Kamis, 13 April 2017

BELAJAR DARI JIWA MAESTRO KARANG (Prof. Suharsono)


Gambar 1. Prof. Suharsono dan DR. Munasik, dua orang ahli ekosistem terumbu karang dari dua generasi.


BELAJAR DARI JIWA MAESTRO KARANG
Oleh : Isai Yusidarta, ST., M.Sc.*
Kasus kapal tongkang pengangkut batu bara yang terdampar di gugusan karang tepi Pulau Cilik dan Pulau Tengah serta gugusan karang Taka Tengah kawasan Taman Nasional Karimunjawa (TNKj) menjadi perhatian Prof. Suharsono dari PO2LIPI. Perhatian beliau sama kadarnya dengan kasus Caledonia Sky yang kandas di gugusan karang perairan dekat Pulau Kri kawasan Raja Ampat.
Membandingkan kerusakan akibat Caledonia Sky dengan Kapal Tongkang ibarat langit dan bumi. Kasus Caledonia Sky menjadi perhatian masyarakat dunia dengan luasan kerusakan yang sudah dihitung oleh Tim Prof Suharsono sebesar 13.270,4 m2 dari luasan gugusan karang di Pulau Kri 98.039,83 m2. Berarti terdapat 13,54% gugusan karang tersebut “terdampak” Caledonia Sky.
Kepakaran pengetahuan tentang lingkungan perairan khususnya terumbu karang sudah tidak perlu diragukan lagi. Prof. Suharsono menunjukkan sisi lain kepada penulis yaitu kemampuan mengorganisasi dan menginisiasi penanganan kasus Caledonia Sky. Kemampuan ini sangat langka ditemukan pada diri seorang professor yang sangat rendah hati. Apa yang beliau kemukakan langsung diamini oleh para pejabat eselon 1 di lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang hadir pada acara “Pembahasan Penyelesaian Kasus Perusakan Terumbu Karang Akibat Kapal Tongkang Kandas di Taman Nasional Karimunjawa Tahun 2017” di Balai TNKj tanggal 12 April 2017.
Pengoranisasian dan inisiasi yang dilontarkan oleh Prof Suharsono dimulai dengan membentuk tim – tim kerja. Tim kerja tersebut terdiri dari : 1) Tim Koordinasi, negoisasi dan logistik; 2) Tim Penegakkan hukum; 3) Tim Geo Informasi Sistem (GIS); 4) Tim Penilaian Kondisi Terumbu Karang; dan 5) Tim Valuasi Ekonomi. Beliau menyarankan untuk ditempatkan “Imam” atau koordinator yang tepat dan Koordinator dipersilahkan memilih “Makmun-nya” atau anggota sendiri.
Kepakaran dan kearifan Prof. Suharso yang lain dapat dilihat dalam rancangan pengorganisasian dan penginisasian penanganan kasus Tongkang yaitu :
Mendahulukan dialog dua arah sebagai pegangan menentukan sikap. Beliau meminta pendapat tentang tipe kecelakaan bukan langsung menjustifikasi sesuai teori yang sudah dikuasai. Teknik dialog dua arah dapat disarikan dari pertanyaan yang dilontarkan sebagai berikut :
1.      Mendahulukan dialog dua arah sebagai pegangan menentukan sikap. Beliau meminta pendapat tentang tipe kecelakaan bukan langsung menjustifikasi sesuai teori yang sudah dikuasai. Teknik dialog dua arah dapat disarikan dari pertanyaan yang dilontarkan sebagai berikut :a)      Kapal atau tongkang menabrak, kandas atau terdampar. b)      Gerakan saat membebaskan? Saat pasang atau surut. c)      Kerusakan tambahan akibat hembusan propeler, jangkar dll d)     Bagaimana alur yang dipakai untuk melepaskan. e)Jenis kerusakan fisik saja atau ada kebocoran lainnya. (minyak atau kimia lainnya).
2.      Mengakomodir berbagai opsi penyelesaian kasus yaitu pidana, perdata atau penyelesaian melalui “kesepakatan” di luar pengadilan, beliau mengusulkan Tim Koordinasi, Negoisasi dan Logistik terdapat fungsi tambahan berkoordinasi dengan team asuransi atau pemilik kapal untuk turun bareng dilapangan untuk melakukan survei bersama, menetapkan metoda dan cara meverifikasi, sharing data dan cara menganalisa. Hal ini membuktikan cara kerja Prof. Suharsono sesuai dengan peribahasa “sekali merengkuh dayung, dua tiga pulau terlampaui”.
3. Sifat cermat dan aplikatif dalam diri Prof. Suharsono dapat dilihat dari fungsi Tim GIS yaitu : a)      Menghasilkan peta lokasi kejadian dan lokasi kerusakan dan terdampak. b)      Menghitung area kerusakan karang. c)      Persiapkan peta kerja dari citra satelit resolusi tinggi 60 cm quickbird/ (arcis dan esri). d)     Memasang batas-batas area kerja dg pelampung.e)      Melakukan tracking area kerusakan dg GPS. f)       Menggunakan drybag  dan penyelam utk tracking. g)      Pastikan penyelam menelusuri batas rusak dan tidak rusak. h)      Gunakan rubber boat/ perahu kecil bila menggunakan teknik towingi)        Masukan data koordinat tracking ke peta dasar. j) Ambil posisi koordinat rusak dan tidak rusak sebanyak mungkin utk konfirmasi dan verifikasi. 
Point 3 huruf a, b, c, d, g, i dan j menunjukkan kecermatan, dibuktikan dengan pilihan menggunakan citra quickbird yang mempunyai skala 1 : 5.000, paling detail dibandingkan citra lainnya. Tujuannya untuk medapatkan gambaran paling detail lokasi kasus tongkang. Poin d, e, f dan h menunjukkan sifat aplikatif. Sulit melakukan tracking area, karena sampai saat ini GPS tidak mampu menangkap sinyal satelit di dalam kolom perairan. Beliau menyarankan menggunakan drybag untuk melindungi GPS dari air laut dan diikatkan pada tubuh penyelam yang kemudian melakukan tracking dengan teknik snorkeling mengingat luasan kasus tongkang diperkirakan 1.660 m2  yang berasal dari pengukuran awal berbagai pihak.
4. Nilai ilmiah, tercermin dalam penentuan fungsi yang ada di dalam tim penilai kondisi ekosistem terumbu karang yaitu : a)      Tugas utama menyajikan data dan informasi kondisi terumbu karang yg masih baik dan rusak disekitar kejadian. b)      Lakukan survei secara cepat area kerja yg telah dibuat oleh team GIS. c)      Tetapkan status homogenitas area. d)     Tetapkan keterwakilan lokasi transek baik utk lokasi yg rusak maupun tidak rusak. e)      Gunakan metoda yg tepat sesuai kondisi dan lokasi f)       Jika menggunakan UPT (under water photo transek) masukan kerusakannya kedalam katagori DC baik utk karang maupun Sand. g)      Catat keanekaragaman biota baik karang maupun non karang. h)      Catat jenis biota yang dominan. i)        Ambil foto kerusakan dan yg tidak rusak, lereng terumbu dan profil pantai. j)        Kondisi oseanografis. k)      Pola arus pola pasang surut. l)        Geomorfologi sekitar tempat kejadian, tempat terbuka, teluk, selat dll. m)    Kemudahan untuk mencapai lokasi. 
Arahan dalam poin ini sudah mencakup parameter dalam penilaian ekosistem terumbu karang dengan memperhitungkan berbagai hambatan, rintangan dan gangguan yang kemungkinan dapat terjadi di tingkat tapak yang tidak dapat diprediksi. Nilai ilmiah yang didapat tanpa mengabaikan keselamatan kerja sebagai acuan utama pengambilan data yang mempunyai validitas tinggi. 
Profesionalisme dan kerendahan hati Prof. Suharsono dibuktikan bahwa beliau masuk di dalam anggota Tim Penilaian Kondisi Terumbu Karang yang dikoordinatori oleh DR. Munasik dari Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Diponegoro dengan argumen beliau bahwa “DR. Munasik lebih paham kondisi terumbu karang di perairan TNKj karena merupakan lokasi penggalian ilmu karang dalam diri DR. Munasik”. Satu argument yang sangat arif, bijak dan berjiwa besar oleh seorang terkemuka dalam bidangnya.
5. Memiliki nilai keadilan yang dilandasi unsur obyektif tinggi dan kepentingan para pihak berdasarkan kajian ilmiah, dapat ditafsirkan pada fungsi tim valuasi ekonomi yang dibentuk yaitu : a)      Membuat besaran (total) klaim yang akan diajukan ke pihak asuransi atau perusahan pemilik kapal/ tongkang.; b)      Besaran klaim antara lain meliputi : 
·         Biaya kehilangan jasa ekosistem,
·         Biaya pemulihan, pemeliharaan dan,
·         Biaya penyelesaian perkara,
·         Biaya kerugian masyarakat akibat kerusakan.

Nilai-nilai kepakaran yang diselubungi kearifan Prof. Suharsono dapat dijadikan suri tauladan bagi para pengelola “Benteng Terakhir” yaitu kawasan konservasi terkhusus TNKj.

Amin

*Pengendali Ekosistem Hutan Balai Taman Nasional Karimunjawa

Rabu, 12 April 2017

PEMBELAJARAN DARI KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA (Untuk Liputan6)


Sebelum di edit oleh Redaktur Liputan6 : Mbak Trie Yas

PEMBELAJARAN DARI KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA
Oleh : Isai Yusidarta, ST., M.Sc.*
Taman Nasional Karimunjawa ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam berdasarkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 78/Kpts-II/1999 tanggal 22 Pebruari 1999 seluas 111.625 hektar. Letaknya di Kepuluan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah berupa gugusan pulau di sebelah utara dengan aksesibilitas kapal cepat ditempuh 2 jam perjalanan. Kepulauan Karimunjawa berada di di Laut Jawa antara Pulau Kalimantan dan Jawa. Satu keunikan Taman Nasional Karimunjawa adalah terumbu karang yang terdapat di dalam kolom perairan dangkal. Pembentuk utamanya adalah gugusan karang tepi yang mengililingi di hampir 27 pulau yang ada di Kepulauan Karimunjawa. Gugusan karang tepi yang berfungsi melindungi pantai pulau-pulau kecil dari abrasi akibat hempasan gelombang laut, sudah sangat jarang ditemui secara utuh diperairan Pantai Utara Jawa Tengah.
Popularitas karang tepi Taman Nasional Karimunjawa melonjak pada Januari – Februari 2016 sebagai akibat terdamparnya 5 kapal tongkang di perairan dangkal Pulau Cilik, Pulau Tengah dan Gosong  (Takak) Tengah pada tanggal 10 Januari 2017 pukul 23.00 WIB dan 10 Februari 2017 pukul 02.00 WIB. Kelima kapal tongkang tersebut Sinar Anugerah 2503, Charles 206, PST210, RMN 374 dan Bina Marine 70. Perhitungan kerusakan karang yang diklaim oleh berbagai pihak mencapai 1.660 m2. Semua pihak seakan tersentak dan diikuti mencuatnya isu penanganan hukum terhadap pihak kapal tongkang, kebutuhan nilai rupiah untuk rehabilitasi karang, pembentukan panitia khusus untuk penanganan kasus tersebut hingga melakukan judicial review UU Nomor 5 Tahun 1990 yang dinilai tidak prolingkungan. Banyak pemangku kepentingan mengejar multiplayer effect (pihak - pihak yang bertanggung jawab) atas terjadinya peristiwa tersebut dengan mengatasnamakan kerusakan lingkungan.
Satu hal utama yang perlu dipikirkan dan dilaksanakan sebenarnya adalah ada nilai positif atas kejadian tersebut yaitu kebutuhan bahan pembelajaran pada saat ini dan mendatang untuk merajut kelestarian karang Karimunjawa. Peristiwa di atas harus dipaksakan untuk dirasakan sebagai anugerah pembelajaran pemangku kepentingan akan kolom perairan tersebut.
Mengapa menjadi bahan pembelajaran tentang kerusakan karang?
Pertama, tanpa sengaja pemangku kepentingan telah tergiring untuk meyakini opini bahwa force-majeure atau sering disebut karena gangguan/bencana alam yaitu badai adalah penyebab awal yang mengakibatkan tongkang terdampar dan akhirnya merusak karang. Tentunya, force-majeure sudah bisa dilihat, diamati dan diprediksi oleh nahkoda, apalagi ketika tiba di perairan Karimunjawa kondisi alam sudah tidak bersahabat. Terciptanya opini ini dapat mempengaruhi keputusan hakim pada saat dilakukan persidangan atas tindak pidana kerusakan karang tersebut, tentunya dapat berakibat hukuman ringan bahkan bebas.
Kedua, adanya human error (kesalahan manusia) yang dilakukan oleh nahkoda dan ABK lainnya. Ketika tambat, nahkoda sudah tahu kondisi cuaca yang ekstrim. Keterangan yang didapat membenarkan dugaan bahwa mooring buoy (pelampung tempat tambat tali kapal di tengah laut) sebagai tempat pengikat, tali pengikat dan cara tongkang tambat tidak sesuai dengan standar yang aman. Diduga mooring buoy tidak standar karena dibuat oleh “oknum masyarakat” dan lokasi tersebut bukan untuk tambat tongkang yang membawa batu bara (energy), tetapi termasuk zona pemanfaatan tradisional yang tentunya untuk tambat perahu nelayan. Adanya 4 (empat) tongkang terdampar bersamaan di satu lokasi dan saling terikat, menimbulkan pertanyaan apakah keempat tongkang diikat bersamaan dan salah satu tongkang diikatkan ke satu mooring buoy. Kemungkinan terdekat, hal inilah yang diduga terjadi. Sehingga ketika terjadi proses penindakan pidana ini dapat ditelusuri adanya awal kesalahan yaitu kecerobohan yang disengaja oleh nahkoda dan ABK.
Ketiga, adanya kemungkinan kegiatan illegal bollard (kegiatan tambat kapal secara illegal/ tidak resmi) di lokasi tongkang ditambatkan. Hal ini didasarkan adanya dugaan tambat yang tidak sesuai prosedur. Apakah lokasi tempat sandar merupakan tempat yang sudah ditetapkan oleh instansi dan diketahui pejabat terkait? Jika tidak diketahui pejabat terkait dapat dikatakan sebagai kegiatan terlarang atau ilegal. Kalau sudah seijin pejabat terkait, tentunya nahkoda dan ABK sudah mengetahui dan menjalankan prosedur tambat yang benar. Adanya dugaan illegal bollard, harus ada tindakan tegas berupa penutupan kegiatan tambat di lokasi tersebut dan mengusut pihak – pihak yang berperan serta dalam kegiatan di dalamnya.
Keempat, penilaian kerusakan ekosistem terumbu karang. Kegiatan penilaian tidak mudah, harus melalui kajian ilmiah mendalam dengan mengambil sudut pandang dari berbagai pihak yang memanfaatkan area yang mengalami kerusakan. Menggunakan metoda proxy atau pendekatan dari satu pihak saja belum tentu disetujui oleh pemangku kepentingan lain. Contoh metoda proxy yaitu berdasarkan fungsi karang melindungi pantai pulau-pulau kecil dari abrasi akibat hempasan gelombang laut mirip fungsi tanggul laut yang dibuat manusi untuk melindungi pantai. Sehingga jika karang rusak nilai rupiah kerusakannya senilai biaya yang timbul untuk membangun tanggul laut.  Pemangku kepentingan pariwisata akan menilai fungsi karang dengan nilai rupiah berbeda, mungkin menggunakan pendekatan nilai rupiah yang hilang akibat wisatawan tidak lagi mau menyelam di tempat tersebut. Nelayan penangkap ikan kerapu yang biasa terdapat di terumbu karang juga akan menaksir kerugian rupiah secara berbeda yaitu hilangnya ikan kerapu yang biasa ditangkap. Kalaupun ada pendekatan “kesepakatan” untuk mengganti nilai rupiah kerusakan terumbu karang atas permasalahan ini, diharapkan tidak menghilangkan unsur pidana yang terjadi sebagai pembelajaran hukum.
Terakhir, mengingat letak strategis Taman Nasional Karimunjawa yang dilalui alur pelayaran baik penumpang, barang, hingga energi (batu bara dari Kalimantan ke Jakarta), secara fungsional akan menjadi tempat persinggahan secara “insidental” (sementara waktu tidak terjadwal) di luar alur pelayaran yang utama apabila terjadi “gangguan” baik alam maupun teknis. Persinggahan secara insidental inilah, pada ujungnya dapat terjadi konflik lingkungan jika  terulang kejadian serupa yang mungkin tidak hanya terjadi kerusakan terumbu karang tetapi juga pencemaran baik dari batu bara yang terhempas di kolom perairan maupun air ballast (air yang digunakan untuk keseimbangan kapal). Harus disusun prosedur standar jika terjadi persinggahan insidental yang mempunyai resiko kerusakan lingkungan.
Kejadian tahun 2017 ini, mirip yang pernah terjadi tahun 2013 dan 2014 juga oleh kapal tongkang pengangkut batu bara. Kerusakan karang akibat terdamparnya kapal, juga terjadi di Raja Ampat terjadi akibat terdamparnya kapal wisata dan Kepulauan Bawean (Pantai Utara Jawa Timur bahkan Taman Nasional Kepulauan Seribu. Rentetan kerusakan karang akibat terdamparnya kapal menimbulkan efek hilangnya area penangkapan ikan karang, potensi wisata bahari menyelam dan snorkeling (berenang di permukaan laut untuk melihat karang), abrasi daratan pantai hingga tenggelamnya pulau pulau kecil. Sehingga pulau – pulau kecil di Karimunjawa, Raja Ampat, Kepulauan Bawean, dan Kepulauan Seribu berpotensi tenggelam jika terumbu karangnya hancur.

*) Pengendali Ekosistem Hutan Balai Taman Nasional Karimunjawa 


Gambar 1. Tongkang Sinar Anugerah yang terdampar di TNKj bermuatan ribuan metrix ton batu bara


 Gambar 2. Lunas tongkang Sinar Anugerah yang merusakkan karang di TNKj


Gambar 3. Lunas tongkang Sinar Anugerah yang merusakkan karang di TNKj

Sumber foto : Iwan Setiawan, SH. Kepala SPTN Wilayah I Kemujan

PEMBELAJARAN DARI KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA


Gambar 1. Kapal Tongkang Sinar Anugerah bermuatan batu bara ribuan metrik ton yang kandas


Gambar 2. Lunas Tongkang Sinar Anugerah yang merusakkan karng di TNKj


Gambar 3. Lunas Tongkang Sinar Anugerah merusak 210 m persegi karang di TNKj

Sumber foto dari Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Kemujan Iwan Setiawan, SH., Tahun 2017.



PEMBELAJARAN DARI KARANG KARIMUNJAWA
Oleh : Isai Yusidarta, ST., M.Sc.*
Satu keunikan Taman Nasional Karimunjawa adalah terumbu karang yang terdapat di dalam kolom perairan dangkal. Pembentuk utamanya adalah gugusan karang tepi yang mengililingi di hampir 27 pulau yang ada di Kepulauan Karimunjawa. Gugusan karang tepi sudah sangat jarang ditemui secara utuh diperairan Pantai Utara Jawa Tengah.
Popularitas karang tepi Karimunjawa melonjak pada Januari – Februari 2016 sebagai akibat  terdamparnya 5 tongkang di perairan dangkal Pulau Cilik, Pulau Tengah dan Gosong  (Takak) Tengah. Perhitungan kerusakan karang yang diklaim oleh berbagai pihak mencapai 1.200 – 1660 m2. Semua pihak seakan tersentak dan diikuti mencuatnya isu penanganan hukum terhadap pihak kapal tongkang, kebutuhan nilai rupiah untuk rehabilitasi karang, pembentukan panitia khusus untuk penanganan kasus tersebut hingga melakukan judicial review UU Nomor 5 Tahun 1990 yang dinilai tidak prolingkungan. Banyak pemangku kepentingan mengejar multiplayer effect atas terjadinya peristiwa tersebut dengan mengatasnamakan kerusakan lingkungan.
Satu hal utama yang perlu dipikirkan dan dilaksanakan sebenarnya adalah ada nilai positif atas kejadian tersebut yaitu kebutuhan bahan pembelajaran pada saat ini dan mendatang untuk merajut kelestarian karang Karimunjawa. Peristiwa di atas harus dipaksankan untuk dirasakan sebagai anugerah pembelajaran pemangku kepentingan akan kolom perairan tersebut.
Mengapa menjadi bahan pembelajaran tentang kerusakan karang?
Pertama, tanpa sengaja pemangku kepentingan telah tergiring untuk meyakini opini bahwa “force-majore” adalah penyebab awal yang mengakibatkan tongkang terdampar dan finally merusak karang. Tentunya, force-majore sudah bisa dilihat, diamati dan diprediksi oleh nahkoda, apalagi ketika tiba di perairan Karimunjawa kondisi alam sudah tidak bersahabat. Terciptanya opini ini dapat mempengaruhi keputusan hakim pada saat dilakukan persidangan atas tindak pidana kerusakan karang tersebut, tentunya dapat berakibat hukuman ringan bahkan bebas.
