Selasa, 21 Februari 2017

DAMPAK GELIAT WISATA PADA TENURIAL DI KARIMUNJAWA

DAMPAK GELIAT WISATA PADA TENURIAL DI KARIMUNJAWA
Isai Yusidarta, ST., M.Sc*
Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) telah didorong menjadi salah satu pusat pertumbuhan pariwisata di Jawa Tengah, yang dengan sadar mendorong sistem “Uang Harus Tumbuh” melalui industri wisata. Menggeliatnya industri wisata ditandai dengan peningkatan jumlah kunjungan wisatawan. Tahun 2011 tercatat 39.224 (wisnu 37.208 dan wisman 2.016) orang dan Tahun 2015 tercatat 92.115 (wisnu 84.536 dan wisman 7.579) orang. Jika berdasarkan tarif PNBP pada PP No.59 Tahun 1998 (sudah tidak berlaku) dan PP No. 12 Tahun 2014, terdapat potensi uang yang beredar setara Rp 133.340.000,00 (2011) – Rp 1.559.530.000,00 (2015), belum termasuk souvenir, transportasi, konsumsi dan akomodasi.
Paling mudah mengamati geliat industri wisata di Karimunjawa adalah bertambahnya sarana akomodasi homestay dan hotel. Tahun 2000 hanya terdapat 2 homesaty, 1 hotel dan 1 resort. Tahun 2015 jumlah hotel dan homestay menjadi 28 bangunan dengan 6 hotel, 3 resort dan 17 homestay. Tahun 2016 telah dibuka lagi 1 bangunan hotel bintang 3. Pertumbuhan sarana akomodasi tersebut, membutuhkan lahan dengan luasan cukup banyak.
Bukti Peralihan Lahan (Tanah)
Berkaca pemberitaan Suara Merdeka tanggal 28 Nopember 2016 dengan judul berita “Punggung Karimunjawa Kini Berbopeng”, salah satu pejabat di Karimunjawa menyatakan “pengeprasan dan pengerukan lahan itu milik perorangan yang beralamat di Solo yang sudah lama disini”. Ditulis pula bahwa luas lahan tersebut 3 hektar dan berada di bawah hutan lindung yang diatasnya. Hal ini dapat diduga telah terjadi peralihan penguasaan lahan di luar kawasan konservasi TNKJ ke pemilik di luar penduduk Kepulauan Karimunjawa.
Sepanjang jalan Karimunjawa – Kemujan dijumpai MMT dijual tanah sekian ribuan meter2 sampai 30.000 m2  atau 3 hektar. Sangat jarang penawaran tanah ukuran kavling rumah tinggal. Dapat diduga, penjualan lahan dalam ukuran besar tujuannya menyasar investor untuk berinvestasi di Karimunjawa. Hotel, homestay dan resort yang didirikan belakangan ini, kemungkinan investornya berasal dari “luar”. Berbagai keterangan yang diperoleh, sarana akomodasi tersebut ada yang dimiliki oleh “Bule”. Kita harapkan bule tersebut sudah melakukan naturalisasi kewarganegaraan menjadi warga negara Indonesia. Jika tidak, bagaimana “Bule” memiliki tanah di Kepulauan Karimunjawa? (tidak kita bahas di sini).
Upaya peralihan penguasaan lahan, juga terjadi di dalam kawasan TNKJ. Tanggal 19 Februari 2008 terjadi penerbitan sertifikat yang terdiri dari 5 bidang setara 170.027 m2 atau 17,0027 ha di bagian daratan TNKJ yang dulunya Cagar Alam Pulau Karimunjawa dan telah ditata batas temu gelang dengan keluarnya Berita Acara Tata Batas Cagar Alam Pulau Karimunjawa pada tanggal 13 Maret 1989. Pada tahun 2015, BTNKJ menghadapi gugatan perdata dari salah satu oknum masyarakat yang melakukan klaim lahan di dalam kawasan TNKJ walaupun hasil akhirnya Pengadilan Negeri Jepara membatalkan pencatatan gugatan yang diajukan penggugat oknum masyarakat.
Mengapa Terjadi Peralihan Lahan
Bruce (1998) dalam Affandi dan Harianja (2008), menyatakan bahwa dalam kajian Land tenure system kata tenure berasal dari kata dalam bahasa Latin “tenere” yang mencakup arti: memelihara, memegang, atau memiliki. Land tenure berarti sesuatu yang dipegang dalam hal ini termasuk hak dan kewajiban dari pemangku atau penguasa lahan. Land tenure adalah istilah legal untuk pemangkuan lahan, dan bukan hanya sekedar fakta pemangkuan lahan. Seseorang mungkin memangku lahan, tetapi ia tidak selalu mempunyai hak menguasai.
            Berdasarkan pengertian di atas, penguasa lahan mempunyai hak dan kewajiban atas tanah yang dikuasainya. Artinya dapat berbuat “apapun” atas lahan yang dikuasainya. Bagaimana jika masyarakat “kecil” yang menguasai lahan tersebut? Fakta di lapangan dan tidak hanya terjadi di Karimunjawa, bahwa suatu ketika akan dilepaskan penguasaan atas lahan. Alasan – alasan yang banyak diungkap dari pemegang awal lahan adalah :
1) Tidak punya “modal” untuk mengembangkan lahan sebagai modal alam. Modal dimaksud tidak hanya mencakup fisik (bangunan dan finansial) tetapi juga sumber daya manusianya (keahlian dan ketrampilan) serta modal sosial secara vertikal. ;
2)         Adanya keinginan “pemenuhan kebutuhan baru dan semakin meningkat dan banyak variasinya”. Masyarakat Karimunjawa telah mengalami transformasi gaya hidup, sejak industri wisata masuk. Perubahan gaya hidup tentunya menambah biaya hidup.
Pengendalian oleh Stakeholder dan BTNKJ
Mencegah peralihan lahan sangat sulit bahkan tidak mungkin, apalagi pada lahan hak milik. Di Kecamatan Karimunjawa, pengendalian yang bisa diterapkan ada di izin mendirikan bangunan (IMB). “Kalau luasnya di bawah 100 m2 itu otoritas kecamatan, tetapi kalau lebih lewat kabupaten,” kata salah satu pejabat di Kecamatan Karimunjawa seperti dikutip dari harian Suara Merdeka tanggal 28 Nopember 2016. Inilah peran Pemda Jepara dalam mengendalikan peruntukan lahan di luar kawasan TNKJ dan di lahan milik masyarakat. 
Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) melaksanakan patroli rutin, patroli fungsional, dan patroli gabungan dengan kepolisian untuk mencegah terjadi peralihan lahan di dalam kawasan TNKJ. Ini pun, masih ada upaya oknum masyarakat untuk memiliki lahan di dalam TMKJ terutama pada daerah yang berbatasan langsung dengan lahan masyarakat. Modus yang digunakan adalah perusakan sarana prasarana perlindungan hutan berupa pal batas dan penebangan pohon  untuk menambah luas lahannya. Pada tahun 2017, dengan output kegiatan menurunnya gangguan pada kawasan TNKJ telah dianggarkan Rp 1.376.687.000,00 melalui kegiatan pengamanan kawasan (baik pre-emtif, persuasif dan penegakkan hukum) dan sosialisasi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berkaitan hal di atas, Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) wilayah kerja Kabupaten Jepara yang menerima pensertifikatan tanah di Kecamatan Karimunjawa dan berdekatan dengan batas kawasan TNKJ, seyogyanya meminta rekomendasi BTNKJ yang berkoordinasi dengan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah IX Jawa dan Madura.
Setiap tahun BTNKJ menganggarkan kegiatan pengembangan usaha ekonomi desa di desa penyangga TNKJ untuk mendukung peningkatan pendapatan masyarakat. Pada tahun 2017 dengan output kegiatan terciptanya usaha ekonomi produktif di desa sekitar taman nasional telah dianggarkan Rp 238.478.000,00. BTNKJ juga membentuk dan membina Sentra Penyuluhan Kehutanan Terpadu (SPKP) Mangga Delima yang bergerak di persewaan peralatan pesta di Desa Kemujan dan Karya Bhakti yang bergerak di bidang simpan pinjam, persewaan alat selam dan membuka kios kelontong di Desa Karimunjawa. SPKP selalu didampingi fungsonal penyuluh dan rutin melaksanakan pertemuan rutin. Hasil audit SPKP menunjukkan bahwa deviden yang dibagi kepada setiap anggota meningkat disertai peningkatan aset kelompok.
Pengembangan homestay, merupakan satu jalan mencegah peralihan lahan milik masyarakat di TNKJ. Homestay adalah “rumah dan tempat tinggal” milik warga setempat yang dikembangkan sebagai penginapan bagi wisatawan sekaligus tempat edukasi wisatawan mengenal filosofi kehidupan pemiliknya. Wisata di TNKJ dapat mengeksplorasi filosofi kehidupan masyarakat Karimunjawa. Pemda harus membuat terobosan, agar pengembangan homestay dapat diajukan dalam penganggaran pembangunan dengan aturan “mengikat dan tidak menjerat”. Pemda dapat mendorong perbankan terlibat dalam merenovasi rumah agar layak sebagai homestay dengan memberikan insentif fiskal. Juga memberikan jaminan pendampingan dan pengawasan pengelolaan homestay dengan menggerakkan penyuluh wisata yang dididik, dibiayai dan bertanggung jawab ke pemda setempat.
Peningkatan pendapatan masyarakat dan homestay dapat mencegah peralihan tenurial.


*Pengendali Ekosistem Hutan Balai Taman Nasional Karimunjawa

Senin, 20 Februari 2017

WISATA MANDIRI DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

TREN WISATA MANDIRI DI TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA
Oleh ; Isai Yusidarta, ST., M.Sc.


Perjalanan wisata menjadi kebutuhan masyarakat khususnya perkotaan. Terdapat asumsi, selain asupan empat sehat lima sempurna, perjalanan wisata merupakan pelengkap untuk hidup sehat. Wisata (perpaduan olah raga dan penyegaran otak) diamini dapat membuat hidup lebih seimbang dan menjaga kebugaran.
Kemajuan peradaban manusia dalam hal teknologi telah mendorong pergeseran perjalanan wisata. Perjalanan ke pusat kota (mall, cinema dan wisata buatan) telah bergeser ke daerah yang menyediakan nuansa dan suasana alam (ekowisata). Pergeseran tujuan perjalanan dari bersenang-senang berubah menambah pengetahuan bahkan pekerjaan baru. Perjalanan massal (group, berkelompok) dengan jasa agen wisata mulai bergeser ke perjalanan mandiri.
Tribun Jateng tanggal 14 September 2016 memberitakan bahwa : 1) konsumen lebih memilih berwisata secara mandiri (pribadi); 2). minat masyarakat menggunakan biro wisata berkurang. Perjalanan wisata madiri didukung keterbuakaan informasi tentang aksesibilitas, cost/biaya yang dibutuhkan, Obyek Daya Tarik Wisata (ODTWA) yang tersedia sehingga wisatawan dapat merancang dan menghitung kebutuhannya. Dapat dikatakan bahwa orang (wisatawan) yang melakukan perjalanan wisata mandiri sebagai selfietraveller.
Taman Nasional Karimunjawa (TNKJ) menjadi tujuan perjalanan wisata di Jawa Tengah, khususnya selfietraveller. Menurut kacamata penulis, TNKJ menyediakan aksesibilitas dan amenitas yang mudah dicari dan tidak rumit, ODTWA, atraksi wisata local dan aktivitas wisata yang jarak antar lokasi hanya berada dalam satu lokasi kecamatan. Kondisi ini memudahkan si selfietraveller dalam berwisata.  

Manfaat teknologi bagi selfietraveller
Akses informasi yang murah dan mudah, memungkinkan selfietraveller melakukan perjalanan mandiri tanpa operator tour and travel (agen wisata). Berkembangnya perangkat teknologi seperti smartphone, setiap saat mampu memberikan informasi yang dibutuhkan. Informasi tentang aksesibilitas ke kawasan wisata, penginapan mulai homestay hingga hotel berbintang, kuliner yang tersedia, sewa moda transportasi bahkan tidak jarang lokasi tempat tujuan traveling yang remote dapat dengan mudah diakses.
Selfietraveller dapat menyusun sendiri anggaran perjalanannya. Posisi  tawar selftraveller menguntungkan dalam mencari dan memilih akomodasi penunjang perjalanan. Setiap penyedia jasa akomodasi, pada tingkatan dan jenis pelayanan yang sama menawarkan “harganya sama” hanya beda tipis di informasi dunia maya. Mereka mempunyai pemahaman sama “tidak menyembunyikan harga yang ditawarkan”.
Selfietraveller memegang “diskon” harga, terjadi ketika selfietraveller dan penyedia jasa akomodasi bertemu melakukan deal-deal harga dan jasa yang diberikan. Pada saat seperti ini beberapa kemungkinan dapat terjadi yaitu 1). dengan jasa sama yang tertera pada informasi akan terjadi penurunan harga; atau 2). harga deal sesuai informasi diiringi penambahan fasilitas.

