OKUPANSI MANGROVE DI DALAM KAWASAN TAMAN NASIONAL
KARIMUNJAWA MENJADI TARGET RE-BORN
TAMBAK UDANG
Isai Yusidarta, ST., M.Sc.*
Mengingat kembali tulisan dengan judul RE-BORN TAMBAK UDANG DI KARIMUNJAWA, saya sudah mempersiapkan tulisan ini. Hasil diskusi via whatsapp (WA) dengan Pak Wahyu (Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango) dan masukan serta kritikan dari pembaca tulisan di atas yang dibagikan dari blog saya POTRET KONSERVASI.
Bagaimana
kawasan mangrove karimunjawa mempunyai nilai yang tinggi?
Menelaah
Kotak 1 dan 2 di atas, kunci tutama pada ekosistem mangrove yang telah pulih di
Karimunjawa. Kawasan mangrove
Karimunjawa sebagai buffer telah sehat steril dari penyakit setelah sekian lama
tidak ada aktivitas tambak yang signifikan. Kombinasi media air laut sebagai media
budidaya, memiliki parameter fisika dan kimia seperti suhu, kejernihan, oksigen
terlarut, organik terlarut, kandungan senyawa makro, mikro dan trace element
masih normal (perawan). Tidak ada aliran sungai, yang membawa bahan – bahan
pencemar dari daratan seperti senyawa – senyawa yang dihasilkan dari pencemaran
industri maupun sisa usaha pertanian .
Jika
membandingkan dengan media air laut utuk budidaya di kawasan pantai utara Pulau
Jawa dengan Karimunjawa, tentunya bagaikan bumi dengan langit. Sangat jauh
berbeda. Rembang, sebagai salah satu sentra penghasil udang, kondisi area tambak
telah tercemar. (Lihat Kotak. 1 dan 2).
Perlu mendapat
perhatian adalah suplai air tawar untuk tambak udang di Karimunjawa. Darimana sumbernya? Tambak udang vaname
memerlukan suplai air tawar sebagai salah atu media budidaya selain air laut
untuk mempertahankan salinitas yang optimal pada kisaran 15 hingga 20 ppt. Pada
saat musim kemarau panjang dan tidak ada suplai air tawar akan meningkatkan
salinitas air laut. Hal tersebut menyebabkan pertumbuhan optimal udang vaname
tidak tercapai yang dapat memicu kerugian hingga gagal panen.
Membahas
sumber air tawar untuk tambak udang vaname di Karimunjawa perlu dilakukan
PULBAKET (pengumpulan bahan dan keterangan).
Ancaman
Okupansi
Telah terjadi
perambahan dan perusakan ekosistem mangrove yang berada di dalam kawasan
konservasi Taman Nasional Karimunjawa pada pada bulan Mei 2018 seluas 8.760
meter persegi. Berdasarkan identifkasi terhadap lokasi perambahan, dapat diduga
bahwa tujuannya adalah membuat kolam tambak. Ciri khas yang ditemui adalah
adanya pematang/ tanggul, di dalam tanggul yang membentuk segi empat terdapat
daerah cekungan datar yang luas adanya semacam saluran irigasi.
Gambar 1. Peta Perambahan Lahan Ekosistem Mangrove di
Dalam Kawasan tnkj di Daerah Cikamas (Dokumen BTNKj, 2018)
Gambar 2. Pemasangan
polhut line kondisi vegetasi mangrove yang di rusak di area ekosistem mangrove
yang mengalami perambahan (Foto : Sutris Haryanta, KSPTN II Karimunjawa).
Okupansi
kawasan konservasi mangrove di TNKj, hanya tinggal menunggu waktu. Penulis
berpendapat bahwa okupansi ini adalah upaya uji coba terhadap daya tahan
pengelola dalam memperhatikan, mengawasi dan menjaga setiap jengkal kawasan
TNKj. Mengapa? Karena masih tersimpan rapi dalam memori setiap stakeholder
adanya kasus sertifikat hak milik di dalam kawasan mangrove TNKj yang
diterbitkan setelah penetapan dan tata batas yang temu gelang untuk beberapa
oknum masyarakat lokal seluas sekitar 17.000 meter persegi. Walaupun telah
dilakukan pemeriksaan dan pengukuran ulang oleh BPN, tetapi belum ada keputusan
dari instansi yang berwenang untuk mencabut SHM tersebut. Tidak ada efek jera
secara hukum kepada pelaku penerbitan SHM tersebut.
Gambar 3. Kondisi vegetasi mangrove yang dibiarkan tumbang begitu saja setelah perambahan (Foto : Sutris Haryanta KSPTN II Karimunjawa)
Mengapa terjadi?
Pertama. Okupansi
untuk lahan mangrove guna tambak udang terjadi karena motivasi mendapatkan
manfaat dari lokasi yang berhubungan dengan nilai finansial yang akan
didapatkan. Motivasi kepemilikan lahan menjadi urutan berikutnya. Realita di
berbagai belahan dunia, tambak udang di kawasan mangrove tidak akan opetimal
panennya sepanjang waktu. Seperti yang terjadi di Karimunjawa pada pada periode
1990-an, lalu kolaps dan ditinggalkan begitu saja. Tidak ada upaya pemulihan
dari yang memanfaatkan. Ekosistem mangrove tersebut memulihkan dirinya sendiri
dengan waktu yang sangat panjang. Pendek kata, hanya diambil pada periode
keuntungan finansial optimal.
Kedua. Anggapan, ekosistem mangrove
tidak mempunyai nilai finansial yang tinggi. Tidak sebanding dengan ekosistem
hutan hujan tropis di dataran rendah. Okupan mangrove tidak memperhitungkan
nilai finansial kayu yang akan didapatkan. Nilai uang kayu mangrove tidak
dianggap (sangat rendah). Tidak jarang batang kayu mangrove ditinggalkan (tidak
diopeni) begitu saja oleh okupan. Okupan
hanya memerlukan media tanah untuk membuat petak tambak.
Ketiga. Okupan pada umumnya menganggap ekosistem mangrove sama
dengan ekosistem rawa di daratan adalah tidak berguna karena secara morfologi berlumpur,
jorok, bau, sarang nyamuk dan sebagainya. Padahal baik mangrove maupun rawa
sangat penting. Bukti nyata, perumahan Puri Anjasmoro dan Telogosari di
Semarang adalah daerah rawa dataran rendah yang direklamasi untuk menjadi
perumahan. Sekarang terlihat pemilik rumah beradu meninggikan rumah agar tidak
kebanjiran. Karena secara alami air tawar memang tersimpan di ekosistem
tersebut.
Berdasarkan
pemahaman okupan seperti di atas, menurut ukuran mata dan pemikiran okupang
mangrove merupakan ekosistem tidak berguna sebelum diubah menjadi tambak.
Mereka tidak memikirkan nilai tambah lain dari ekosistem mangrove. Sebagai
perbandingan ekosistem mangrove yang terdampak minyak di Kariangau Balikpapan akibat dari patahnya pipa supplai milik
pertamina seluas 34 hektar adalah Rp 4.486.794.462,00. Nilai tersebut menggunakan nilai valuasi
ekonomi tahun 2014 sebesar Rp 131.964.543,-/ha/tahun (Abdul Hadi Bone, Ambo
Towo, Rijal Idrus, 2014).
Keempat. Masyarakat lokal pemilik bekas lahan tambak periode yang telah ditumbuhi
mangrove di Karimunjawa di luar kawasan TNKj dan kemudian menyewakannya kepada okupan
investor, juga tidak mengetahui nilai ekonomi lahannya. Menyewakan lahan
senilai Rp 6.000.000,00 per tahun untuk ukuran petak 70 meter x 50 meter sudah
dianggap nilai finansial yang sangat tinggi.
