Sebelum di edit oleh Redaktur Liputan6 : Mbak Trie Yas
PEMBELAJARAN DARI KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA
Oleh : Isai Yusidarta, ST., M.Sc.*
Taman Nasional
Karimunjawa ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam berdasarkan berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
Nomor: 78/Kpts-II/1999 tanggal 22 Pebruari 1999 seluas 111.625 hektar. Letaknya
di Kepuluan Karimunjawa, Kabupaten Jepara, Jawa Tengah berupa gugusan pulau di
sebelah utara dengan aksesibilitas kapal cepat ditempuh 2 jam perjalanan. Kepulauan Karimunjawa berada di di Laut Jawa antara
Pulau Kalimantan dan Jawa. Satu keunikan Taman Nasional Karimunjawa adalah
terumbu karang yang terdapat di dalam kolom perairan dangkal. Pembentuk
utamanya adalah gugusan karang tepi yang mengililingi di hampir 27 pulau yang
ada di Kepulauan Karimunjawa. Gugusan karang tepi yang berfungsi melindungi
pantai pulau-pulau kecil dari abrasi akibat hempasan gelombang laut, sudah
sangat jarang ditemui secara utuh diperairan Pantai Utara Jawa Tengah.
Popularitas
karang tepi Taman Nasional Karimunjawa melonjak pada Januari – Februari 2016 sebagai
akibat terdamparnya 5 kapal tongkang di perairan dangkal Pulau Cilik, Pulau
Tengah dan Gosong (Takak) Tengah pada
tanggal 10 Januari 2017 pukul 23.00 WIB dan 10 Februari 2017 pukul 02.00 WIB. Kelima
kapal tongkang tersebut Sinar Anugerah 2503, Charles 206, PST210, RMN 374 dan
Bina Marine 70. Perhitungan kerusakan karang yang diklaim oleh berbagai pihak
mencapai 1.660 m2. Semua pihak seakan tersentak dan diikuti mencuatnya
isu penanganan hukum terhadap pihak kapal tongkang, kebutuhan nilai rupiah
untuk rehabilitasi karang, pembentukan panitia khusus untuk penanganan kasus
tersebut hingga melakukan judicial review UU
Nomor 5 Tahun 1990 yang dinilai tidak prolingkungan. Banyak pemangku
kepentingan mengejar multiplayer effect
(pihak - pihak yang bertanggung jawab) atas terjadinya peristiwa tersebut
dengan mengatasnamakan kerusakan lingkungan.
Satu hal utama yang perlu dipikirkan dan dilaksanakan sebenarnya adalah ada
nilai positif atas kejadian tersebut yaitu kebutuhan bahan pembelajaran pada
saat ini dan mendatang untuk merajut kelestarian karang Karimunjawa. Peristiwa
di atas harus dipaksakan untuk dirasakan sebagai anugerah pembelajaran pemangku
kepentingan akan kolom perairan tersebut.
Mengapa menjadi bahan pembelajaran tentang kerusakan karang?
Pertama, tanpa sengaja pemangku kepentingan telah tergiring untuk meyakini
opini bahwa force-majeure atau sering
disebut karena gangguan/bencana alam yaitu badai adalah penyebab awal yang
mengakibatkan tongkang terdampar dan akhirnya merusak karang. Tentunya, force-majeure sudah bisa dilihat,
diamati dan diprediksi oleh nahkoda, apalagi ketika tiba di perairan
Karimunjawa kondisi alam sudah tidak bersahabat. Terciptanya opini ini dapat
mempengaruhi keputusan hakim pada saat dilakukan persidangan atas tindak pidana
kerusakan karang tersebut, tentunya dapat berakibat hukuman ringan bahkan
bebas.
Kedua, adanya human error (kesalahan
manusia) yang dilakukan oleh nahkoda dan ABK lainnya. Ketika tambat, nahkoda sudah
tahu kondisi cuaca yang ekstrim. Keterangan yang didapat membenarkan dugaan
bahwa mooring buoy (pelampung tempat
tambat tali kapal di tengah laut) sebagai tempat pengikat, tali pengikat dan
cara tongkang tambat tidak sesuai dengan standar yang aman. Diduga mooring buoy tidak standar karena dibuat
oleh “oknum masyarakat” dan lokasi tersebut bukan untuk tambat tongkang yang
membawa batu bara (energy), tetapi termasuk zona pemanfaatan tradisional yang
tentunya untuk tambat perahu nelayan. Adanya 4 (empat) tongkang terdampar
bersamaan di satu lokasi dan saling terikat, menimbulkan pertanyaan apakah
keempat tongkang diikat bersamaan dan salah satu tongkang diikatkan ke satu mooring buoy. Kemungkinan terdekat, hal
inilah yang diduga terjadi. Sehingga ketika terjadi proses penindakan pidana
ini dapat ditelusuri adanya awal kesalahan yaitu kecerobohan yang disengaja
oleh nahkoda dan ABK.
