Gambar 1. Kapal Tongkang Sinar Anugerah bermuatan batu bara ribuan metrik ton yang kandas
Gambar 2. Lunas Tongkang Sinar Anugerah yang merusakkan karng di TNKj
Gambar 3. Lunas Tongkang Sinar Anugerah merusak 210 m persegi karang di TNKj
Sumber foto dari Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Kemujan Iwan Setiawan, SH., Tahun 2017.
PEMBELAJARAN DARI KARANG KARIMUNJAWA
Oleh : Isai Yusidarta, ST., M.Sc.*
Satu keunikan
Taman Nasional Karimunjawa adalah terumbu karang yang terdapat di dalam kolom
perairan dangkal. Pembentuk utamanya adalah gugusan karang tepi yang
mengililingi di hampir 27 pulau yang ada di Kepulauan Karimunjawa. Gugusan
karang tepi sudah sangat jarang ditemui secara utuh diperairan Pantai Utara
Jawa Tengah.
Popularitas
karang tepi Karimunjawa melonjak pada Januari – Februari 2016 sebagai
akibat terdamparnya 5 tongkang di
perairan dangkal Pulau Cilik, Pulau Tengah dan Gosong (Takak) Tengah. Perhitungan kerusakan karang
yang diklaim oleh berbagai pihak mencapai 1.200 – 1660 m2. Semua
pihak seakan tersentak dan diikuti mencuatnya isu penanganan hukum terhadap
pihak kapal tongkang, kebutuhan nilai rupiah untuk rehabilitasi karang,
pembentukan panitia khusus untuk penanganan kasus tersebut hingga melakukan judicial review UU Nomor 5 Tahun 1990 yang
dinilai tidak prolingkungan. Banyak pemangku kepentingan mengejar multiplayer effect atas terjadinya
peristiwa tersebut dengan mengatasnamakan kerusakan lingkungan.
Satu hal utama yang perlu dipikirkan dan dilaksanakan sebenarnya adalah ada
nilai positif atas kejadian tersebut yaitu kebutuhan bahan pembelajaran pada
saat ini dan mendatang untuk merajut kelestarian karang Karimunjawa. Peristiwa
di atas harus dipaksankan untuk dirasakan sebagai anugerah pembelajaran
pemangku kepentingan akan kolom perairan tersebut.
Mengapa menjadi bahan pembelajaran tentang kerusakan karang?
Pertama, tanpa sengaja pemangku kepentingan telah tergiring untuk meyakini
opini bahwa “force-majore” adalah penyebab awal yang mengakibatkan tongkang
terdampar dan finally merusak karang.
Tentunya, force-majore sudah bisa
dilihat, diamati dan diprediksi oleh nahkoda, apalagi ketika tiba di perairan
Karimunjawa kondisi alam sudah tidak bersahabat. Terciptanya opini ini dapat
mempengaruhi keputusan hakim pada saat dilakukan persidangan atas tindak pidana
kerusakan karang tersebut, tentunya dapat berakibat hukuman ringan bahkan
bebas.
Kedua, adanya human error yang
dilakukan oleh nahkoda dan ABK lainnya. Ketika tambat, nahkoda sudah tahu
kondisi cuaca yang ekstrim. Keterangan yang didapat membenarkan dugaan bahwa mooring buoy sebagai tempat pengikat,
tali pengikat dan cara tongkang tambat tidak sesuai dengan standar yang aman. Diduga
mooring buoy dibuat oleh “oknum
masyarakat” karena lokasi tersebut bukan untuk tambat tongkang yang membawa
batu bara (energy), dan termasuk zona pemanfaatan tradisional yang tentunya
untuk tambat perahu nelayan. Adanya 4 tongkang terdampar bersamaan di satu
lokasi dan saling terikat, menimbulkan pertanyaan apakah keempat tongkang
diikat bersamaan dan salah satu tongkang diikatkan ke satu mooring buoy. Kemungkinan terdekat, hal inilah yang diduga terjadi.
Sehingga ketika terjadi proses penindakan pidana ini dapat ditelusuri adanya
awal kesalahan yaitu kecerobohan yang disengaja oleh nahkoda dan ABK.
Ketiga, adanya kemungkinan kegiatan illegal
bollard (tambat) di lokasi
tongkang ditambatkan. Hal ini didasarkan adanya dugaan tambat yang tidak sesuai
prosedur. Apakah lokasi tempat sandar merupakan tempat yang sudah ditetapkan
oleh instansi dan diketahui pejabat terkait? Jika tidak diketahui pejabat
terkait dapat dikatakan sebagai kegiatan illegal.
Kalau sudah seijin pejabat terkait, tentunya nahkoda dan ABK sudah mengetahui
dan menjalankan prosedur tambat yang benar. Adanya dugaan illegal bollard, harus
ada tindakan tegas berupa penutupan kegiatan tambat di lokasi tersebut dan
mengusut pihak – pihak yang berperan serta dalam kegiatan di dalamnya.
Keempat, penilaian kerusakan ekosistem terumbu karang. Kegiatan penilaian
tidak mudah, harus melalui kajian ilmiah mendalam dengan mengambil sudut
pandang dari berbagai pihak yang memanfaatkan area yang mengalami kerusakan.
Menggunakan pendekatan proxy dari
satu pihak saja belum tentu disetujui oleh pemangku kepentingan lain. Kalaupun
ada pendekatan “kesepakatan” untuk mengganti kerusakan terumbu karang atas
permasalahan ini, diharapkan tidak menghilangkan unsur pidana yang terjadi
sebagai pembelajaran hukum.
Terakhir, mengingat letak strategis Taman Nasional Karimunjawa yang dilalui
alur pelayaran baik penumpang, barang, hingga energi, secara fungsional akan
menjadi tempat persinggahan secara “insidental” di luar alur pelayaran yang
utama apabila terjadi “gangguan”. Persinggahan secara insidental inilah, yang
pada ujungnya dapat terjadi konflik lingkungan jika terulang kejadian serupa yang mungkin tidak
hanya terjadi kerusakan terumbu karang tetapi juga pencemaran. Harus disusun
prosedur standar jika terjadi persinggahan insidental yang mempunyai resiko
kerusakan lingkungan.
*) Pengendali
Ekosistem Hutan Balai Taman Nasional Karimunjawa
Tidak ada komentar:
Posting Komentar