RE-BORN TAMBAK
UDANG DI KARIMUNJAWA
Oleh : Isai
Yusidarta, ST., M.Sc.
(Pengendali Ekosistem Hutan Ahli Muda – Balai Taman
Nasional Karimunjawa)
Gambar 1. Tambak udang sistem intensif di Jatikerep. Lokasinya di luar kawasan TNKj tetapi pengambilan air laut untuk pengisian kolam berasal dari perairan TNKj. Pembuangan air dari kolam tambak pada sat penggantian air dan panen langsung ke perairan TNKj karena tidak terdapat sungai yang melintasi kawasan tambak tersebut. Inilah ancama yang nyata terhadap perairan TNKj. (Sumber : Dokumentasi BTNKj)
Tambak di
Karimunawa seperti mengalami re-born (terlahir
baru) pada akhir tahun 2017 dan 2018 setelah kolaps pada sebelum tahun 2000. Mengapa?
Tambak udang windu dan galah mengalami booming (berkembang masif) pada periode
1990-an, lahan mangrove dibuat menjadi tambak bahkan saat ini masih tersisa
jejak bekas tambak pada saat itu. Aktivitas
pertambakan betul – betul berakhir sebelum periode 2000an, artinya bekas –
bekas tambak dibiarkan dan mulai ditutupi oleh vegetasi mangrove.
Periode 2000 –
2017 merupakan masa pemulihan ekosistem mangrove. Semua tambak telah ditutupi
dengan tegakan mangrove yang tumbuh alami di bekas – bekas kolam tambak udang. Tumbuhanya
tegakkan mangrove menandai kondisi pemulihan secara alamiah. Kawasan mangrove
menunjukkan daya lenting menuju keseimbangan biogeokimia. Sisa – sisa
peninggalan usaha tambak seperti limbah kelebihan pakan telah terurai selama
hampir 17 tahun sudah tidak terlihat. Penyakit udang yang dulu menghancurkan
usaha tambak udang windu dan galah tidak lagi terdengar dari mulut petambak. Artinya,
kawasan mangrove di Karimunjawa ibaratnya gadis cantik yang telah lahir kembali
sehingga menarik minat penanam modal.
Akhir 2017 dan
awal 2018 ini, di kantor Balai Taman nasional Karimunjawa (BTNKj) sampai
terdengar diskusi mengenai pengajuan ijin tambak udang vaname oleh pengusaha
(investor). Sampai harus masuk satu rauangan ke ruangan yang lain untuk mencari
pendapat staf BTNKj. Dilapangan terdengar deru excavator yang mulai mengeruk
bekas lahan tambak yang sudah menghijau oleh tegakan mangrove. Mangrove
tercabut, terbentuk petak – petak tambak. Ketika di ground check di tingkat tapak, lokasi tambak berada di luar kawasan
TNKj. Luasan tambak yang sudah, sedang dan akan beroperasi hingga awal 2018 ini
sekitar 20 ha.
Perbedaan
Tahun 1990 dan 2017
Terdapat banyak perbedaan apabila tambak periode 1997-an
diperbandingkan dengan tambak yang mulai bersemi kembali pada saat ini. Re-born
tambak di Karimunjawa menggunakan sistem tambak intensif. Hal yang paling
mencolok dalam sistem intensif adalah mencegah air di dalam kolam dan udang kontak
(terdedah/ ter-exposure) dengan substrat (tanah) di lokasi, pemberian kincir
air untuk mempertahankan oksigen terlarut (dissolved
oxygen/ DO) dalam perairan tetap optimal dan pemberian pakan buatan. Perbedaan
itu dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1. Jenis udang dan metoda
tambak yang dikembangkan di Karimunjawa
No
|
Substansi
|
Tahun 1990-an
|
Tahun 2017-an
|
1.
|
Jenis Udang
|
Udang Windu dan Galah
|
Udang Vaname
|
2.
|
Sistem tambak
|
Tradisional – semi intensif
|
Intensif
|
3.
|
Persiapan lahan
|
Tenaga kerja manusia
|
Excavator
|
Sumber : Data primer hasil
wawancara dan pengamatan yang diolah
Penggunaan jenis udang Vaname (Lithopenaeus vannamei) berasal dari Amerika Selatan. Keunggulan
jenis udang ini adalah 1) Responsif terhadap pakan dengan kadar protein 25 - 30%
(lebih rendah dari udang windu); 2) Kemampuan adaptasi yang tinggi terhadap
lingkungan suhu rendah; 3) Adaptasi terhadap perubahan salinitas (khususnya
pada salinitas tinggi); 4) Laju pertumbuhan yang relatif cepat pada bulan I dan
II; 5) Angka kehidupan (survival rate/SR) hidup tinggi; 6) Dapat ditebar
dengan kepadatan tinggi karena hidupnya mengisi kolom air bukan di dasar saja;
dan 6) Serapan pasar luas, mulai dari ukuran 10 hingga 25 gram per ekor.
Gambar 2. Penggunaa excavator untuk pembukaan petak - petak lahan tambak di wilayah SPTN II Kemujan. Penggunaan traktor menjadi pertanyaan, apakah layak disebut pembudidaya ikan kecil yang kemudian diberikan TPUPI? Apakah tidak layak disebut pembudidaya ikan besar maka harus diberikan SIUP (Surat Ijin Usaha Pembudidayaan) (Sumber : Dokumen BTNKj)
Tambak
berbentuk persegi panjang dengan ukuran 70 meter x 50 meter dengan kedalaman 1
meter – 1,5 meter. Permukaan kolam dilapisi plastik hitam (mencegah terpapar
dasar kolam) yang disambung satu dengan yang lainnya dengan cara pemanasan,
agar tidak bocor. Kincir air bergerak terus di dalam kolam sebanyak 4 sampai 6
bahkan bisa 8 buah membuat percikan air tambak. Selanjutnya yang pasti ditandai
dengan pembentukan pakan mulai dari mengkultur pakan alami sewaktu ukuran udang
vaname masih kecil di dalam tambak hingga pakan buatan berupa pellet (pakan
buatan) pada saat udang sudah berumur 60 hari. Itulah gambaran pembukaan tambak
intensi di Karimunjawa pada saat re-born ini.
Persamaan Pengelolaan Tambak
Sebagai
masyarakat subsisten, penduduk Karimunjawa pada kedua periode usaha tambak
hanya sebagai obyek baik sebagai pekerja maupun pemilik tambak. Proporsi
perputaran uang yang dihasilkan dari usaha tambak tidak seimbang antara
masyarakat lokal dengan subyek yaitu investor. Masyarakat lokal hanya bergerak
dalam masa persiapan pembuatan tambak sebagai pekerja kasar yaitu meratakan
dasar tambak, merapikan tanggul tambak, merekatkan plastic membran yang akan
dipasang menutupi tambak, menebarkan kapur untuk menurunkan derajat keasaman
substrat sekitar tambak. Upah pun tidak melebihi dari UMP Kabupaten Jepara.
Jika petak tambak selesai dibuat, para pekerja kasar ini akan berhenti bekerja.
Setelah tambak
siap, tambak memasuki tahapan seperti pengisian air, pemasangan peralatan
seperti kincir air, operasional pompa airdan peralatan tambak intensif lainnya
dilakukan oleh tenaga terampil. Selanjutnya kultur pakan alami udang vaname
saat masih juvenile, penggantian air secara teratur, pengukuran kualitas air
secara teratut dan pengaturan pemberian pakan buatan (pallet) setelah udang
berusia 60 hari dilakukan oleh tenaga ahli. Ada kemungkinan penggunaan tenaga
terampil dan tenaga ahli bukan berasal dari masyarakat lokal. Ataupun kalau
mempergunakan masyarakat lokal haruslah yang pernah terlatih dan dipercaya oleh
investor.
Artinya,
masyarakat lokal Karimunjawa tetaplah masyarakat subsisten yang sebenarnya
hidupnya tergantung pada sumber daya alam Karimunjawa, tetapi tidak bisa
meningkatkan penghasilan hanya sekedar mempertahankan hidup dengan mengambil
porsi yang kecil dalam usaha re-born tambak
udang Vaname ini. Tidak ada perbedaan posisi masyarakat Karimunjawa antara
periode tambak udang Windu dan Galah dengan periode tambak udang Vaname.
Kondisi ini diperkuat dengan Tabel 2, yang memperlihatkan posisi masyarakat
lokal dalam usaha tambak udang di Karimunjawa
Tabel 2. Persamaan posisi
masayarakat dalam usaha tambak udang di Karimunjawa
No
|
Substansi
|
Tahun 1990-an
|
Tahun 2017-an
|
1.
|
Subyek (pemilik operasional)
|
Investor luar
|
Investor luar
|
2.
|
Obyek (pekerja)
|
Masyarakat lokal
|
Masyarakat lokal
|
3.
|
Pemilik lahan
|
Masyarakat lokal
|
Masyarakat lokal
|
4.
|
Sistem pemakain lahan
|
Sewa
|
Sewa
|
5.
|
Tenaga kerja
|
Masyarakat lokal
|
Masyarakat lokal
|
6.
|
Keuntungan
|
Investor luar
|
Investor luar
|
7.
|
Pengolahan limbah
|
Tidak ada
|
Tidak ada
|
Sumber : Data primer hasil
wawancara dan pengamatan yang diolah
Asumsi - Asumsi
Berdasarkan analisa yang disampaikan di atas, dapat
disampaikan asumsi – asumsi tentang re-born
(menggulirkan kembali) usaha pengembangan tambak udang di Karimunjawa
sebagai berikut :
Pertama. Bukan
matapencaharian alternatif. Parameter yang dapat menyatakan suatu kegiatan
usaha dikatakan sebagai matapencaharian alternatif adalah masyarakat lokal berperan
sebagai subyek dan pemegang keuntungan terbesar karena pendapatan itu dapat
mencukupi kebutuhan keluarganya. Tetapi yang terjadi di Karimunjawa adalah :
1)
Masyarakat
lokal hanya menjadi obyek, investor dari luar Karimunjawa (1 – 2 orang saja
asli Karimunjawa). Apalagi sebenarnya masyarakat lokal-lah yang mempunyai lahan
mangrove yang dapat dikembangkan menjadi tambak.
2)
Masyarakat
lokal pun menyewakan lahan tambak mereka kepada investor per petak ukuran 70
meter x 50 meter senilai Rp 6.000.000,- per tahun.
3)
Masyarakat
hanya sebagai buruh. Biaya (pegawai/buruh) dalam analisa studi kelayakan bisnis
tambak vaname sekitar Rp 6.000.000,-/siklus, yang terdiri dari 1 teknisi, 2
pemberi pakan dan 1 operator mesin. Modal siklus pertama yang terdiri dari
biaya investasi awal dan biaya siklus 1 mencapai 1 milyar. Proporsinya sangat
jauh dari 1 %.
Kedua. Bukan matapencaharian yang berkelanjutan. Kata kuncinya
adalah sewa. Lama sewa di Karimunjawa hanya 4 tahun. Diestimasi, tahun keempat
pemodal akan meninggalkan Karimunjawa karena keuntungan sudah tidak optimal dan
menyisakan kolam bekas tambak yang sudah tidak layak diusahakan. Mencermati
analisa budidaya udang vanname yang bertebaran di blog – blog dunia maya, semua
modal yang dikeluarkan untuk tambak udang langsung tertutup pada siklus pertama.
Siklus kedua dan selanjutnya hanya menunggu lahirnya keuntungan. Para investor
tidak perlu berhitung rumit tentang BEP – Break
Even Point, BCR – Benefit Cost Ratio,
IRR – Internal Rate Return. Kepentingan
pragmatis.
Ketiga. Belum ramah lingkungan. Fakta di lapangan kolam tambak
udang di Karimunjwa tidak dilengkapi dengan pengelolaan air limbah dari kolam
sebelum dibuang. Penggantian air langsung dibuang begitu saja, terutama saat
panen. Tambak ramah lingkungan dilengkapi dengan 4 kolam yaitu kolam fisika,
kimiawi, biologis dan sampel. Fungsi keempat kolam tersebut berbeda – beda
yaitu :
1)
Kolam
fisika untuk memisahkan limbah padat, cair dan gas misalnya pasir, lumpur
maupun sisa pakan yang terendapkan.
2)
Kolam kimiawi untuk
mengelola limbah dari kolam fisika dengan menggunakan bahan kimia tertentu
sehingga limbah mudah dipisahkan.
3)
Kolam biologis fungsinya mengolah air dari kolam kimiawi
untuk dinetralkan dengan menggunakan bakteri probiotik seperti jenis
bakteri Bacillus.
4)
Kolam sampel merupakan tahap terakhir mengolah air
limbah hasil budidaya sebelum di baung ke laut. Kolam ini efektifnya
menggunakan ikan, misalnya ikan bandeng sebagai kontrol.
Keempat. Tidak berpihak pada masyarakat lokal. Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan no. 49/2014 tentang Usaha Pembudidayaan Ikan pada pasal
12 (a), 13 dan 21, memang berpihak pada pembudidaya ikan kecil. Tetapi
persyaratan untuk memperoleh TPUPI (tanda pencatatan usaha pembudidayaan ikan)
berupa kartu tanda penduduk (KTP) dan surat pernyataan bermaterai cukup yang menyatakan luas lahan yang digunakan
dan jenis ikan yang dibudidayakan tidak lebih dari 5 ha untuk budidaya air
payau. Artinya, pembudidaya ikan kecil belum
tentu masyarakat lokal. Fakta, investor saat ini sewa lahan masyarakat lokal
dan bukan warga asli dan bertempat tinggal di Karimunjawa sesuai dengan kartu
tanda penduduk asalnya. Bagaimana kondisi yang demikian disebut pembudidaya
ikan kecil? Pembudidaya ikan kecil kok bisa melakukan ekpansi keluar daerah
asalnya. Adakah kemungkinan permainan administrasi dalam pengurusan ijin? Hanya
investor, pemilik lahan, petugas dan Tuhan yang tahu.
Kelima. Hasil panen bukan untuk pemenuhan kebutuhan pasar
Karimunjawa. Pasar Karimunjawa tidak akan dapat menyerap semua hasil panen,
selain permintaan kecil juga telah terpenuhi dengan substitusi produk lain
seperti ikan segar yang lebih disukai oleh wisatawan. Rente ekonomi yang dihasilkan
lebih besar jika hasil panen di lempar ke daratan pulau Jawa. Jumlah penduduk
besar, permintaan tinggi adalah pasar potensial.
Konsensus
Bersama
Kegiatan
investasi merupakan wujud pembangunan suatu daerah untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat. Investasi menggerakan sendi perekonomian masyarakat.
Tidak terkecuali di Karimunjawa. Setelah kolaps-nya tambak udang windu sebelum
tahun 2000, geliat ekonomi masyarakat Karimunjawa murni dari sektor pariwisata
yang mendorong pemanfaatan sumberdaya alam secara berkelanjutan. Selain itu
ditopang dengan perikanan tangkap, tetapi sudah menjadi rahasia umum bahwa
nelayan Karimunjawa juga menangkap keluar Kepulauan Karimunjawa.
Apakah geliat
tambak udang vaname saat ini akan mengulangi sejarah tambak udang windu sebelumnya?
Melihat kelima parameter di atas, secara teori pasti akan terjadi cepat atau
lambat jika tidak didasari suatu konsensus bersama diantara para stakeholder
mulai dari tingkat desa, Kecamatan Karimujawa, Kabupaten Jepara dan Propinsi
Jawa Tengah.
Pertama.
Pemberdayaan masyarakat lokal sebagai subyek investasi. Kunci dasarnya,
masyarakat lokal pemilik lahan dan masyarakat lokal sebagai tenaga terampil dan
ahli mengelola tambak udang. Bagaimana bisa menciptakan masyarakat lokal
sebagai investor, tenaga terampil dan ahli serta bukan buruh? Syaratnya adalah
:
1)
Pimpinan
instansi pemerintah dapat menggerakkan penyuluh perikanan untuk mendampingi
budidaya udang vaname. Mengapa? Penyuluh perikanan mempunyai peran strategis.
Melalui penyuluh perikanan dapat memberikan bimbingan teknis kepada pemilik
lahan dan masyarakat yang mau dan mampu menjadi tenaga pembudidaya yang
terampil dan ahli. Penyuluh perikanan juga dapat membentuk daya dan pola pikir
masyarakat lokal untuk memanfaatkan sumber daya alamnya secara berkelanjutan.