Ketiga, adanya kemungkinan kegiatan illegal
bollard (kegiatan tambat kapal secara illegal/ tidak resmi) di lokasi tongkang ditambatkan. Hal ini
didasarkan adanya dugaan tambat yang tidak sesuai prosedur. Apakah lokasi
tempat sandar merupakan tempat yang sudah ditetapkan oleh instansi dan
diketahui pejabat terkait? Jika tidak diketahui pejabat terkait dapat dikatakan
sebagai kegiatan terlarang atau ilegal. Kalau sudah seijin pejabat terkait,
tentunya nahkoda dan ABK sudah mengetahui dan menjalankan prosedur tambat yang
benar. Adanya dugaan illegal bollard, harus ada tindakan tegas berupa
penutupan kegiatan tambat di lokasi tersebut dan mengusut pihak – pihak yang
berperan serta dalam kegiatan di dalamnya.
Keempat, penilaian kerusakan ekosistem terumbu karang. Kegiatan penilaian
tidak mudah, harus melalui kajian ilmiah mendalam dengan mengambil sudut
pandang dari berbagai pihak yang memanfaatkan area yang mengalami kerusakan.
Menggunakan metoda proxy atau pendekatan dari satu pihak saja belum tentu
disetujui oleh pemangku kepentingan lain. Contoh metoda proxy yaitu berdasarkan fungsi karang melindungi pantai pulau-pulau kecil dari abrasi akibat
hempasan gelombang laut mirip fungsi tanggul laut yang dibuat manusi untuk
melindungi pantai. Sehingga jika karang rusak nilai rupiah kerusakannya senilai
biaya yang timbul untuk membangun tanggul laut. Pemangku kepentingan pariwisata akan menilai
fungsi karang dengan nilai rupiah berbeda, mungkin menggunakan pendekatan nilai
rupiah yang hilang akibat wisatawan tidak lagi mau menyelam di tempat tersebut.
Nelayan penangkap ikan kerapu yang biasa terdapat di terumbu karang juga akan
menaksir kerugian rupiah secara berbeda yaitu hilangnya ikan kerapu yang biasa
ditangkap. Kalaupun ada pendekatan “kesepakatan” untuk mengganti nilai rupiah kerusakan
terumbu karang atas permasalahan ini, diharapkan tidak menghilangkan unsur
pidana yang terjadi sebagai pembelajaran hukum.
Terakhir, mengingat letak strategis Taman Nasional Karimunjawa yang dilalui
alur pelayaran baik penumpang, barang, hingga energi (batu bara dari Kalimantan
ke Jakarta), secara fungsional akan menjadi tempat persinggahan secara
“insidental” (sementara waktu tidak terjadwal) di luar alur pelayaran yang
utama apabila terjadi “gangguan” baik alam maupun teknis. Persinggahan secara
insidental inilah, pada ujungnya dapat terjadi konflik lingkungan jika terulang kejadian serupa yang mungkin tidak
hanya terjadi kerusakan terumbu karang tetapi juga pencemaran baik dari batu
bara yang terhempas di kolom perairan maupun air ballast (air yang digunakan
untuk keseimbangan kapal). Harus disusun prosedur standar jika terjadi
persinggahan insidental yang mempunyai resiko kerusakan lingkungan.
Kejadian tahun 2017 ini, mirip yang pernah terjadi tahun 2013 dan 2014 juga
oleh kapal tongkang pengangkut batu bara. Kerusakan karang akibat terdamparnya
kapal, juga terjadi di Raja Ampat terjadi akibat terdamparnya kapal wisata dan
Kepulauan Bawean (Pantai Utara Jawa Timur bahkan Taman Nasional Kepulauan
Seribu. Rentetan kerusakan karang akibat terdamparnya kapal menimbulkan efek
hilangnya area penangkapan ikan karang, potensi wisata bahari menyelam dan
snorkeling (berenang di permukaan laut untuk melihat karang), abrasi daratan
pantai hingga tenggelamnya pulau pulau kecil. Sehingga pulau – pulau kecil di
Karimunjawa, Raja Ampat, Kepulauan Bawean, dan Kepulauan Seribu berpotensi
tenggelam jika terumbu karangnya hancur.
Gambar 1. Tongkang Sinar Anugerah yang terdampar di TNKj bermuatan ribuan metrix ton batu bara
Gambar 2. Lunas tongkang Sinar Anugerah yang merusakkan karang di TNKj
Gambar 3. Lunas tongkang Sinar Anugerah yang merusakkan karang di TNKj
Sumber foto : Iwan Setiawan, SH. Kepala SPTN Wilayah I Kemujan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar