Minggu, 03 Juni 2018

OKUPANSI MANGROVE DI DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA MENJADI TARGET RE-BORN TAMBAK UDANG
Isai Yusidarta, ST., M.Sc.*

Mengingat kembali tulisan dengan judul RE-BORN TAMBAK UDANG DI KARIMUNJAWA, saya sudah mempersiapkan tulisan ini. Hasil diskusi via whatsapp (WA) dengan Pak Wahyu (Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango) dan masukan serta kritikan dari pembaca tulisan di atas yang dibagikan dari blog saya POTRET KONSERVASI.
Bagaimana kawasan mangrove karimunjawa mempunyai nilai yang tinggi?


Menelaah Kotak 1 dan 2 di atas, kunci tutama pada ekosistem mangrove yang telah pulih di Karimunjawa.  Kawasan mangrove Karimunjawa sebagai buffer telah sehat steril dari penyakit setelah sekian lama tidak ada aktivitas tambak yang signifikan. Kombinasi media air laut sebagai media budidaya, memiliki parameter fisika dan kimia seperti suhu, kejernihan, oksigen terlarut, organik terlarut, kandungan senyawa makro, mikro dan trace element masih normal (perawan). Tidak ada aliran sungai, yang membawa bahan – bahan pencemar dari daratan seperti senyawa – senyawa yang dihasilkan dari pencemaran industri maupun sisa usaha pertanian .
Jika membandingkan dengan media air laut utuk budidaya di kawasan pantai utara Pulau Jawa dengan Karimunjawa, tentunya bagaikan bumi dengan langit. Sangat jauh berbeda. Rembang, sebagai salah satu sentra penghasil udang, kondisi area tambak telah tercemar. (Lihat Kotak. 1 dan 2).
Perlu mendapat perhatian adalah suplai air tawar untuk tambak udang di Karimunjawa. Darimana sumbernya? Tambak udang vaname memerlukan suplai air tawar sebagai salah atu media budidaya selain air laut untuk mempertahankan salinitas yang optimal pada kisaran 15 hingga 20 ppt. Pada saat musim kemarau panjang dan tidak ada suplai air tawar akan meningkatkan salinitas air laut. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan optimal udang vaname tidak tercapai yang dapat memicu kerugian hingga gagal panen.
Membahas sumber air tawar untuk tambak udang vaname di Karimunjawa perlu dilakukan PULBAKET (pengumpulan bahan dan keterangan).
Ancaman Okupansi
Telah terjadi perambahan dan perusakan ekosistem mangrove yang berada di dalam kawasan konservasi Taman Nasional Karimunjawa pada pada bulan Mei 2018 seluas 8.760 meter persegi. Berdasarkan identifkasi terhadap lokasi perambahan, dapat diduga bahwa tujuannya adalah membuat kolam tambak. Ciri khas yang ditemui adalah adanya pematang/ tanggul, di dalam tanggul yang membentuk segi empat terdapat daerah cekungan datar yang luas adanya semacam saluran irigasi.

Gambar 1.  Peta Perambahan Lahan Ekosistem Mangrove di Dalam Kawasan tnkj di Daerah Cikamas (Dokumen BTNKj, 2018)

Gambar 2.   Pemasangan polhut line kondisi vegetasi mangrove yang di rusak di area ekosistem mangrove yang mengalami perambahan (Foto : Sutris Haryanta, KSPTN II Karimunjawa).

Okupansi kawasan konservasi mangrove di TNKj, hanya tinggal menunggu waktu. Penulis berpendapat bahwa okupansi ini adalah upaya uji coba terhadap daya tahan pengelola dalam memperhatikan, mengawasi dan menjaga setiap jengkal kawasan TNKj. Mengapa? Karena masih tersimpan rapi dalam memori setiap stakeholder adanya kasus sertifikat hak milik di dalam kawasan mangrove TNKj yang diterbitkan setelah penetapan dan tata batas yang temu gelang untuk beberapa oknum masyarakat lokal seluas sekitar 17.000 meter persegi. Walaupun telah dilakukan pemeriksaan dan pengukuran ulang oleh BPN, tetapi belum ada keputusan dari instansi yang berwenang untuk mencabut SHM tersebut. Tidak ada efek jera secara hukum kepada pelaku penerbitan SHM tersebut.