Kelebihan wisata mandiri
Selfietraveller dapat menentukan timescedule perjalanannya (mau tepat waktu, molor atau merubah) tanpa sungkan mengganggu perjalanan orang lain. Ketika menemukan ODTWA yang menarik, dan dia mau menikmati dengan rileks tidak akan menemukan hambatan. Selfietraveller dengan mudah melakukan interaksi dengan ODTWA tanpa dibatasi dengan waktu kunjungan,  memanjakan dirinya dengan berfoto selfie landscape, mengamati – mempelajari – menikamati keunikannya sampai tingkatan tertentu yang memuaskan dirinya. Hal tersebut tidak mungkin diperoleh ketika diatur oleh agen wisata. Begitu juga tentang akomodasi, kuliner, moda transportasi dan atraksi wisata dan tentunya akan disesuaikan dengan “ketebalan kantong”.
Interaksi dengan stakeholder kawasan wisata dapat mudah dilakukan dan menguntungkan bagi selfietraveller dan stakeholder. Tidak jarang selfietraveller akhirnya “bekerjasama” dengan homestay, suatu ketika selfietraveller merekomendasikan dan “mengirim” selfietraveler baru.

Peran Balai TNKJ sebagai pengelola
TNKJ merupakan gugusan kepulauan di Laut Jawa yang mempunyai luas total 111.625 Ha yang ditetapkan berdasarkan SK Menhut No.78/Kpts-II/1999 tanggal 22 Februari 1999. TNKJ merupakan satu-satunya kawasan pelestarian alam perairan di Propinsi Jawa Tengah yang merepresentasikan keutuhan dan keunikan pantai utara. Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKJ) hadir hingga tingkat tapak melalui seksi pengelolaa taman nasional (SPTN) hingga resort wilayah taman nasional.
Menyongsong booming selfietraveller, BTNKJ telah mempersipakan diri hingga tingkat tapak. Sebagai contoh : ODTWA Trekking Mangrove yang terletak di SPTN Kemujan telah didukung dengan terbitnya Buku Interpretasi Trekking Mangrove. Buku ini dapat memandu para selfietraveller untuk menikmati suasana hutan mangrove dan mempunyai nilai plus yaitu menambah pengetahuan tentang mangrove. Buku ini berisikan tentang : 1). gambaran sekilas hutan mangrove; 2). Pengenalan jenis mangrove; 3). peta jenis mangrove di sekitar trekking; 4). aksesibilitas ke trekking mangrove; 5). aktivitas yang dapat dilakukan; 6). sarpras trekking mangrove (papan informasi, pusat informasi,menara pandang, shelter, jalur trekking, toliet; 7). pengenalan jenis burung; 8). peta jenis burung di sekitar trekking; 8). pengenalan capung, kupu-kupu dan ular; 9). Aktivitas masyarakat sekitar trekking; 10). Tip-tip berwisata di trekking; dan 11). Tata tertib di menara pandang.

Salah satu kekurangan yang dihadapi oleh selfietraveler adalah ketiadaan pendamping (guide), BTNKJ telah menyediakan pusat informasi di Kantor Seksi Pengelolaan TamanNasional yang berada di Desa Karimunjawa dan Desa Kemujan yang mudah dicari. Pusat informasi tersebut menyediakan berbagai informasi yang dibutuhkan bahkan ketika memasuki trekking mangrove misalnya ada petugas yang dapat memberikan pemanduan. BTNKJ juga telah melatih tenaga interpreter yang berasal dari pegawai BTNKJ, kader konservasi dan masyarakat sekitar. Bahkan jika dibutuhkan informasi tentang TNKJ di Kota Semarang dapat menghubungi Kantor Balai Taman Nasional Karimunjawa, Jl. Sinar Waluyo No. 248 Semarang.