Artinya, dengan nilai sewa
sebesar Rp 131.964.543,-/ha/tahun para okupan investor (investor menurut
penulis merupakan okupan investor) masih mampu mendapatkan keuntungan.
Berdasarkan
hal – hal diatas, okupan tidak akan pernah menghargai secara ilmiah nilai
valuasi ekonomi ekosistem mangrove. Bagi mereka nilai finansial yang riil
adalah nilai transaksi real time
(pada waktu itu) bagi ekosistem mangrove. Padahal nilai real time pada saat transaksi pemakaian atau penyewaan ekosistem
mangrove selalu menyingkirkan nilai keuntungan pasca produksi dengan dalih
“jika gagal produksi atau panen”. Padahal di belahan bumi manapun, tambak udang
tidak akan gagal panen jika daya dukung ekosistem mangrove masih optimal.
Ekosistem mangrove di Karimunjawa adalah sangat optimal tidak terdapat bahan
pencemar.
Tinggal menunggu waktu
Okupansi ekosistem mangrove di luar kawsan TNKj telah,
sedang berlangsung dan akan menjadi puncaknya ketika semua kawasan bekas tambak
pada tahun 1990-an telah dipakai kembali. Periode sebelumnya juga terjadi
okupansi sampai ke dalam kawasan mangrove TNKJ, bahkan menyisakan pekerjaan
rumah seperti yang saya sebutkan di atas. Pada Gambar 1, telah diisyaratkan
bahwa okupan akan mengerjakan bekas tambak periode 1 dan selanjutnya berupaka
mengokupansi ke dalam kawasan TNKj. Citra gambar 1 , mengisyaratkan adanya
bekas tambak di dalam kawasan TNKj dan itu akan menjadi modal alasan okupan
bahwa dahulu pengusaaan tambaknya ada di situ dan tidak bermasalah. Hal yang
lumrah terjadi. Pekerjaan rumah bagi pengelola TNKj.
Berapa lama
hal tersebut akan terjadi? Rumusannya sangat mudah tetapi penulis tidak
mempunyai data. Rumusannya adalah luas total mangrove di luar kawasan TNKj
dibagi seberapa luas okupan mengubah ekosistem mangrove menjadi tambak per
tahun, akan di dapat berapa tahun yang digunakan untuk membuat tambak di
seluruh lahan masyarakat.
Mengadakan dan
membawa excavator ke Karimunjawa sudah pasti diperhitungkan bukan untuk membuat
tambak 1 – 2 petak saja. Excavator tersebut hanya tinggal menuggu okupan
investor mencapai kata sepakat sewa lahan dan tenaga kerja dengan masyarakat
lokal sambil menunggu selesainya TPUPI (tanda
pencatatan usaha pembudidayaan ikan) sebagai tanda pembudidaya skala kecil dari
salah satu dinas di Kabupaten Jepara.
Mencegah Okupansi ke Dalam
Kawasan TNKj
Belajar dari pekerjaan rumah yang tersisa dari pembukaan
tambak periode 1 dan peristiwa Okupansi ke dalam kawasan mangrove TNKj Mei 2018
diperlukan upaya pengelolaan secara preemtif, preventif, persuasif dan represif.
Keempat pengelolaan tersebut harus di petakan betul – betul sesuai dengan akar
permasalahan yang akan, sedang dan telah terjadi saat ini maupun pekerjaan
rumah yang masih tersisa.
Kegiatan – kegiatan yang dapat dilakukan untuk mencegah
okupansi ekosistem mangrove ke dalam kawasan konservasi TNKj dengan upaya
pengelolaan secara preemtif, preventif, persuasif dan represif adalah sebagai
berikut :
1. Menelaah
kembali kawasan ekosistem mangrove TNKj berdasarkan citra satelit terkini
dengan plotting batas kawasan TNKj untuk dapat memberikan gambaran lokasi bekas
tambak periode 1, apakah dahulu masuk ke dalam kawasan TNKj atau tidak. Jika
ada bekas tambak periode 1 masuk ke dalam kawasan TNKj maka dibuatkan
pengelolaan rencana aksi terhadap kondisi yang demikian;
2. Berkoordinasi
dengan instansi/dinas di Kabupaten Jepara agar dalam mengeluarkan TPUPI (tanda pencatatan usaha pembudidayaan ikan)
sebagai tanda pembudidaya skala kecil agar :
a. Melakukan groundcheck lokasi yang akan diterbitkan ijin usaha pembudidayaan
ikan di lapangan dan berkoordinasi dengan Balai TNKj;
b. Surat pernyataan bermeterai cukup yang menyatakan luas
lahan yang digunakan dan jenis ikan yang dibudidayakan, diusulkan untuk
mencantumkan titik – titik koordinat batas tambak yang akan dimintakan ijin
usaha pembudidayaan ikan dengan alasan luas tambak sesuai aturan tidak lebih 5
ha untuk pembudidaya ikan kecil itu sangat luas.
c. Lampiran V Peraturan
Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 49/Permen-KP/2014
tentang Usaha Pembudidayaan Ikan, pada Tanda Pencatatan Usaha Pembudidayaan
Ikan poin 5. Lokasi Kegiatan diusahakan untuk mencantumkan titik – titik
koordinat batas tambak dengan alasan luas tambak sesuai aturan tidak lebih 5 ha
untuk pembudidaya ikan kecil itu sangat luas.
3. Melaksanakan
operasi intelejen yang dapat memberikan informasi kunci tentang usaha okupansi
yang sedang dirancang oleh oknum – oknum yang tidak bertanggung jawab dengan
memanfaatkan sisi ekonomi dan sosial masyarakat lokal;
4. Melaksanakan
fungsi penyuluhan dan sosialisasi kepada masyarakat lokal dengan mengggerakkan
sentra penyuluh kehutanan pedesaan (SPKP) yang telah terbentuk dan dibina oleh
BTNKj.
Gambar 4. Pejabat Fungsional PEH Ahli Kristiawan menerbangkan drone untuk melaksanakan Aerial Mapping pada kawasan perambahan (Foto : Sutris Haryanta KSPTN II Karimunjawa)
5. Lebih
menggiatkan patrol rutin yang dilaksanakan oleh petugas polisi kehutanan
(POLHUT) TNKj, bersama tenaga fungsional khusus lainnya (PEH) dan umum dengan
fokus pada lokasi hasil telaah poin 1;
6. Memberdayakan Masyarakat Mitra Polhut (MMP) melalui improvisasi kegiatan dan pengahargaan kepada anggota MMP, dan
tidak hanya berkutat pada kegiatan patroli bersama MMP. Patroli bersama MMP
dengan fokus pada lokasi hasil telaah poin 1;
7. Melakukan
operasi Gabungan bersama stakeholder Kepulauan Karimunjawa dengan target
operasi pada lokasi lokasi – lokasi hasil telaah pada poin 1;
8. Menyelesaikan
pekerjaan rumah SHM lahan mangrove di dalam kawasan TNKj yang lebih pro-aktif,
seperti :
a. Mendesak BPN setempat untuk melaksanakan langkah nyata
mencabut SHM lahan mangrove di dalam kawasan yang diterbitkan setelah adanya
penetapan kawasan TNKj dengan tata batas telah temu gelang.
b. Melakukan penuntutan
kepada pemilik SHM lahan mangrove di dalam kawasan TNKj berkoordinasi dengan
Direktorat Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup, Direktorat Jenderal
Penegakkan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
9.
Melakukan
Kegiatan FDG tentang Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 49/Permen-KP/2014
dengan berbagai stakeholder yang berkaitan dengan kategori dan syarat ijin
untuk pembudidaya ikan skala kecil yang ternyata praktek dilapangan melenceng,
khususnya nomenklatur pembudidaya ikan kecil. Pembudidaya ikan kecil kok
investor dari luar, bukan masyarakat setempat/lokal
(akan saya tulis pada edisi selanjutnya).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar