Selasa, 14 Maret 2017

KOMPETISI RUANG ANTARA KARANG BERCABANG DAN KARANG LUNAK

KOMPETISI RUANG ANTAR ORGANISME 
DI DALAM EKOSISTEM TERUMBU KARANG
(Karang Bercabang dan Karang Lunak)
Oleh : Isai Yusidarta, ST., M.Sc.*


Setiap mahluk hidup, tidak terkecuali hewan karang yang awalnya hanya terbentuk dari beberapa individu polyp karang sejenis berkoloni membentuk bangunan karang. Tujuan akhir mereka berkoloni adalah mempertahankan hidup dan mengembangkan diri (memperbanyak). Berkompetisi dengan koloni lain merupakan salah satu jalan yang harus ditempuh untuk mencapai tujuannya.
Kompetisi yang dilakukan diantara hewan karang adalah memperebutkan habitat di substrat dasar dan kolom perairan. Bagi hewan karang ketersediaan substrat dasar dan kolom perairan yang memenuhi persyaratan untuk tempat tinggalnya sangat terbatas diantara hewan karang itu sendiri atau dengan individu lain di ekosistem perairan dangkal terutama terumbu karang. Kompetisi merupakan salah satu bentuk hubungan ekologis antar individu di dalam kolom perairan laut dangkal yang memiliki ruang dan waktu yang terbatas. Pada tulisan terdahulu sudah digambarkan kompetisi antara karang massive dan karang lunak. Kompetisi jugaterlihat jelas pada karang bercabang dan karang lunka.
Stylophora pystilata termasuk karang bercabang dengan pertumbuhan lebih cepat dibandingkan karang massive. Koloni yang terbentuk membulat dengan axial yang runcing cenderung tumbuh ke bagian atas kolom perairan ke arah permukaan air laut.
Kompetisi antara Stylophora pystilata dengan karang lunak Cladiella sp yang terjadi di Taman Wisata Alam Laut (TWAL) Teluk Kupang, Kota Kupang Nusa Tenggara Timur, dapat dilihat pada Gambar 1 hasil cropped dan perbesaran foto aslinya (di bawah gambar 1). Tampak axial dari Stylophora pystilata (A) dan bagian tepi Cladiella sp (B) terdapat jarak (tidak bersentuhan yang saya sebut daerah demarkasi/ pemisah – red) walaupun sangant tipis sekali kurang lebih 5 mm. Dapat di duga pada daerah ini terjadi “perang nematokis” yang diproduksi oleh keduanya.
Daerah demarkasi yang timbul akibat kompetisi ruang antara karang bercabang dengan karang lunak (Cladiella sp) ternyata lebarnya lebih kecil (tipis) dibandingkan kompetisi karang karang massive dengan karang lunak (Cladiella sp), pada lokasi yang sama di perairan pantai Tablolong, TWAL Teluk Kupang. Perbandingan tersebut dapat dilihat pada Gambar 1 , 2, 3 dan 4.
Membandingkan ketiga gambar, dapat diduga beberapa hal yang menyebabkan timbulnya perbedaan lebar daerah demarkasi, diantaranya :
1.   Perbedaan bentuk koloni karang keras, memungkinkan adanya perbedaan kualitas dan kuantitas nematokis yang dihasilkan. Pada karang massive dengan bentuknya yang lebih kompak memungkinkan nematokis dikeluarkan bersamaan pada keseluruhan permukaan yang berhadapan langsung dengan karang lunak, dengan kualitas dan kuantitas yang sama.
Hal tersebut berbeda dengan yang dilakukan karang bercabang. Lebar demarkasi paling kecil terjadi pada daerah axial karang bercabang. Di bagian lain nya, jalur demarkasi lebih lebar.Kemungkinan nematokis yang dihasilkan pada axial karang bercabang kualitas dan kuantitasnya lebih rendah, tetapi masih mampu menahan laju pertumbuhan karang lunak. Mengapa demikian? Karena bagian axial karang bercabang masih muda dan massa energinya-nya lebih digunakan untuk pertumbuhan. Berbeda tentunya dengan karang massive, yang keseluruhan bagian strukturnya berumur sama.
2.  Perbedaan ukuran koloni karang. Ukuran koloni dapat diasumsikan dengan umur koloni. Sehingga koloni ukuran besar diduga umurnya juga lebih tua dibandingkan koloni lebih kecil, dengan asumsi pada karang sejenis dan atau bentuk pertumbuhan koloni yang sama.
Pada koloni karang yang besar dapat diduga bahwa kuantitas nematokis yang dikeluarkan lebih tinggi dibadingkan koloni karang kecil. Demikian juga dengan kualitas nematokis, karang koloni ukuran besar diduga mengeluarkan nematokis dengan kualitas racun yang lebih tinggi dibandingkan koloni karang ukuran kecil. Membandingkan gambar 2 dan 3 saja, sekilas terlihat daerah demarkasi lebih pada gambar 3 lebih lebar. Daerah demarkasi terlihat nyata dengan adanya daerah substrat terbuka yang tidak ditempeli oleh karang lunak (panah kuning pada gambar 4 hasil cropping dari gambar 3).
Kemampuan berkompetisi karang massive berkaitan dengan ukuran koloni (asumsi lainnya = nol) yang berbeda dapat dilihat pada gambar 5. Lingkaran hitam menunjukkan karang massive paling kecil 90% sudah tertutupi Sinullaria sp. Lingkaran merah menunjukkan karang massive agak besar sudah tertutupi 50% oleh Sinullaria sp. Lingkaran kuning menunjukkan karang massive masih mampu menahan usaha penutupan yang dilakukan oleh Sinullaria sp. Perbedaan ukuran koloni karang massive menghasilkan kemampuan daya tahan berkompetisi yang berbeda pada lawan yang sama.
3.       Perbedaan ukuran koloni kompetitor di bandingkan ukuran koloni karang keras.
Ukuran koloni kompetitor berpengaruh pada hasil kompetisi yang dicapai oleh karang keras. Pada gambar 2 dan 3 terlihat perbedaan hasil akhir dari kemampuan melakukan kompetisi melawan ukuran koloni kompetitor yang berbeda.
Pada gambar 2 menunjukkan ukuran koloni karang lunak yang lebih besar dibandingkan koloni karang massive, melakukan strategi melingkari. Jika dilakukan pengamatan terus menerus, dapat diduga pada akhirnya karang lunak akan melingkari dan menutupi karang massive.
Pada gambar 3 menunjukkan koloni karang lunak ukurannya masih lebih kecil daripada karang massive. Hasil sementara, kompetisi masih dimenangkan oleh koloni karang massive. Jika diteruskan, kemungkinan bisa berbeda tetapi memerlukan pengamatan secara kontinyu dan tahun jamak yang panjang. Hal ini disebabkan kemampuan tumbuh karang lunak lebih cepat dan menurut pengamatan dan pengalaman penulis selama ini, karang lunak melakukan strategi melingkar untuk mendominasi penguasaan daerah ketika ekosistem terumbu karang sudah rusak.