Kedua, adanya human error yang dilakukan oleh nahkoda dan ABK lainnya. Ketika tambat, nahkoda sudah tahu kondisi cuaca yang ekstrim. Keterangan yang didapat membenarkan dugaan bahwa mooring buoy sebagai tempat pengikat, tali pengikat dan cara tongkang tambat tidak sesuai dengan standar yang aman. Diduga mooring buoy dibuat oleh “oknum masyarakat” karena lokasi tersebut bukan untuk tambat tongkang yang membawa batu bara (energy), dan termasuk zona pemanfaatan tradisional yang tentunya untuk tambat perahu nelayan. Adanya 4 tongkang terdampar bersamaan di satu lokasi dan saling terikat, menimbulkan pertanyaan apakah keempat tongkang diikat bersamaan dan salah satu tongkang diikatkan ke satu mooring buoy. Kemungkinan terdekat, hal inilah yang diduga terjadi. Sehingga ketika terjadi proses penindakan pidana ini dapat ditelusuri adanya awal kesalahan yaitu kecerobohan yang disengaja oleh nahkoda dan ABK.
Ketiga, adanya kemungkinan kegiatan illegal bollard (tambat) di lokasi tongkang ditambatkan. Hal ini didasarkan adanya dugaan tambat yang tidak sesuai prosedur. Apakah lokasi tempat sandar merupakan tempat yang sudah ditetapkan oleh instansi dan diketahui pejabat terkait? Jika tidak diketahui pejabat terkait dapat dikatakan sebagai kegiatan illegal. Kalau sudah seijin pejabat terkait, tentunya nahkoda dan ABK sudah mengetahui dan menjalankan prosedur tambat yang benar. Adanya dugaan illegal bollard, harus ada tindakan tegas berupa penutupan kegiatan tambat di lokasi tersebut dan mengusut pihak – pihak yang berperan serta dalam kegiatan di dalamnya.
Keempat, penilaian kerusakan ekosistem terumbu karang. Kegiatan penilaian tidak mudah, harus melalui kajian ilmiah mendalam dengan mengambil sudut pandang dari berbagai pihak yang memanfaatkan area yang mengalami kerusakan. Menggunakan pendekatan proxy dari satu pihak saja belum tentu disetujui oleh pemangku kepentingan lain. Kalaupun ada pendekatan “kesepakatan” untuk mengganti kerusakan terumbu karang atas permasalahan ini, diharapkan tidak menghilangkan unsur pidana yang terjadi sebagai pembelajaran hukum.
Terakhir, mengingat letak strategis Taman Nasional Karimunjawa yang dilalui alur pelayaran baik penumpang, barang, hingga energi, secara fungsional akan menjadi tempat persinggahan secara “insidental” di luar alur pelayaran yang utama apabila terjadi “gangguan”. Persinggahan secara insidental inilah, yang pada ujungnya dapat terjadi konflik lingkungan jika  terulang kejadian serupa yang mungkin tidak hanya terjadi kerusakan terumbu karang tetapi juga pencemaran. Harus disusun prosedur standar jika terjadi persinggahan insidental yang mempunyai resiko kerusakan lingkungan.

*) Pengendali Ekosistem Hutan Balai Taman Nasional Karimunjawa