Penyuluh perikanan dapat memberikan pengetahuan tentang distribusi hasil –
hasil tambak dari hulu hingga hilir. Bahkan ada kemungkinan penyuluh perikanan
dapat menghubungkan langsung dengan user, sehingga memotong jalannya distribusi
hasil tambak
2)
Pemerintah
daerah dapat mengarahkan perbankan untuk mengucurkan modal usaha berbunga lunak
(rendah) dengan jaminan dari APBD sektor perikanan budidaya.
Kedua. Para pemilik lahan bergabung bersama dalam kelompok
besar untuk dapat mensiasati permodalan. Dengan berkelompok, maka luas lahan
yang dapat diajukan sebagai jaminan perbankan akan semakin besar dan mampu
memenuhi kriteria capital dalam
pengajuan kredit modal usaha tambak udang vaname. Nilai capital merupakan
syarat bankable yaitu sebagai nilai jaminan atau agunan pada sebuah bank untuk
memberikan modal kerja.
Penggabungan nelayan dalam
kelompok besar juga mempunyai resiko apabila tiap anggota tidak solid dan tidak
mau mentaati aturan yang menjadi kesepakatan bersama. Hal ini dibutuhkan
penengah yang dapat menjadi pembimbing. Penengahnya dapat seorang penyuluh atau
bapak angkat yaitu perusahaan yang dapat menampung hasil tambak kelompok
tersebut. Hasil tambak di Karimunjawa, dari data yang di dapat akan
didistribusikan ke Pulau Jawa. Artinya, user hasil tambak udang selain jadi
penengah juga dapat mendapat prioritas membeli hasil panen dengan harga wajar.
Ketiga.
Keberpihakan dalam penerbitan TPUPI. Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan no. 49/2014 tidak mensyaratkan status masyarakat
lokal (Karimunjawa – red) sebagai pemegang TPUPI. Karena TPUPI diberikan kepada
siapapun pembudidaya ikan kecil yang telah memenuhi persyaratan, diantaranya
lahan. Lahanpun ternyata tidak mensyaratkan milik sendiri, tetapi dapat dapat
diterjemahkan bisa menyewa lahan yang letak lokasinya dapat dimanapun (tidak
harus sesuai dengan kartu tanda penduduk investor), yang penting lahan tersedia
di lokasi yang akan dijadikan tambak. Sehingga dilokasi budidaya tambak tidak
harus masyarakat lokal yang mengusahakan. Tetapi instansi pemegang wewenang
pengeluaran TPUPI dapat mensiasati dengan memberikan skala prioritas ataupun
kuota yang lebih besar bagi masyarakat lokal Karimunjawa. Dan apabila konsensus
pertama dan kedua di atas dapat dijalankan dengan baik dan menjadi
kesepakatan bersama, sehingga masyarakat lokal mempunyai modal sendiri maka
harus diprioritaskan untuk mendapat TPUPI.
Keempat.
Pemantauan terhadap kualitas air buangan dari kolam tambak udang. Perlu membuat
fasilitas pengelolaan limbah air kolam tambak sebelum dibuang ke perairan.
Mengingat limbah yang dihasilkan dari air buangan kolam tambak dapat
mempengeruhi perairan laut Taman Nasional Karimunjawa (TNKj) yang di dalamnya
terdapat ekosistem terumbu karang yang menjadi ikon wisata. Limbah yang dibuang
langsung dapat menyebabkan blooming algae
di perairan pesisir Karimunjawa dan sangat berbahaya berbahaya karena
menyebabkan dissolved oxygen dapat
turun kadarnya hingga menyebabkan kondisi anoxic
(tanpa oksigen). Balai TNKj dengan program bantuan pemberdayaan masyarakat
sekitar kawasan dapat menggandengan stakeholder seperti dinas lingkungan hidup
untuk gayub mendorong tersedianya instalasi pengolahan limbah tersebut secara
swadaya oleh pembudidaya tambak udang.
Dengan adanya
konsensus di atas, diharapkan re-born tambak udang yang terjadi di Karimunjawa
tidak terlahir untuk kepentingan sesaat, tetapi juga memenuhi asas sustainable (keberlanjutan)
baik hasil tambak maupun keberadaan sumber daya alam di TNKj. Keberadaan tambak
di sekitar kawasan TNKj dapat bersinergi bahkan menambah obyek daya tarik
wisata baru.