Gambar 1. Daerah Demarkasi Yang Timbul Akibat Kompetisi Antara Karang Keras Stylophora pistilata dan karang lunak Cladiella sp, ditunjukkan panah kuning



Gambar 2. Kompetisi pemanfaatan ruang antara karang massive (Favites sp) dan karang lunak (Sinularia sp). 


Gambar 3. Kompetisi pemanfaatan ruang antara karang massive (Favites sp) dan karang lunak (Sinularia sp)


Gambar 4. Daerah yang tidak tersentuh karang lunak Cladiella spHasil cropping gambar 3.


Gambar 5. Hasil sementara kompetisi antara 3 koloni karang massive berbagai ukuran dengan karang lunak Sinullaria sp.

*Pengedali Ekosistem Hutan Balai Taman Nasional Karimunjawa

Sabtu, 11 Maret 2017

KOMPETISI RUANG ANTAR ORGANISME DI EKOSISTEM PERAIRAN LAUT DANGKAL (Karang Keras dan Karang Lunak)

KOMPETISI RUANG ANTAR ORGANISME 
DI EKOSISTEM PERAIRAN LAUT DANGKAL
(Karang Keras dan Karang Lunak)

Oleh : Isai Yusidarta*
Kompetisi merupakan salah satu bentuk hubungan ekologis antar individu di dalam kolom perairan laut dangkal yang memiliki ruang dan waktu yang terbatas. Pada ekosistem terumbu karang yang dibatasi ruang dan waktu (lihat syarat-syarat pertumbuhan karang), sangat terlihat jelas adanya kompetisi terutama karang dengan pertumbuhan cepat dan karang dengan pertumbuhan lambat.
Kompetisi ruang dan waktu di dalam kolom perairan terumbu karang diantara individu yang settle (menempel pada substrat) melibatkan penggunaan senyawa kimia beracun yang disebut dengan nematokis untuk menghambat pertumbuhan individu yang menjadi kompetitor untuk mendapatkan ruang kehidupan dan tempat yang dapat memperkecil exposure  dengan udara pada saat air surut.
Pada gambar 1, memperlihatkan kompetisi antar individu yang settle (menempel) substrat antara karang antara karang massive (Favites sp) dan karang lunak (Sinularia sp.) di kedalaman 3 meter pada perairan Tablolong, Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur. Daerah lingkarang merah (C) merupakan daerah demarkasi (daerah kosong) yang terbentuk akibat dari pengeluaran nematokis oleh Favites sp (A) untuk mencegah ekspansi dari  Sinularia sp (B), yang dapat mengakibatkan kematian Favites sp. Sehingga karang Sinularia sp tidak dapat menempel pada Favites sp. Sebenarnya Sinularia sp  juga mempunyai nematokis, tetapi kekuatan membunuh nematokis dari Favites sp lebih tinggi dari pada Sinularia sp. Tetapi Sinularia sp mempunyai pertumbuhan yang cepat. Pada umumnya individu yang menempel pada substrat dengan pertumbuhan lambat mempunyai nematokis dengan kemampuan membunuh lebih tinggi.






Gambar 2, menunjukkan bahwa daya menghambat/ membunuh nematokis dari karang massive lebih tinggi dari karang lunak. Karang massive A1, A2, dan A3 dengan ukuran yang lebih kecil mampu menghambat ekspansi pertumbuhan karang lunak yang lebih cepat pertumbuhannya.
Survival life dari karang massive A1, A2, dan A3 juga berbeda-beda karena dipengaruhi oleh habitat disekitarnya. Karang lunak  dalam ekspansi pertumbuhan melakukan tindakan yang cerdas dengan memanfaatkan habitat yang ada. Karang lunak dalam menaklukkan karang massive A2 memanfaatkan substrat disekitarnya sebagai tempat menempel untuk tumbuh dan berkembang sehingga pada akhirnya membuat semacam kubah yang dapat menutupi karang massive A2. Pada tahap selanjutnya dapat diduga karang massive A2 akan mati karena tidak mendapatkan cahaya matahari untuk proses fotosintesis oleh klorofil yang bersimbiosis dengan polyp karang massive A2. Pada akhirnya karang massive A2 akan menjadi substrat bagi karang lunak karena polyp karang massive A2 sudah mati. Hal ini belum tentu terjadi pada karang massive A1, karena karang lunak tidak mempunyai pijakan subtrat lain yang dapat digunakan untuk membuat kubah. Jika ekspansi pertumbuhan karang lunak lebih cepat, hanya akan melingkari karang massive A1. Kemungkinan lain yang terjadi adalah secara lambat karang massive A1 akan menggeser pertumbuhan karang lunak, ketika pertumbuhannya membesar dengan memproduksi nematokis yang lebih banyak.


Gambar 2. Kompetisi pemanfaatan ruang antara berbagai individu karang massive dan karang lunak (Sinularia sp).





Gambar 3. Kompetisi ruang antara karang keras Heliophora sp dan karang lunak Cladiella sp (A dan B - insert). Pada gambar B tanpak sekali ruang demarkasi yang tidak dapat tersentuh oleh Cladiella sp. Karang massive yang mempunyai ukuran lebih besar mampu menghambat pertumbuhan karang lunak bahkan membunuh karang lunak. Pada ekosistem terumbu karang yang bagus, karang lunaknya tidak dapat mendominasi dan merupakan organisme minor.

* Pengendali Ekosistem Hutan Balai Taman Nasional Karimunjawa

Kamis, 09 Maret 2017

SENTRA PENYULUH KEHUTANAN PEDESAAN MANGGA DELIMA, TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA

KESAKSIAN UMAYAH TENTANG SPKP MANGGA DELIMA
Oleh : Isai Yusidarta, ST., M.Sc.*
Ibu Umayah berusia 42 tahun hanya lulusan sekolah menengah atas, asli kelahiran Karimunjawa KabupatenJepara. Berputra satu orang yang telah lulus sekolah menengah kejuruan. Mengajar di sebuah taman kanak – kanak dekat tempat tinggalnya di Desa Kemujan, Kecamatan Karimunjawa, Kabupaten Jepara.Tugas utamanya adalah ibu rumah tangga. Mengajar di sebuah taman kanak-kanak Desa Kemujan menurut beliau merupakan salah satu aktivitas sosial, selain menjadi pengurus Pos Yandu setempat dan aktif di Perkumpulan Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP) Mangga Delima.
Ibu Umayah didaulat sebagai Sekretaris Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan (SPKP) Mangga Delima Desa Kemujan sejak periode kepengurusan 2015 – 2016 dan 2017 – 2018. Ibu Umayah mulai terlibat dalam SPKP Mangga Delima pada tahun 2014. Sebuah laptop milik sendiri adalah temannya dalam membuat laporan kegiatan SPKP Mangga Delima. Berkas – berkas tentang SPKP Mangga Delima beliau arsipkan juga di rumahnya sebagai cadangan katanya. Foto-foto kegiatan SPKP Mangga Delima juga telah terarsip rapi baik yang tercetak maupun dalam bentuk softfile. Beliau sangat fasih dan menguasai seluk beluk organisasi yang diemban bersama dengan rekan – rekannya, terutama kondisi SPKP Mangga Delima sejak beliau terlibat di dalamnya.
Ibu Umayah menunjukkan satu bundel dari akta Nomor : 60 tanggal 21 Oktober 2016 tentang Pendirian Perkumpulan Sentra Penyuluh Kehutanan Pedesaan Mangga Delima yang dikeluarkan oleh Notaris. H. A. Qomar Nasikh, SH. Berdasarkan akta di atas keluar Keputusan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia Nomor AHU-0076485.AH.01.07.Tahun 2016 tentang Pengesahan Pendirian Badan Hukum Perkumpulan Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan Mangga Delima Karimunjawa Jepara tertanggal 21 Oktober 2016. Selain akta tersebut juga dilengkapi dengan lampiran yang berisikan susunan pengurus dan pengawas serta NPWP Perkumpulan SPKP Mangga Delima.
Ibu Umayah mengatakan bahwa Akta Nomor AHU-0076485.AH.01.07.Tahun 2016 merupakan bukti bahwa Perkumpulan SPKP Mangga Delima telah berbadan hukum sesuai Peraturan Menteri Dalam Negeri tahun 2016 yang merupakan revisi dari Permendagri nomor 52/2015 sebagai turunan dari UU 23/2014 tentang Penerima Dana Bantuan Sos atau yang lebih dikenal dengan dana hibah.
Ibu Umayah menuturkan bahwa pembuatan akta tersebut disepakati anggota perkumpulan setelah adanya sambutan Menteri Kelautan dan Perikanan Ibu Susi Pudjiastuti beberapa waktu lalu ketika berkunjung di Taman Nasional Karimunjawa yang menyarankan agar perkumpulan dan kelompok masyarakat di Karimunjawa berbetuk badan hukum. Menurutnya, selain untuk mendapatkan kepastian hukum dalam penerimaan dana bantuan dari stakeholder, juga untuk pengembangannya. Perkumpulan yang berbadan hukum dapat menerima bantuan dana sosial di atas 50 juta.
Ibu Umayah mengungkapkan bahwa penjelasan Ibu Susi dibawa ke pertemuan rutin SPKP Mangga Delima dan disepakati untuk meningkatkan status SPKP Mangga Delima menjadi Badan Hukum Perkumpulan Sentra Penyuluhan Kehutanan Pedesaan Mangga Delima Karimunjawa Jepara. Dana yang digunakan sebesar Rp 2.740.000,00 untuk pengurusan akta tersebut berasal dari uang kas Usaha Persewaan Tratak yang menjadi salah satu usaha SPKP Mangga Delima. Biaya tersebut meliputi biaya akta notaris sebesar Rp 1.500.000,00 yang dibayarkan ke Notaris. H. A. Qomar Nasikh, SH., di Jepara dan sisanya untuk keperluan mengurus akta tersebut seperti tiket kapal pp (Ibu Umayah dan Pak Rokhiman), makan, penginapan selama di Kota Jepara dan lain-lain. Belaiu mengurus akta tersebut mulai berangkat dari Kemujan tanggal 20 Oktober 2016 dan kembali dari Kota Jepara tanggal 22 Oktober 2016.
Ibu Umayah menceritakan usaha persewaan tratak dan perlengkapannya sangat mudah pengelolaannya. Masyarakat lebih suka menyewa di SPKP Mangga Delima karena lebih miring haraganya sekitar Rp 600.000,00 per set dibandingkan dari swasta sebesar Rp 1.600.000,00 per set. Kalau untuk kematian hanya dikenakan tarif sosial sekitar Rp 200.000,00 (dari swasta mana boleh?). Bahkan sewa lengkap (+ sound system dan proyektor) hanya Rp 1.600.000,00. Intinya kegiatan pemeliharaan sapi, modal simpan pinjam dan persewaan tratak yang berasal dari BTNKj memberikan keuntungan komersial bagi anggota SPKP.
Ibu Umayah melanjutkan SPKP juga telah melakukan perawatan peralatan tratak yang rusak dan telah menganggarkan pembelian kursi baru, mengingat kursi yang layak dipakai tinggal 89 buah dari sejumlah 100 buah bantuan BTNKj. Memperbaiki peralatan sound system yang sempat rusak. Melakukan service berkala terhadap genset diesel. Intinya SPKP merawat segala bantuan yang diberikan BTNKj. (Penulis sendiri melihat bahwa peralatan sewa terawat dengan baik. Kalau ada kursi yang patah sudah wajar karena pengadaan tahun 2013).
Ibu Umayah mengakui bahwa kegiatan persewaan tratak mampu mendekatkan ke hati masyarakat Desa Kemujan, dan mampu menunjukkan eksistensi Taman Nasional Karimunjawa. Anggota Perkumpulan SPKP Mangga Delima dahulu sering dijuluki “Antek Balai Taman Nasional Karimunjawa (BTNKj)” sekarang menurutnya tidak lagi, “Ikan mudah di dapat : rumpian masyarakat Kemujan”. Masyarakat dulu menentang program BTNKj terutama zonasinya karena membuat area pergerakan nelayan berkurang. Adalagi cuitan  masyarakat (kaya twitter aja) : sewa tratak di SPKP Mangga Delima murah dan membantu masyarakat keci. Selain memberikan keuntungan kepada anggota, juga membantu masyarakat Kemujan juga ke BTNKj. SPKP Mangga Delima juga melakukan kegiatan penanaman mangrove, bersih – bersih pantai, penyuluhan, kampanye konservasi yang didampingi Seksi Pengelolaan Taman Nasional  Wilayah I (SPTN I Kemujan). SPKP sering melakukan penyuluhan mandiri ke pemuda dan karang taruna bahkan menyisihkan sebagian hasil usaha berupa dana sosial ke kelompok pemuda karang taruna sebesar Rp 500.000,00/kelompok karang taruna.
Ibu Umayah berharap agar BTNKj dapat memberikan bantuan lagi pengembangan persewaan tratak terutama panggung yang belum ada, penambahan tratak model lengkung (katanya – model yang berkembang di Karimunjawa) dan disertai kelengkapannya. Bimbingan teknis pengelolaan keuangan (keinginan untuk bisa membuat Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja – penulis) sehingga neraca keuangannya standar UMKM (kata beliau), dan digunakan untuk pelaporan keuangan persewaan tratak dan simpan pinjam supaya matching dengan akta badan hukum yang dimiliki (hehehehe). Sedangkan uang pengembangan SPKP Mangga Delima dapat digunakan untuk keperluan lain. BTNKj terus melakukan pendampingan terutama dalam membantu menyelesaikan persoalan baik internal kepengurusan maupun kegiatan penyuluhan tentang konservasi yang dilaksanakan di TNKj.