Gambar 3. Kondisi vegetasi mangrove yang dibiarkan tumbang begitu saja setelah perambahan (Foto : Sutris Haryanta KSPTN II Karimunjawa)
Mengapa terjadi?
     Pertama. Okupansi untuk lahan mangrove guna tambak udang terjadi karena motivasi mendapatkan manfaat dari lokasi yang berhubungan dengan nilai finansial yang akan didapatkan. Motivasi kepemilikan lahan menjadi urutan berikutnya. Realita di berbagai belahan dunia, tambak udang di kawasan mangrove tidak akan opetimal panennya sepanjang waktu. Seperti yang terjadi di Karimunjawa pada pada periode 1990-an, lalu kolaps dan ditinggalkan begitu saja. Tidak ada upaya pemulihan dari yang memanfaatkan. Ekosistem mangrove tersebut memulihkan dirinya sendiri dengan waktu yang sangat panjang. Pendek kata, hanya diambil pada periode keuntungan finansial optimal.
         Kedua. Anggapan, ekosistem mangrove tidak mempunyai nilai finansial yang tinggi. Tidak sebanding dengan ekosistem hutan hujan tropis di dataran rendah. Okupan mangrove tidak memperhitungkan nilai finansial kayu yang akan didapatkan. Nilai uang kayu mangrove tidak dianggap (sangat rendah). Tidak jarang batang kayu mangrove ditinggalkan (tidak diopeni) begitu saja oleh okupan.  Okupan hanya memerlukan media tanah untuk membuat petak tambak.
Ketiga. Okupan pada umumnya menganggap ekosistem mangrove sama dengan ekosistem rawa di daratan adalah tidak berguna karena secara morfologi berlumpur, jorok, bau, sarang nyamuk dan sebagainya. Padahal baik mangrove maupun rawa sangat penting. Bukti nyata, perumahan Puri Anjasmoro dan Telogosari di Semarang adalah daerah rawa dataran rendah yang direklamasi untuk menjadi perumahan. Sekarang terlihat pemilik rumah beradu meninggikan rumah agar tidak kebanjiran. Karena secara alami air tawar memang tersimpan di ekosistem tersebut.
Berdasarkan pemahaman okupan seperti di atas, menurut ukuran mata dan pemikiran okupang mangrove merupakan ekosistem tidak berguna sebelum diubah menjadi tambak. Mereka tidak memikirkan nilai tambah lain dari ekosistem mangrove. Sebagai perbandingan ekosistem mangrove yang terdampak minyak di Kariangau Balikpapan      akibat dari patahnya pipa supplai milik pertamina seluas 34 hektar adalah Rp 4.486.794.462,00. Nilai tersebut menggunakan nilai valuasi ekonomi tahun 2014 sebesar Rp 131.964.543,-/ha/tahun (Abdul Hadi Bone, Ambo Towo, Rijal Idrus, 2014).
Keempat. Masyarakat lokal pemilik bekas lahan tambak periode yang telah ditumbuhi mangrove di Karimunjawa di luar kawasan TNKj dan kemudian menyewakannya kepada okupan investor, juga tidak mengetahui nilai ekonomi lahannya. Menyewakan lahan senilai Rp 6.000.000,00 per tahun untuk ukuran petak 70 meter x 50 meter sudah dianggap nilai finansial yang sangat tinggi.  Artinya, dengan nilai sewa sebesar Rp 131.964.543,-/ha/tahun para okupan investor (investor menurut penulis merupakan okupan investor) masih mampu mendapatkan keuntungan.
Berdasarkan hal – hal diatas, okupan tidak akan pernah menghargai secara ilmiah nilai valuasi ekonomi ekosistem mangrove. Bagi mereka nilai finansial yang riil adalah nilai transaksi real time (pada waktu itu) bagi ekosistem mangrove. Padahal nilai real time pada saat transaksi pemakaian atau penyewaan ekosistem mangrove selalu menyingkirkan nilai keuntungan pasca produksi dengan dalih “jika gagal produksi atau panen”. Padahal di belahan bumi manapun, tambak udang tidak akan gagal panen jika daya dukung ekosistem mangrove masih optimal. Ekosistem mangrove di Karimunjawa adalah sangat optimal tidak terdapat bahan pencemar.
Tinggal menunggu waktu
            Okupansi ekosistem mangrove di luar kawsan TNKj telah, sedang berlangsung dan akan menjadi puncaknya ketika semua kawasan bekas tambak pada tahun 1990-an telah dipakai kembali. Periode sebelumnya juga terjadi okupansi sampai ke dalam kawasan mangrove TNKJ, bahkan menyisakan pekerjaan rumah seperti yang saya sebutkan di atas. Pada Gambar 1, telah diisyaratkan bahwa okupan akan mengerjakan bekas tambak periode 1 dan selanjutnya berupaka mengokupansi ke dalam kawasan TNKj. Citra gambar 1 , mengisyaratkan adanya bekas tambak di dalam kawasan TNKj dan itu akan menjadi modal alasan okupan bahwa dahulu pengusaaan tambaknya ada di situ dan tidak bermasalah. Hal yang lumrah terjadi. Pekerjaan rumah bagi pengelola TNKj.
Berapa lama hal tersebut akan terjadi? Rumusannya sangat mudah tetapi penulis tidak mempunyai data. Rumusannya adalah luas total mangrove di luar kawasan TNKj dibagi seberapa luas okupan mengubah ekosistem mangrove menjadi tambak per tahun, akan di dapat berapa tahun yang digunakan untuk membuat tambak di seluruh lahan masyarakat.
Mengadakan dan membawa excavator ke Karimunjawa sudah pasti diperhitungkan bukan untuk membuat tambak 1 – 2 petak saja. Excavator tersebut hanya tinggal menuggu okupan investor mencapai kata sepakat sewa lahan dan tenaga kerja dengan masyarakat lokal sambil menunggu selesainya TPUPI (tanda pencatatan usaha pembudidayaan ikan) sebagai tanda pembudidaya skala kecil dari salah satu dinas di Kabupaten Jepara.
Mencegah Okupansi ke Dalam Kawasan TNKj
            Belajar dari pekerjaan rumah yang tersisa dari pembukaan tambak periode 1 dan peristiwa Okupansi ke dalam kawasan mangrove TNKj Mei 2018 diperlukan upaya pengelolaan secara preemtif, preventif, persuasif dan represif. Keempat pengelolaan tersebut harus di petakan betul – betul sesuai dengan akar permasalahan yang akan, sedang dan telah terjadi saat ini maupun pekerjaan rumah yang masih tersisa.
            Kegiatan – kegiatan yang dapat dilakukan untuk mencegah okupansi ekosistem mangrove ke dalam kawasan konservasi TNKj dengan upaya pengelolaan secara preemtif, preventif, persuasif dan represif adalah sebagai berikut :
1.   Menelaah kembali kawasan ekosistem mangrove TNKj berdasarkan citra satelit terkini dengan plotting batas kawasan TNKj untuk dapat memberikan gambaran lokasi bekas tambak periode 1, apakah dahulu masuk ke dalam kawasan TNKj atau tidak. Jika ada bekas tambak periode 1 masuk ke dalam kawasan TNKj maka dibuatkan pengelolaan rencana aksi terhadap kondisi yang demikian;
2.     Berkoordinasi dengan instansi/dinas di Kabupaten Jepara agar dalam mengeluarkan TPUPI (tanda pencatatan usaha pembudidayaan ikan) sebagai tanda pembudidaya skala kecil agar :
a.       Melakukan groundcheck lokasi yang akan diterbitkan ijin usaha pembudidayaan ikan di lapangan dan berkoordinasi dengan Balai TNKj;
b.      Surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan luas lahan yang digunakan dan jenis ikan yang dibudidayakan, diusulkan untuk mencantumkan titik – titik koordinat batas tambak yang akan dimintakan ijin usaha pembudidayaan ikan dengan alasan luas tambak sesuai aturan tidak lebih 5 ha untuk pembudidaya ikan kecil itu sangat luas. 
c. Lampiran V Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 49/Permen-KP/2014 tentang Usaha Pembudidayaan Ikan, pada Tanda Pencatatan Usaha Pembudidayaan Ikan poin 5. Lokasi Kegiatan diusahakan untuk mencantumkan titik – titik koordinat batas tambak dengan alasan luas tambak sesuai aturan tidak lebih 5 ha untuk pembudidaya ikan kecil itu sangat luas.
3.  Melaksanakan operasi intelejen yang dapat memberikan informasi kunci tentang usaha okupansi yang sedang dirancang oleh oknum – oknum yang tidak bertanggung jawab dengan memanfaatkan sisi ekonomi dan sosial masyarakat lokal;
4.    Melaksanakan fungsi penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat lokal dengan mengggerakkan sentra penyuluh kehutanan pedesaan (SPKP) yang telah terbentuk dan dibina oleh BTNKj.