ANTISIPASI
OLEH BALAI TNKj
Balai TNKj selaku pemegang mandat pengelolaa Taman
Nasional Karimunjawa, sudah seharusnya mulai mengantisipasi usaha tambak udang
Vaname ini, baik jika tambak udang berhasil terus menerus (kalo harapan dari
pengembangan perekonomian untuk mendapatkan keuntungan finansial pasti akan
berlanjut terus) atau ketika usaha tambak sudah kolaps atau mati (kita tahu
tambak udang rentan serangan penyakit) karena sudah tidak dapat memberikan
keuntungan finansial secara optimal.
Keberhasilan pengusahaan tambak udang tidak hanya dilihat
dari kuantitas dan kualitas produk udang yang dipanen, tetapi keberlangsungan
panen yang berkelanjutan berarti manajemen pertambakan udangnya sangat bagus. Menjadi
penentu adalah bagaimana kondisi perairan TNKj yang pasti menerima efek samping
ketika tambak udang tambak udang berproduksi terus. Berproduksi terus berarti
juga menghasilkan limbahberupa endapan padat, cair dan gas yang dihasilkan dari
sisa – sisa pakan yang tercampur di dalam air tambak. Jangan sampai terulang
lagi kondisi perairan di Taman Nasional Kepulauan Seribu ketika karamba jarring
apung beroperasi terus di kawasan tersebut.
Sudah seharusnya, Balai TNKj melakukan langkah – langkah sebagai
berikut :
1)
Membuat
plot – plot permanen untuk melakukan pengukuran kualitas fisika dan kimia
perairan di lokasi yang terpengaruh langsung oleh pembuangan air dari kolam
tambak baik pada saat penggantian air selama pemeliharaan maupun pembuangan air
terbesar pada saat panen;
2)
Mengambil
data kualitas fisika dan kimia perairan secara periodic di plot – plot permanen;
3)
Melengkapi
SPTN I Kemujan dan SPTN II Karimunjawa dengan peralatan portable untuk mengukur
kualitas fisika dan kimia perairan seperti DO meter (kadar oksigen terlarut
dalam perairan), PH meter (Kadasr asam – basa perairan), Termometer (suhu),
Salinometer (salinitas), secchi disk (kecerahan perairan).
4)
Mengambil
contoh sampel air pada plot – plot permanen untuk di analisa di laboratorium.
Untuk menekan biaya analisa sampel sebaiknya di buat kerjasama dengan Dinas
Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabupaten Jepara dan Jawa Tengah yang mempunyai
laboratorium (mengingat pengawasan lingkungan hidup adalah tupoksinya karena
ada juga fungsional pengawas lingkungan hidup);
5)
Melakukan
koordinasi dan konsultasi dengan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Kabupaten
Jepara dan Jawa Tengah untuk membahas hasil – hasil monitoring keberlangsungan
tambak dan hasil analisa sampel perairan yang rutin diukur dan diambil dari
plot – plot permanen;
6)
Sangat penting yang harus dikerjakan bersama
dengan stakeholder lain adalah mendorong dibuatnya semacam instalasi pengolahan
limbah air dari kolam tambak sebelum dibuang ke perairan laut seperti yang
telah dibahas diatas yang terdiri dari 4 kolam yaitu kolam pengolahan fisik,
kimia, biologis dan sampel;
7)
Apabila tambak udang telah ditinggal/
dibiarkan karena sudah tidak optimal menghasilkan keuntungan financial, maka
bersama – sama dengan pemangku kepentingan lainnya untuk melakukan restorasi
untuk mencegah pengaruh sampingan lainnya dan dapat digunakan untuk re-born tambak udang selanjutnya.
Gambar 4. Peta degradasi lahan di luar kawasan BTNKj. Beberapa titik adalah degradasi lahan akibat pemanfaatan kawasan mangrove di luar TNKj yang dimanfatkan sebagai tambak udang. Wilayah pemantauan SPTN I Kemujan. (Dokumen BTNKj)
Pustaka :
Peraturan Menteri
Kelautan dan Perikanan Nomor 49/Permen-KP/2014 tentang Usaha Pembudidayaan Ikan