Amin


 *) Pengendali Ekosistem Hutan Balai Taman Nasional Karimunjawa


Ibu Umayah Sekretaris SPKP Mangga Delima
 Akta Badan Hukum SPKP Mangga Delima
 Lampiran Akta Badan Hukum SPKP Mangga Delima
 NPWP Perkumpulan SPKP Mangga Delima
 Akta No. 60 Tahun 2016 dari Notaris H.A. Qomar Nasikh, SH.

 Pengesahan Akta No. 60 Tahun 2016 dari Notaris H.A. Qomar Nasikh, SH.





















































Senin, 06 Maret 2017

ISOLASI DAN KARAKTERISASI SENYAWA ANTIOKSIDAN ALKALOID DARI SPONGE PERAIRAN KUPANG, NUSA TENGGARA TIMUR

History dari Teluk Kupang

ISOLASI DAN KARAKTERISASI
SENYAWA ANTIOKSIDAN ALKALOID
DARI SPONGE PERAIRAN KUPANG, NUSA TENGGARA TIMUR
Andi Setiawan,1 Peni Ahmadi,1 dan Isai Yusidarta.2

Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung, Bandar Lampung
2 Balai Besar KSDA NTT, Kelapa Lima, Kupang.

ABSTRAK
Telah dilakukan skrining senyawa antioksidan pada lima jenis sponge A01, A08, C21, K70 dan K72 yang diperoleh dari perairan Taman Wisata Laut (TWL) Teluk Kupang. Hasil uji aktivitas antioksidan menggunakan pereaksi DPPH 0,1 mM terhadap ke lima ekstrak metanol sampel secara berturut-turut menunjukkan persen inhibisi radikal bebas A01 4,3%, A08 6,85, K70 7,4%, C21 22,7% dan K72 25,25%. Analisis lanjut ektrak metanol sampel C21 setelah melalui beberapa tahapan kromatografi diperoleh isolat senyawa PN10 dengan aktifitas persen inhibisi sebesar 65,69%. Karakterisasi isolat PN10 menggunakan pereaksi spesifik Dragendrof dan ninhidrin pada kromatografi lapis tipis (KLT) menunjukkan bahwa senyawa PN10 merupakan senyawa alkaloid tersier. Hasil intepretasi spektrum IR isolat PN10 yang diukur menggunakan teknik FTIR-ATR memperlihatkan karakteristik serapan bilangan gelombang pada daerah 1326,52 cm-1 untuk C=N-C-, kemudian 1429,10 cm-1 untuk vibrasi tekuk C-N, dan 1020 cm-1 untuk vibrasi ulur ikatan -C-N-. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa isolat PN10 dari sponge C21 merupakan senyawa alkaloid tersier yang memiliki potensi sebagai  senyawa antioksidan dengan persen inhibisi radikal bebas sebesar 65,69 % pada konsentrasi 25 ppm.
Kata Kunci: Antioksidan, Alkaloid, Sponge, DPPH.
PENDAHULUAN
Perairan TWL Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu kawasan Indonesia yang memiliki potensi yang kaya akan keanekaragaman biota laut. Berbagai jenis biota laut seperti soft coraltunicate, dan sponge dapat dijumpai dengan mudah di perairan Kupang pada kedalaman 3 sampai 30 meter. Kondisi ini tidak saja berpotensi untuk tujuan pengembangan pariwisata dan budidaya laut tetapi juga dapat dijadiakan sebagai sumber kajian ilmiah berkaitan dengan sumber senyawa bioaktif baru dari biota laut guna pengembangan industri farmasi.
Hingga saat ini, studi mengenai pemanfaatan potensi senyawa bioaktif yang bersumber dari biota laut untuk pengembangan industri farmasi masih terus dilakukan. Sponge merupakan salah satu target biota laut yang secara  intensif di kaji guna mendapatkan berbagai informasi mengenai senyawa bioaktif baru. Berdasarkan hasil kajian yang telah di lakukan dalam satu dekade terakhir ini khususnya di perairan Indonesia menunjukkan bahwa sponge memiliki keragaman struktur kimia dengan bioaktifitas yang berbeda-beda. Beberapa jenis senyawa bioaktif yang berhasil diisoalsi antara lain Agosterol A, senyawa polihidroksi sterol asetat, dengan aktivitas sebagai reversal agent terhadap sel tumor yang telah resisten terhadap senyawa anti kanker (Aoki S., et al., 1999), senyawa manadomanzamine A dan B yang memiliki aktivitas sebagai antimikobakteria dan HIV-1 (Peng J., et al., 2003), senyawa fenolik eter terbrominasi dengan aktifitas sebagai antibakteria (Hanif N., et al., 2007), serta
senyawa sesquiterpen aminoquinone, dysideamine, dengan aktivitas menghambat pertumbuhan spesies senyawa yang sangat reaktif terhadap oksigen (Suna H., et al., 2009).
Dalam menindak lanjuti kajian kami untuk mendapatkan senyawa-senyawa bioaktif dari laut khususnya sponge, maka dalam penelitian ini telah dilakukan upaya untuk mengisolasi, mengkarakterisasi dan penapisan senyawa antioksidan dari lima jenis sponge yang diperoleh dari perairan TWL Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Pengujian terhadap ekstrak sponge dan hasil isolat senyawa antioksidan dilakukan secara in vitro menggunakan pereaksi DPPH dengan standar pembanding vitamin C.
METODOLOGI PENELITIAN
SURVEY DAN SAMPLING
Delapan puluh empat sampel biota laut diambil secara acak dengan menggunakan teknik scuba di perairan TWL Teluk Kupang NTT pada tanggal 8 sampai 15 Agustus 2009.
EKSTRAKSI SENYAWA ALKALOID
Untuk mendapatkan ektrak alkaloid, sampel spnge yang telah diperoleh dipotong kecil-kecil dan dikering anginkan, kemudian di rendam dengan metanol lalu disaring untuk memisahkan filtrat dengan residu sponge. Filtrat yang diperoleh dipekatkan dengan mesin pemutar vakum BUCHI R210 pada temperatur 380C, kemudian ekstrak metanol yang diperoleh dipartisi dengan menggunakan pelarut dikloro metan (DCM) dengan air (1:1). Fraksi polar selanjutnya dipisakan dan dipekatkan kembali dengan pemutar vakum. Hasil
pemekatan yang diperoleh kemudian dilarutkan kembali dalam pelarut metanol sebagai ektrak metanol.
PENAPISAN AWAL SENYAWA ANTIOKSIDAN ALKALOID
Terhadap ekstrak metanol sponge perairan Kupang, dilakukan penapisan awal dengan metode cepat microplatereader DPPH (1,1-Diphenyl-2-picrylhydrazyl). Metoda ini bergantung pada reduksi warna ungu DPPH menjadi kuning dari diphenyl picrylhydrazine. Perubahan warna yang terjadi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 419 nm. Larutan DPPH dibuat dengan cara melarutkan DPPH 1,3 mg dalam metanol sebanyak 2,5 mL, sehingga diperoleh konsentrasi DPPH 1,27 mM (Takao et al., 1994; Akhanovna et al., 2008). Mengingat senyawa DPPH sangat sensitif terhadap cahaya maka diupayakan agar pengaruh cahaya pada saat pengukuran sampel seminimal mungkin. Untuk identifikasi alkaloid di uji secara KLT dengan pereaksi spesifik Dragendorff dan ninhidrin.
KROMATOGRAFI KOLOM GRAVITASI LANDAIAN
Ektrak metanol sponge yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan selanjutnnya difraksinasi melalui beberapa tahapan kolom kromatografi landaian. Pada proses kolom kromatografi fase gerak yang digunakan merupakan.campuran DCM : MeOH dan silika gel sebagai fasa diam. Hasil fraksinasi dari setiap fraksi yang diperoleh dimonitor dengan metoda KLT menggunakan pereaksi spesifik DPPH untuk mengidentifikasi senyawa antioksidan dan pereaksi Dragendrof dan ninhidrin untuk mengidentifikasi komponen alkaloid.
UJI KUALITATIF ANTIOKSIDAN
Uji aktivitas antioksidan terhadap isolat antioksidan alkaloid dilakuan dengan cara melarutkan larutan stok sampel 1 mg/mL hingga di dapat konsentrasi akhir pada saat pengukuran menjadi 5, 10, 25, 50, dan 100 ppm.
Untuk masing-masing konsentrasi diambil 100 􀀀L dan dimasukkan ke dalam plate wells kemudian ditambahkan DPPH sebanyak 100 􀀀L disetiap wells sehingga konsentrasi akhir DPPH dalam larutan adalah 0,1 mM. Perlakuan yang sama dilakukan terhadap terhadap vitamin C sebagai kontrol positif dan metanol sebagai blanko. Pengukuran sampel dilakukan dengan menggunakan microplate readerpada panjang gelombang 492 nm. Larutan DPPH 0,2 mM dibuat dengan melarutkan DPPH sebanyak 0,4 mg ke dalam 5 mL metanol (modifikasi dari metode Marxen et al., 2007).
% Inhibisi = [(C-S)/C] x 100
Keterangan :
Nilai C merupakan nilai absorbansi blanko.
Nilai S merupakan nilai absorbansi sampel.
KARAKTERISASI ISOLAT ANTIOKSIDAN ALKALOID
Senyawa alkaloid hasil isolasi ekstrak metanol dari sponge dikarakterisasi secara fisika dan kimia. Analisis gugus fungsi pada struktur alkaloid di dasarkan pada spektrum serapan IR pada daerah bilangan gelombang 4000 - 600 cm-1. Interpretasi spektrum di fokuskan pada serapan di daerah 3400-3300 cm-1 untuk vibrasi N-H dari gugus amina primer dan sekunder. Selanjutnya juga diamati untuk karakteristik gugus fungsi N primer, sekunder dan tersier pada daerah disekitar 1300-900 cm-1. Sedangkan untuk mengkonfirmasi adanya gugus amina picrylhydrazyl). Metoda ini bergantung pada reduksi warna ungu DPPH menjadi kuning dari diphenyl picrylhydrazine. Perubahan warna yang terjadi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 419 nm. Larutan DPPH dibuat dengan cara melarutkan DPPH 1,3 mg dalam metanol sebanyak 2,5 mL, sehingga diperoleh konsentrasi DPPH 1,27 mM (Takao et al., 1994; Akhanovna et al., 2008). Mengingat senyawa DPPH sangat sensitif terhadap cahaya maka diupayakan agar pengaruh cahaya pada saat pengukuran sampel seminimal mungkin. Untuk identifikasi alkaloid di uji secara KLT dengan pereaksi spesifik Dragendorff dan ninhidrin.
KARAKTERISASI SPIKULA SPONGE
Karakterisasi sampel sponge di lakukan berdasarkan pengamatan spikula terhadapsponge yang berpotensi mengandung senyawa antioksidan paling tinggi. Proses pengerjaan melalui tahapan sebagai berikut, sponge diiris kecil ± 0,5 cm3, kemudian dimasukkan dalam tabung reaksi dan ditambahkan asam nitrat pekat secukupnya. Campuran ini kemudian dipanaskan di atas pengaduk magnetik hingga terlarut sempurna, kemudian ditambahkan akuades dan diamkan selama dua jam agar spikula mengendap atau jika tidak mengendapdilakukan centrifugepada 6000 rpm selama 20 menit. Endapan yang diperoleh dicuci sebanyak 2 – 3 kali dengan alkohol absolut sebanyak 1mL untuk menghilangkan kotoran yang tersisa. Endapan diamati di bawah mikroskop Zeiss A10 dengan perbesaran 400x untuk mengetahui bentuk spikulanya (Bell et al.,2005).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel sponge diambil secara acak dengan menggunakan teknik scuba pada kedalaman 3-31 meter di Perairan TWL Teluk Kupang. Dari hasil pengambilan sampel sponge di perairan Teluk Kupang diperoleh sampel sebanyak 84 sampel. Secara umum pengambilan sampel di bagi pada sembilan lokasi pengambilan sampel yang berbeda, seperti terlihat pada Tabel 1. Hasil pengamatan dari bentuk morphologi 84 sampel biota laut teridentifikasi 80 sampel sponge dan 4 tunicate.
Tabel 1. Lokasi pengambilan sampel di Kupang
No
Nama Lokasi
Koordinat
Jumlah
Sampel
Kedalaman (meter)
1.
Tabulolong
S 10º18'52.3"- T 23º28'39.7"
20
10-15
2.
Pos Polair
S 10º13'07.4"- T 23º20'36.2"
11
24
3.
Tabulolong (Barat, 300 Mtr)
S 10º13'48.5"- T 23º26'01.5"
19
8-25
4.
Tabulolong (Timur, 300 Mtr)
S 10º08'45.5"- T 123º29'18"
13
3,3-31
5.
Buluinan
S 10º08'56.6"- T 123º23'11.8"
7
25
6.
Hansini
S 10º10'16.0"- T 123º30'30.7"
6
27
7.
Sekitar Polair
S 10º13'10.9"- T 123º30'18.6"
3
30,1
8.
Tabulolong (Barat, 1Km)
S 10º13'16.0"- T 123º29'47.7"
4
30,5
9.
Sekitar Hansisi
S 10º12'21.8"- T 123º30'30.3"
1
30,6

Berdasarkan data pada Tabel 1. terlihat bahwa keanekaragaman sponge di Kupang paling banyak berturut-turut ditemukan di Tabulolong pada kedalaman berkisar antara 10-15 meter yaitu sebanyak 20 jenis sponge, Tabulolong (300 meter kearah Barat) pada kedalaman 8-25 meter yaitu 19 jenis sponge, Tabulolong (300 meter kearah Timur) pada kedalaman 3,3-31 meter sebanyak 13 jenis sponge, Kawasan Pos Polair pada kedalaman 24 meter sebanyak 11 jenis  sponge, Daerah Buluinan pada kedalaman 25 meter sebanyak 7 jenis sponge, Tabulolong (1 Km kearah Barat) pada kedalaman 30,5 meter sebanyak 4 jenis sponge, dekat kawasan sekitar Polair pada kedalaman 30,1 meter sebanyak 3 jenis sponge, dan sekitar Hansini pada kedalaman 30,6 meter sebanyak 1 sponge.
Perbedaan keanekaragaman sponge di suatu daerah perairan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kejernihan air, kedalaman, intensitas sinar matahari dan arus (Bell et al., 2005). Jika dilihat dari data tersebut, jenis sponge terbanyak diperoleh di Tabulolong pada kedalaman 10-15 meter, hal ini dimungkinkan karena sponge masih mendapatkan cahaya matahari yang cukup di dukung perairan yang jernih. Sedangkan paling sedikit sponge ditemukan di daerah dekat Hansisi yaitu pada kedalaman 30,6 meter dengan kondisi dasar berlumpur dimana pada kedalaman tersebut tentunya hanya memperoleh sedikit cahaya. Dengan kata lain semakin dalam suatu perairan maka semakin sedikit cahaya yang dapat menembus sehingga berakibat pada semakin sedikitnya keragaman sponge yang dapat tumbuh. Pada kondisi tersebut hanya jenis sponge tertentu saja yang memiliki kemampuan tumbuh pada daerah yang kurang cahaya matahari.
Dari hasil 80 sampel sponge yang diperoleh dipilih 5 jenis sponge (A01, A08, C21, K70, dan K72) untuk dilakukan uji awal DPPH, dengan pertimbangan antara lain ketersediaan jumlah sampel yang memadai, ketersediaan data sebelumnya serta keunikan sponge. Spesifikasi kelima jenis sponge ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Spesifikasi sampel sponge A01, A08, C21, K70, dan K72
No
Kode Sampel
Kedalaman (meter)
Lokasi
Spesies
1
A01
10-15,9
Tabulolong
Stylissa carteri
2
A08
10-15,9
Tabulolong
Leucetta sp
3
C21
24,6
Pos Polair
Aaptos sp
4
K70
28
Hansisi
Belum teridentifikasi
5
K72
28
Hansisi
Ianthella basta

PENAPISAN SENYAWA ALKALOID ANTIOKSIDAN
Hasil penapisan dengan menggunakan metode microplate reader 96 wells untuk satu kali pengoperasian terhadap kelima ekstrak metanol sampel sponge secara berturut-turut menunjukkan persen inhibisi radikal bebas sebagai berikut, A01 4,3%, A08 6,85%, K70 7,4%, C21 22,7% dan K72 25,25%. Terukurnya aktivitas senyawa antioksidan di setiap ekstrak metanol sponge dapat disebabkan oleh adanya komponen-komponen sampel dari golongan flavonoid (polifenol) (Grube et al., 2007), terpenoid (Topcu et al., 2007) ataupun senyawa alkaloid yang telah berhasil diisolasi dari tanaman (Shaheen et al., 2005) dan algae (Maiza-Benabdesselam et al., 2007).
Dari kelima jenis sponge di atas, ekstrak metanol sponge K72 memiliki persen inhibisi radikal bebas paling besar (25,6%). Namun untuk kajian lebih lanjut, analisis dan isolasi selanjutnya difokuskan pada sponge C21 dengan mempertimbangkan ketersediaan sampel sponge C21 bila dibandingkan dengan ketersediaan sponge K72 yang relatif sangat terbatas. Lebihlanjut, ditinjau dari aspek aktifitas, ektrak metanol sponge C21 memperlihatkan nilai persen inhibisi (22,7%) yang relatif tidak jauh berbeda dibanding dengan ekstrak K72.
Hasil analisis menggunakan metoda KLT pada ekstrak kasar C21 dengan menggunakan pereaksi DPPH dan Dragendorf dapat dilihat pada Gambar 1. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa ekstrak metanol dari sponge C21 memiliki komponen alkaloid terlihat dari adanya bercak berwarna jingga setelah direaksi dengan pereaksi ragendrof (Gambar 1a) dan bersifat sebagai antioksida dengan indikasi bercak berwarna putih (Gambar 1 b) pada plat KLT didaerah Rf 0,1-0,3.






