Rabu, 12 April 2017

PEMBELAJARAN DARI KARANG TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA


Gambar 1. Kapal Tongkang Sinar Anugerah bermuatan batu bara ribuan metrik ton yang kandas


Gambar 2. Lunas Tongkang Sinar Anugerah yang merusakkan karng di TNKj


Gambar 3. Lunas Tongkang Sinar Anugerah merusak 210 m persegi karang di TNKj

Sumber foto dari Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I Kemujan Iwan Setiawan, SH., Tahun 2017.



PEMBELAJARAN DARI KARANG KARIMUNJAWA
Oleh : Isai Yusidarta, ST., M.Sc.*
Satu keunikan Taman Nasional Karimunjawa adalah terumbu karang yang terdapat di dalam kolom perairan dangkal. Pembentuk utamanya adalah gugusan karang tepi yang mengililingi di hampir 27 pulau yang ada di Kepulauan Karimunjawa. Gugusan karang tepi sudah sangat jarang ditemui secara utuh diperairan Pantai Utara Jawa Tengah.
Popularitas karang tepi Karimunjawa melonjak pada Januari – Februari 2016 sebagai akibat  terdamparnya 5 tongkang di perairan dangkal Pulau Cilik, Pulau Tengah dan Gosong  (Takak) Tengah. Perhitungan kerusakan karang yang diklaim oleh berbagai pihak mencapai 1.200 – 1660 m2. Semua pihak seakan tersentak dan diikuti mencuatnya isu penanganan hukum terhadap pihak kapal tongkang, kebutuhan nilai rupiah untuk rehabilitasi karang, pembentukan panitia khusus untuk penanganan kasus tersebut hingga melakukan judicial review UU Nomor 5 Tahun 1990 yang dinilai tidak prolingkungan. Banyak pemangku kepentingan mengejar multiplayer effect atas terjadinya peristiwa tersebut dengan mengatasnamakan kerusakan lingkungan.
Satu hal utama yang perlu dipikirkan dan dilaksanakan sebenarnya adalah ada nilai positif atas kejadian tersebut yaitu kebutuhan bahan pembelajaran pada saat ini dan mendatang untuk merajut kelestarian karang Karimunjawa. Peristiwa di atas harus dipaksankan untuk dirasakan sebagai anugerah pembelajaran pemangku kepentingan akan kolom perairan tersebut.
Mengapa menjadi bahan pembelajaran tentang kerusakan karang?
Pertama, tanpa sengaja pemangku kepentingan telah tergiring untuk meyakini opini bahwa “force-majore” adalah penyebab awal yang mengakibatkan tongkang terdampar dan finally merusak karang. Tentunya, force-majore sudah bisa dilihat, diamati dan diprediksi oleh nahkoda, apalagi ketika tiba di perairan Karimunjawa kondisi alam sudah tidak bersahabat. Terciptanya opini ini dapat mempengaruhi keputusan hakim pada saat dilakukan persidangan atas tindak pidana kerusakan karang tersebut, tentunya dapat berakibat hukuman ringan bahkan bebas.
Kedua, adanya human error yang dilakukan oleh nahkoda dan ABK lainnya. Ketika tambat, nahkoda sudah tahu kondisi cuaca yang ekstrim. Keterangan yang didapat membenarkan dugaan bahwa mooring buoy sebagai tempat pengikat, tali pengikat dan cara tongkang tambat tidak sesuai dengan standar yang aman. Diduga mooring buoy dibuat oleh “oknum masyarakat” karena lokasi tersebut bukan untuk tambat tongkang yang membawa batu bara (energy), dan termasuk zona pemanfaatan tradisional yang tentunya untuk tambat perahu nelayan. Adanya 4 tongkang terdampar bersamaan di satu lokasi dan saling terikat, menimbulkan pertanyaan apakah keempat tongkang diikat bersamaan dan salah satu tongkang diikatkan ke satu mooring buoy. Kemungkinan terdekat, hal inilah yang diduga terjadi. Sehingga ketika terjadi proses penindakan pidana ini dapat ditelusuri adanya awal kesalahan yaitu kecerobohan yang disengaja oleh nahkoda dan ABK.
Ketiga, adanya kemungkinan kegiatan illegal bollard (tambat) di lokasi tongkang ditambatkan. Hal ini didasarkan adanya dugaan tambat yang tidak sesuai prosedur. Apakah lokasi tempat sandar merupakan tempat yang sudah ditetapkan oleh instansi dan diketahui pejabat terkait? Jika tidak diketahui pejabat terkait dapat dikatakan sebagai kegiatan illegal. Kalau sudah seijin pejabat terkait, tentunya nahkoda dan ABK sudah mengetahui dan menjalankan prosedur tambat yang benar. Adanya dugaan illegal bollard, harus ada tindakan tegas berupa penutupan kegiatan tambat di lokasi tersebut dan mengusut pihak – pihak yang berperan serta dalam kegiatan di dalamnya.
Keempat, penilaian kerusakan ekosistem terumbu karang. Kegiatan penilaian tidak mudah, harus melalui kajian ilmiah mendalam dengan mengambil sudut pandang dari berbagai pihak yang memanfaatkan area yang mengalami kerusakan. Menggunakan pendekatan proxy dari satu pihak saja belum tentu disetujui oleh pemangku kepentingan lain. Kalaupun ada pendekatan “kesepakatan” untuk mengganti kerusakan terumbu karang atas permasalahan ini, diharapkan tidak menghilangkan unsur pidana yang terjadi sebagai pembelajaran hukum.
Terakhir, mengingat letak strategis Taman Nasional Karimunjawa yang dilalui alur pelayaran baik penumpang, barang, hingga energi, secara fungsional akan menjadi tempat persinggahan secara “insidental” di luar alur pelayaran yang utama apabila terjadi “gangguan”. Persinggahan secara insidental inilah, yang pada ujungnya dapat terjadi konflik lingkungan jika  terulang kejadian serupa yang mungkin tidak hanya terjadi kerusakan terumbu karang tetapi juga pencemaran. Harus disusun prosedur standar jika terjadi persinggahan insidental yang mempunyai resiko kerusakan lingkungan.

*) Pengendali Ekosistem Hutan Balai Taman Nasional Karimunjawa  

Tidak ada komentar: