sudah berhenti total operasionalnya, di TNKpS masih berlangsung.

Masyarakat yang menggunakan jaring muro ami yang masih ada kesemuanya berasal dari penduduk yang tinggal di Pulau Panggang. Diindikasikan jumlahnya semakin menurun. Data yang berhasil dikumpulkan oleh SPTN Wilayah I, yang masih mengoperasikan jaring muro ami sekitar 11 kelompok masyarakat. Pada saat beroperasi, 1 kelompok bisa terdiri hingga 20 orang. Artinya masih ada sekitar minimal 220 orang yang berprofesi penangkap ikan menggunakan jaring muro ami.

Selama bertugas di TNKpS sering menjumpai aktivitas penangkapan ikan dengan jaring ini. Salah satu yang terekam terbaru adalah aktivitas penggunaan jaring muro ami pada kotak 1 di atas. Foto – foto di bawah ini dapat menjadi gambaran aktivitas tersebut dan pengaruhnya.

1.        Penggunaan kompressor “tambal ban”

Gambar 1. Penggunaan kompressor diluat komporessor penyelaman oleh nelayan jaring muro ami

 

Nelayan jaring muro ami pada umumnya tidak mengenal yang namanya standar keselamatan penyelaman dan penyelaman yang benar. Mereka hanya mendapatkan pengetahuan ala kadarnya. Bisa berenang sedikit, masuk ke dalam air laut, dan bernapas menggunakan mouthis yang terhubung selang dengan kompressor tambal ban yang telah dimodifikasi. Seringkali disebut nelayan kompresor.

Mereka tidak tahu bahayanya penyelaman dengan  peralatan seperti yang mereka miliki. Udara yang mereka hisap adalah udara yang diambil bebas dari luar. Tanpa air filter (penyaring udara) dan menggunakan oil sintetis sebagai pelumas kompresornya. Kondisi ini berbahaya karena udara yang masuk tidak tersaring dengan baik sehingga karbondiokasida (CO2) akan bercampur dengan udara yang dimasukkan kedalam tabung. Asap kompresor dari mesin penggerak dimungkinkan juga masuk bercampur dalam tabung tekanan tinggi yang nantinya akan dihirup oleh penyelam kompresor.

Pengaruh bercampurnya karbondiokasida dalam saluran pernapasan penyelam kompresor adalah sesak napas, napas cepat, pusing, pingsan, depresi pernapasan dan saraf pusat hingga kematian.

Gambar 2.  Selang kompressor yang sangat panjang dan banyak jumlahnya dalam sekali pemakaian.

 

Penggunaan kompresor tambal ban pada aktivitas muro ami dapat menyebabkan dekompresi akut bagi nelayan penyelam. Mengapa? Penggunaan kompresor tambal ban modifikasi tidak memeberikan batas waktu bagi nelayan ketika menyelam di dalam air, karena udara dipasok terus dari permukaan air.

Satu buah kompresor tambal ban dimodifikasi untuk dapat menyalurkan udara ke penyelam dengan menggunakan banyak selang. Hal ini dapat menyebabkan selang terlilit yang mengakobatkan pasokan udara ke penyelam terhambat dan dapat berakibat fatal bagi penyelam.

 

2.        Hasil tangkapan “ikan anakan”

Nelayan penyelam jaring muro ami akan turun terlebih dahulu 1(satu) atau 2 (dua) orang untuk melihat ada tidaknya ikan yang ditarget dan jumlahnya. Tidak melihat ukurannya. Jika ada target ikan maka nelayan penyelam lainnya akan turun bersamaan dengan jaring muro ami. Selanjutnya menggelar jaring di dalam kolom perairan. Nelayan penyelam akan menggiring ikan dengan bunyi-bunyian menuju bagian jaring muro ami. Jika ikan target sudah terkumpul dalam daring muro ami akan ada isyarat dari nelayan penyelam untuk menarik jaring ke atas. Selanjutnya nelayan penyelam akan naik ke atas setelah selang yang panjang juga mulai digulung ke atas.

 

Gambar 3.  Nelayan jaring muro ami sedang menarik hasil tangkapannya.

 

Mata jaring muro ami sangat kecil menyebabkan hasil tangkapanya adalah semua ukuran ikan dari yang kecil hingga besar. Dapat dikatakan tidak selektif untuk ukuran ikan, semuanya tertangkap. Hal ini dapat dilihat pada Gambar 4, ukuran ikan ekor kuning yang tertangkap berukuran anakan atau kecil-kecil.

Ukruran ikan yang kecil-kecil menyebabkan ikan tidak sempat dewasa untuk mengalami siklus pemijahan yang dapat menghasilkan juvenil ikan. Hal ini dapat menyebabkan terputusnya regenerasi ikan. Pada akhirnya akan menyebabkan punahnya ikan.


Gambar 4. Hasil tangkapan jaring muro ami berukuran anakan

 

Apa yang dilakukan petugas SPTN Wilayah I?

Sementara ini petugas hanya melakukan pendataan riil di lapangan terhadap aktivitas nelayan jaring muro ami sambil mencocokkan data base line yang sudah dimiliki. Sambil melakukan sosialisasi bahwa penggunaan jaring muro ami adalah melanggar hukum. Bagi nelayan kecil sangsinya adalah dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Petugas memberikan himbauan agar tidak lagi menangkap ikan dengan menggunakan kompresor yang akan mengakibatkan gangguan kesehatan. Kalau pun menggunakan kompresor sebaiknya menggunakan kompresor selam dan mematuhi SOP penyelaman, serta tidak menangkap ikan menggunakan jaring muroami yang akan mengakibatkan terjaringnya ikan-ikan kecil yang belum layak untuk di tangkap. Penyelaman tanpa menggunakan fin menyebabkan karang terinjak-injak dan merusak karang.

Petugas SPTN Wilayah I juga melakukan pemeriksaan terkait ada tidaknya penggunaan potassium pada saat mengambil ikan. Hasil pemeriksaan tidak ditemukan adanya potassium. Petugas SPTN Wilayah I juga menghimbau agar nelayan tidak menggunakan potassium untuk mengambil ikan karena berbahaya dan dampaknya bisa merusak dan mematikan terumbu karang yang ada disekitar lokasi tersebut. Selanjutnya Petugas melakukan pembinaan kepada nelayan jaring Muroami atau nelayan kongsi agar melakukan pengambilan ikan dengan cara ramah lingkungan  dengan tidak membahayakan kesehatan dan tidak merusak ekosistem perairan yang sudah ada.

Rekomendasi

1.        Jangan pernah menggunakan kompresor tambal ban dalam aktivitas kegiatan yang memerlukan penyelaman.

2.        Jangan pernah menggunakan jaring muro ami untuk menangkap ikan, tetapi jika ukuran mata jaring yang digunakan hanya untuk menangkap ikan dengan ukuran 20 cm up kemungkinan hasil tangkapan masih lestari

3.        Penyelam jaring muro ami  harus menggunakan peralatan selam yang standar dan tahu standar penyelaman yang benar dan aman.

4.        Pemerintah harus untuk membenahi aktivitas penangkapan ikan dengan jaring muro ami.

 

Bersambung ke Bagian 3


Sabtu, 17 Oktober 2020

- Bagian 1* - DILEMA BESAR JARING MURO AMI DI TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU

 

- Bagian 1* -

  • DILEMA BESAR JARING MURO AMI
  • DI TAMAN NASIONAL KEPULAUAN SERIBU
  • (Isai Yusidarta, ST., M.Sc. – Kepala SPTN Wilayah I, TNKpS)
  • (Wira Saut Parianto Simandjuntak, SP. – Penyuluh SPTN Wilayah I)
  • (Hardian Agustin, S.Hut. – Polisi Hutan SPTN Wilayah I)
  • (Mustalfin, SP. – PEH SPTN Wilayah I)

 



 Jaring muro ami awalnya digunakan di Jepang dan “ditiru” di negara lain. Satu masyarakat negara diantaranya adalah Indonesia. Kata muroami merupakan dua kata dari bahasa jepang muro dan ami. Ami artinya jaring sedangkan muro ádalah sebangsa ikan carangidae. Penulisan yang benar adalah muro ami, dua kata tersebut tertulis terpisah. Nelayan dari suku Bugis di Kelurahan Pulau Panggang menyebutnya sebagai “pukat rapo-rapo” yaitu jaring yang digunakan untuk menangkap ikan ekor kuning. Orang Pulau Kelapa Dua sering menyebut sebagai “jaring kongsi”. Bahkan Pulau Kelapa Dua Sendiri sering disebut dengan Pulau Kongsi, selain Pulau Rakit Tiang.

Sangat mudah menemukan nelayan muro ami di kawasan TNKpS, khususnya di bagian utara TNKpS yang merupakan wilayah kerja SPTN Wilayah I Pulau Kelapa dan SPTN Wilayah II Pulau Harapan. Tapi akan tiba-tiba menghilang ketika direncanakan akan ada kegiatan penertiban terencana dari berbagai instansi termasuk Balai TNKpS. Dapat diduga ada informasi yang bocor. Kegiatan penangkapan ikan dengan jaring muro ami yang tertangkap tangan, ternyata masyarakat yang ber-KTP Kepulauan Seribu (yang sudah ada sebelum ditetapkannya Cagar Alam Kepulan Seribu, apalagi TNKpS) dan mengutarakan banyak alasan.

Bagian pertama ini, membahas dasar hukum berkaitan dengan penggunaan jaring muro ami dari sisi dasar hukum Undang-Undang Perikan dan turunannya.

Peraturan Tentang Jaring Muroami

Jaring muro ami adalah alat tangkap pada usaha perikanan tangkap. Jadi untuk melihat penggunaannya adalah menelisih tentang peraturan yang mengatur jenis-jenis alat tangkap yang digunakan pada usaha perikanan tangkap yaitu Undang-Undang Perikanan dan aturan turunannya. Hal ini tidak terlepas dari Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 dan aturan turunannya seperti Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : Kep.06/Men/2010 tentang Alat Penangkapan Ikan dan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : 71/PERMEN-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pada pasal 9 ayat 1 menyatakan setiap orang dilarang memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia. Pasal 9 ayat 2 menyatakan ketentuan mengenai alat penangkapan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri.

Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : Kep.06/Men/2010 tentang Alat Penangkapan Ikan dan Di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia yang berisikan tentang uraian secara menyeluruh dan detail jenis-jenis, desain dan cara penggunaan alat penangkapan ikan di Indonesia.

Berdasarkan pasal 9 ayat 2 Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009, maka Menteri Perikanan dan Kelautan mengeluarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor : 71/PERMEN-KP/2016 tentang Jalur Penangkapan Ikan dan Penempatan Alat Penangkapan Ikan di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia. Permenkp mengatur  di Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).

PERMENKP Nomor : 71/PERMEN-KP/2016 pada pasal 14 ayat 1 menyatakan API perangkap (traps), sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf h terdiri dari: a. stationary uncovered pound- nets, berupa set net;b. bubu (pots); c. bubu bersayap (fyke nets); d. stow nets; e. barriers, fences, weirs, berupa sero; f. perangkap ikan peloncat (aerial traps); g. muro ami; dan h. seser.

Pada PERMENPK Nomor : 71/PERMEN-KP/2016, dinyatakan pada pasal 21 ayat 1 menyebutkan bahwa alat penangkapan ikan (API) yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan merupakan API yang dioperasikan : a. mengancam kepunahan biota; b. mengakibatkan kehancuran habitat; dan c. membahayakan keselamatan pengguna.

PERMENPK Nomor : 71/PERMEN-KP/2016 pada pasal 21 ayat 2 menyatakan API yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), terdiri dari: a. pukat tarik (seine nets), yang meliputi dogol (danish seines), scottish seines, pair seines, cantrang, dan lampara dasar; b. pukat hela (trawls), yang meliputi pukat hela dasar (bottom trawls), pukat hela dasar berpalang (beam trawls), pukat hela dasar berpapan (otter trawls), pukat hela dasar dua kapal (pair trawls), nephrops trawl, pukat hela dasar udang (shrimp trawls), pukat udang, pukat hela pertengahan (midwater trawls), pukat hela pertengahan berpapan (otter trawls), pukat ikan, pukat hela pertengahan dua kapal (pair trawls), pukat hela pertengahan udang (shrimp trawls), dan pukat hela kembar berpapan (otter twin trawls); dan c. perangkap, yang meliputi perangkap ikan peloncat (aerial traps) dan muro ami.

Selanjutnya, PERMENPK Nomor : 71/PERMEN-KP/2016 pada pasal 30 ayat 11 menyatakan API muro ami sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (1) huruf g merupakan API yang bersifat pasif dan dilarang beroperasi di semua Jalur Penangkapan Ikan dan di semua Wilayah Pengelolaan Perikanan Negara Republik Indonesia (WPPNRI).

Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan pada pasal 85 menyebutkan setiap orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).

Selanjutnya pada pasal 100 B menyatakan bahwa dalam hal tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal ..., Pasal 9, ..., atau ... yang dilakukan oleh nelayan kecil dan/atau pembudi daya-ikan kecil dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau denda paling banyak Rp250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah).

Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, maka peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia tidak diperbolehkan penggunaan jaring muro ami. Penggunaan jaring muro ami termasuk kegiatan illegal fishing.