Gambar 1. KLT dari ekstrak metanol sponge C21 yang dielusi dengan DCM:MeOH 9:1 dengan (a.) direaksikan dengan Dragendorf, (b.) direaksikan dengan DPPH.
ISOLASI DAN KARAKTERISASI SENYAWA ANTIOKSIDAN ALKALOID
Untuk mendapatkan komponen aktif dari ekstrak metanol C21, dilakukan fraksinasi menggunakan teknik kolom kromatografi gravitasi. Kondisi yang dipilih untuk melakukan tahapan fraksinasi menggunakan fasa diam silika gel 60 (0,063-0,200 mm) dan fase gerak campuran DCM:MeOH . Pengerjaan kolom kromatografi di lakukan melalui beberapa tahapan sehingga diperoleh isolat PN 10 seberat 3 mg. Hasil analisis dengan KLT menggunakan reaksi spesifik ninhidrin menunjukkan hasil yang negatif sedangkan dengan peraksi Dragendrof nampak bercak bercak tunggal berwana jingga. Hal ini mengindikasikan bahwa isolat PN10 merupakan senyawa alkaloid tersier.


  










Gambar 2.Spektrum IR Senyawa PN10
Analisis lebih lanjut dengan menggunakan FTIR-ATR spektrum PN10 (Gambar 2) memperlihatkan karakteristik serapan bilangan gelombang pada daerah 1326,52 cm-1 untuk C=N-C-, kemudian 1429,10 cm-1 untuk vibrasi tekuk CN, dan 1020 cm-1untuk vibrasi ulur ikatan -C-N-. Berdasarkan analisis hasil spektrum IR yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa isolat PN10 dari sponge C21 merupakan senyawa alkaloid tersier. Analisis lebih lanjut menunjukkan struktur isolat PN 10 memiliki gugus hidroksi, hal ini terlihat dengan adanya serapan di daerah 3367,32 cm-1 yang mengindikasikan vibrasi ulur dari O-H. Lebih lanjut, tidak adanya serapan yang muncul pada daerah 2940-2875 cm-1 yang signifikan untuk vibrasi C-H dari gugus metilen mengindikasikan bahwa struktur PN10 bukan senyawa alkaloid alifatis. Sedangkan adanya pita serapan pada daerah 1653,37 cm-1 sebagai vibrasi ulur C=C yang mengindikasikan struktur PN10 memiliki ikatan rangkap tak terkonyugasi.
UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN
Perbedaan % inhibisi antara vitamin C dan PN10 dapat diakibatkan oleh kemampuan masing-masing senyawa dalam memberikan elektronnya kepada DPPH, semakin banyak elektron yang diberikan kepada DPPH maka mengakibatkan penurunan nilai absorbansinya yang berarti meningkatnya % inhibisi. Dengan demikian PN10 lebih stabil bila dibandingkan dengan vitamin C. Hal ini terbukti dari nilai % inhibisi vitamin C pada konsentrasi mulai dari 10 ppm hingga 100 ppm menunjukkan nilai yang relatif sama, sedangkan pada PN10 nilai % inhibisinya menunjukkan relatif sama pada konsentrasi lebih dari 25 ppm. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena reaksi yang terjadi adalah reaksi terbatas dimana jumlah antioksidannya lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah radikal DPPH, sehingga mengakibatkan donor elektron menjadi berlebih, sehingga penambahan konsentrasi senyawa PN10 tidak mempengaruh nilai % inhibisi.
Tabel. 3. Absorbansi dan % inhibisi PN10 dan Vitamin C
No.
Konsentrasi
(ppm)
Absorbansi Vit.C
% inhibisi Vit.C
Absorbansi PN 10
% inhibisi PN10
1
5
0,3913
33,41
0,5316
9,52
2
10
0,2163
63,19
0,3746
36,25
3
25
0,1783
69,66
0,2016
65,69
4
50
0,1753
70,17
0,2223
62,16
5
100
0,221
62,39
0,2416
58,87
IDENTIFIKASI SPONGE
Sampel sponge diidentifikasi berdasarkan bentuk morfologinya, yaitu berdasarkan warna, tekstur, bentuk spikula, dan ukuran sponge. Warna dan tekstur sponge dapat diamati secara konvensional, yaitu dengan cara melihat ciri-ciri fisiknya dan membandingkan langsung dengan literatur yang sudah ada (Gambar 3.)
Analisis spikula sponge C21 dilakukan dengan merendam sampel dalam larutan asam nitrat pekat, hal ini bertujuan untuk melarutkan senyawa-senyawa lain yang dapat menggangu analisis spikula (pengotor), sedangkan spikula yang berbahan dasar silika tak larut dalam asam nitrat. Setelah perendaman dalam asam nitrat, selanjutnya dibilas dengan air untuk melarutkan senyawa-senyawa lain yang dapat mengganggu pengamatan dalam analisis spikula. Pencucian lebih lanjut dilakukan dengan alkohol untuk melarutkan senyawa-senyawa yang tak larut air. Hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop Zeiss A 10 dengan perbesaran 400x terlihat pada Gambar 4. Sebagai catatan selama ini belum pernah dilaporkan bahwa bentuk spikula dengan bagian yang berbentuk kanal atau adanya saluran pada bagian sisi spikula secara jelas seperti pada gambar 4.c. belum pernah dilaporkan.







Gambar 3. Bentuk sponge C21 A. Nampak utuh dari luar. B. Nampak bagian dalam berwarna kuning.








Gambar 4. Bentuk Dan Ukuran Spikula Sponge C21
Dari hasil pengamatan bentuk spikula sponge C21, menunjukkan bahwa spikula pada Gambar 4a identik dengan spikula jenis toxa yang memiliki karakterisitik bentuk yang berkelok dan memiliki ukuran panjang 55-85 􀀀m, seperti ditunjukkan pada Gambar 5a. Selain itu gambar 4b. identik dengan spikula jenis smooth styles, bentuk spikula ini apabila ukurannya masih pendek bentuknya sangat lurus, biasanya ukuran dari spikula jenis ini yang ukurannya pendek berkisar antara 155-254 x 4-7 􀀀m, dan untuk ukuran panjang berkisarantara 600-1060 x 6-12 􀀀m dan lebih memiliki bentuk yang lebih lentur bila dibandingkan dengan yang pendek, gambar jenis spikula smooth styles dapat dilihat pada Gambar 5b. Pada Gambar 4c identik dengan spikula jenis long thin oxea (Gambar 5c) yaitu memiliki karakterisitik spikula berbentuk panjang berukuran sekitar 250-350 x 3-14 􀀀m, dengan bagian ujung lebih tajam (lancip)






Gambar 5. Bentuk spikula berdasarkan literatur: a. spikula toxa; b. spikula smooth styles dan c. spikula long thin oxea.
Dari analisis morfologi sponge C21 memiliki karakteristik berbentuk bulat seperti bola, bagian luar berwarna hitam, sedangkan bagian dalam berwarna kuning.Sponge C21 mudah ditemukan pada kedalaman 1-20 meter dan masih mendapatkan sinar matahari maka dapat dikelompokkan dalam sponge yang hidup pada dalam habitat terbuka (Bell et al., 2005) serta adanya bentuk spikula toxa,smooth styles dan long thin oxea memiliki kesamaan fisik dengan sponge jenisAaptos sp.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa perairan TWL Teluk Kupang kaya akan keanekaragaman biota laut khususnya sponge. Hasil identifikasi berdasarkan morphologi dan bentuk spikula menunjukkan bahwa sponge C21 adalah Aaptos sp. Isolat PN10 dari Aaptos sp. merupakan senyawa antioksidan alkaloid yang memiliki aktivitas % inhibisi radikal bebas sebesar 65,69% pada konsentrasi 25 ppm tergolong memiliki aktivitas sebagai antioksidan cukup tinggi. Lebih lanjut, isolat PN10 merupakan senyawa siklik alkaloid yang memiliki gugus hidroksil dan ikatan rangkap tak terkonjugasi.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada 1. Kepala Balai Besar KSDA Kupang, NTT atas bantuan dan dukungan selama kegiatan survey; 2. Ketua Lembaga Penelitian Universitas Lampung, Dr. Eng. Admi Syarif atas arahan dan saran selama kegiatan penelitian ini.; Agus Trianto, Idam Hermawan, dan Eko Setyono yang telah membantu dalam pengambilan dan pendokumentasian sampel sponge.
DAFTAR PUSTAKA
Akhanovna, J., Konan, K.M., Bekro, Y.A., Gabin, M., Zomi, T.J., Mambo, V., and Boua, B.,B., 2008. Phytocompounds of the Extracts of Four Medicinal Plants of Côte D'ivoire and Assessment of their Potential Antioxidant by Thin Layer Chromatography. European Journal of Scientific Research. Vol. 24. pp. 219-228.
Aoki, S., Setiawan, A., Yoshioka, Y., Higuchi, K., Fudetani, R., Chen Z-S., Sumizawa, T.,Akiyama, S., and Kobayashi, M., 1999. Reversal of Muitidrug Resistance in Human Carcinoma Cell Line by Agosterols, Marine Spongean Sterols.Tetrahedron Vol. 55: pp. 13965-13972
Bell, J.J., and Barne, D.K.A., 2005. Effect of Disturbance on Assemblages: an Example Using Porifera. Biol. Bull. Vol. 205 : pp. 144-159.
Grube, A., Assman, M., Lichte, E., Sasse, F., Pawlik,J.R., and Ko’ck, M. 2007.Bioactive Metabolites from the Caribbean Sponge Aka coralliphagumJournal Natural Product. Vol. 70. pp. 504-509.
Hanif, N., Tanaka, J., Setiawan, A., Trianto, A., Voogd, N., Murni, A., Tanaka, C., and Higa, T., 2007. Polybrominated Diphenyl Ethers from the Indonesian SpongeLamellodysidea herbaceaJournal Natural Product. Vol. 70. pp. 432-435.
Maiza-Benabdesselam, F., Khentache, S., Bougoffa, K., Chibane, M., Adach, S., Chapeleur, Y., Max, H., and Laurain-Mattar, D. 2007. Antioxidant activities of alkaloid extracts of two Algerian species of Fumaria Fumaria capreolata andFumaria bastardiiRec. Nat. Prod. Vol.1. pp. 28-35.
Marxen, K., 2007. Determination of DPPH radical oxidation caused by Methanolic Extract of Some Microalgal Species by Linear Regression Analysis of Spectrofotometric Measurements. Full research Paper. Vol. 7. pp. 2080-2095.
Peng, J., Hu, J., Kazi, A.B., Li, Z., Avery, M., Peraud,O., Hill, R.T., Franzblau, S.G., Zhang, F., Schinazi, R.F., Wirtz, S.W., Tharnish, P., Kelly, M., Wahyuono, S., and Hamann, M.T. 2003. Manadomanzamines A and B: A Novel Alkaloid Ring System with Potent Activity against Mycobacteria and HIV-1. J. Am. Chem. Soc. Vol. 125.: pp. 13382-13386.
Shaheen, F., Ahmad, M., Khan, M.H.T., Jalil, S., Ejaz, A., Sultankhodjaev, M.N., Arfan, M., Choudhary, M.I., and Atta-ur-Rahman. 2005. Alkaloids of Aconitum laeve and their anti-inflammatory, antioxidant and tyrosinase inhibition activities.Phytochemistry. Vol. 66. pp. 935–940.
Suna, H., Arai, M., Tsubotani, Y., Hayashi, A., Setiawan, A., and Kobayashi, M. 2009. Dysideamine, a new sesquiterpene aminoquinone, protects hippocampal neuronal cells against iodoacetic acid-induced cell death. Journal Bioorganic and Medicinal Chemistry. Vol. 1. pp. 3968–3972.
Takao,T, Kitatani, F., Watanabe, N., Yagi, A., and Sakata, K. 1994. A Simple Screening method for Antioxidant and isolation of several antioxidant produce by marine bacteria from Fish and Shellfish. Bioscience Biotechnol Biochem. Vol. 58. pp.1780-1783.
Topçu, G., Ertaş, A., Kolak, U., Öztürk, M., and Ulubelen, A. 2007. Antioxidant activity tests on novel triterpenoids from Salvia macrochlamysARKIVOC. Vol. 7. pp. 195-208