Gambar 4. Pejabat Fungsional PEH Ahli Kristiawan menerbangkan drone untuk melaksanakan Aerial Mapping pada kawasan perambahan (Foto : Sutris Haryanta KSPTN II Karimunjawa)

5.  Lebih menggiatkan patrol rutin yang dilaksanakan oleh petugas polisi kehutanan (POLHUT) TNKj, bersama tenaga fungsional khusus lainnya (PEH) dan umum dengan fokus pada lokasi hasil telaah poin 1;
6.   Memberdayakan Masyarakat Mitra Polhut (MMP) melalui improvisasi kegiatan dan pengahargaan kepada anggota MMP, dan tidak hanya berkutat pada kegiatan patroli bersama MMP. Patroli bersama MMP dengan fokus pada lokasi hasil telaah poin 1;
7.   Melakukan operasi Gabungan bersama stakeholder Kepulauan Karimunjawa dengan target operasi pada lokasi lokasi – lokasi hasil telaah pada poin 1;
8.  Menyelesaikan pekerjaan rumah SHM lahan mangrove di dalam kawasan TNKj yang lebih pro-aktif, seperti :
a.       Mendesak BPN setempat untuk melaksanakan langkah nyata mencabut SHM lahan mangrove di dalam kawasan yang diterbitkan setelah adanya penetapan kawasan TNKj dengan tata batas telah temu gelang. 
b. Melakukan penuntutan kepada pemilik SHM lahan mangrove di dalam kawasan TNKj berkoordinasi dengan Direktorat Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Direktorat Jenderal Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
9.      Melakukan Kegiatan FDG tentang Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 49/Permen-KP/2014 dengan berbagai stakeholder yang berkaitan dengan kategori dan syarat ijin untuk pembudidaya ikan skala kecil yang ternyata praktek dilapangan melenceng, khususnya nomenklatur pembudidaya ikan kecil. Pembudidaya ikan kecil kok investor dari luar, bukan masyarakat setempat/lokal (akan saya tulis pada edisi selanjutnya).

*) Pengendali Ekosistem Hutan Balai Taman Nasional Karimunjawa 

Tidak ada komentar: