MELUKIS REALISME PULAU KELAPA DUA
SALAH SATU
ENCLAVE TAMAN NASIONAL KEPULAUAN
SERIBU
(Bagian –
1)
Oleh :
Isai Yusidarta, ST., M.Sc. (Ka. SPTN
Wilayah I)
Ketika menginjak pertama kali ke
Pulau Kelapa Dua, data keruangan tingkat tapak “blank spot”. Memori sertijab hanya memberikan kondisi pelaksanaan
DIPA 2019 dan barang milik negara (BMN). Mencoba memahami Simpul Seribu yang
digadang-gadang menyediakan data dan informasi tentang kawasan Taman Nasional
Kepulauan Seribu (TNKpS) dan isinya, belum mampu menyediakan informasi yang
dibutuhkan baik internal maupun eksternal. Simpul Seribu baru saja dibangun masih
memerlukan tahapan selanjutnya untuk optimal.
Hal yang menyejukkan adalah pada Seksi
Pengelolaan Taman Nasional (SPTN) Wilayah I Pulau Kelapa di Kelapa Dua telah tersedia
tiga orang pilot drone dan sebuah peralatan Drone Mavic yang masih baru dan
jarang dipakai (salah satu jenis penyakit jika berkaitan dengan barang milik
negara – takut rusak apalagi tertelan laut). Ketiganya berkemapuan perpetaan ArcGIS.
Sumber daya itu belum bersinergi untuk menggambar Pulau Kelapa Dua beserta isi
perairan dangkalnya. Karena mereka belu tahum tentang perencanaan terbang dan aplikasi
aerial mapping.
Modal yang sangat berharga, dengan
hanya petunjuk sebuah laporan penyelesaian kasus perusakan terumbu karang oleh vessel grounding kapal tongkang di Taman
Nasional Karimunjawa dan staf fungsional (Hardian Agustin, Wira Saut dan
Mustalafin) yang memiliki passion
pada pemetaan ruang (spatial), mulailah penggabungan untuk “melukis” Pulau
Kelapa Dua beserta isinya.
Lukisan Realisme Pengelola Kawasan
Konservasi
Banyak sekali aliran lukisan,
paling tidak ada 10 aliran yang pernah saya baca. Salah satunya adalah
realisme, yang menurut pemahaman saya adalah gaya melukis dengan menangkap
fenomena yang nyata terjadi dan dialami dalam kehidupan secara obyektif. Bagi
seorang manjer pengelola di tingkat wilayah (tapak), sangat bermanfaat sekali
untuk mampu “melukis” secara nyata kondisi wilayah kerja. Sasarannya adalah
mampu memberikan gambaran kondisi wilayah secara menyeluruh (komprehensif) dan
objektif.
Lukisan realisme (sebagai pengelola
kawasan konservasi), adalah memindahkan kondisi nyata (riil) dan detail dalam
bentuk tiga dimensi di alam kedalam sarana dua dimensi. Pemindahan ini
menimbulkan konsekuensi bahwa setiap orang akan berusaha berpikir sesuai dengan
sudut pandang masing-masing tetapi harus bisa diarahkan (digiring) untuk mencapai
satu pemahaman yang sama. Penggiringan tetap berdasarkan keilmuan (science) yang membalut peraturan perundangan pengelolaan kawasan konservasi
dan lingkungan hidup. Mengapa? Aturan perundangan adalah “kaku” (letter leg) dan science adalah “lentur”. (akan
terlihat pada tulisan-tulisan yang akan datang).
Harapan dari lukisan realisme ini adalah orang yang
tidak tahu karena tidak pernah berkecimpung pun akhirnya mengerti dan paham
akan situasi dan kondisi yang terjadi. Orang yang tidak paham diharapkan
menjadi paham. Orang yang paham akan semakin menjadi paham dan mampu memberikan
pemecahan masalah (solution). Orang
yang memberikan pemecahan masalah akan mampu mengajak orang lain untuk
melaksanakan pemecahan masalah tersebut sehingga sumber daya alam hayati akan
semakin lestari tanpa mengorbankan kepentingan manusia yang tinggal di dalam
kawasan konservasi.
Lukisan
Realisme dengan Teknologi
Era RBM (Resort Base Manajemen)
Tahun 2010-an, menggambarkan kondisi tingkat tapak kawasan menggunakan
keruangan wilayah yang sudah tersedia, seperti digitasi peta-peta lama buatan
meja gambar dan tangan hingga memanfaatan peta-peta satelit edisi yang belum
terbarukan (lama), atau bisa juga google
earth dan google map. Setiap personil
lapangan melakukan ground check
dengan tally sheet yang sudah
dipersiapkan. Fungsi hasil ground check ada
2 yaitu :
1.
Mengisi peta-peta lama hasil buatan meja
gambar dan tangan;
2.
Mengkoreksi isi peta-peta satelit yang
belum terbarukan
Dimulai dengan terpilihnya Ir.
Djoko Widodo sebagai Presiden Negara Kesatuan Republik Indonesia tahn 2014,
maka era RBM edisi 2020-an, setiap pengelola kawasan tingkat tapak (tidak terkecuali
SPTN Wilayah I TNKpS) harus mampu membuat sendiri peta dasar keruangan sendiri
sesuai dengan kebutuhan lapangan. Bahkan beliau mendengungkan drone yang waktu itu masih asing dan
mahal. Hingga berkembang yang namanya
aerial mapping dan berbasis pada umumnya adalah terestrial.
Kemudian oleh orang-orang yang berkecimpung
dalam dunia kelautan, mulai penerapan pada wilayah pesisir dan kedalaman laut
yang bisa ditembus oleh kamera drone. Penerapan teknologi semakin berkembang
dengan adanya ROV dan drone underwater yang baru tahap eksplorasi foto dan
video belum spasial keruanga. Tetapi sudah dirintis dengan keluarnya Catline yang di Indonesia baru digunakan
di Taman Nasional Karimunjawa, Taman Nasional Bunaken dan Perairan Sangihe –
Talaud.
Mengapa butuh peta keruangan berbasis
teknologi khususnya drone? Drone atau UAV
merupakan perkembangan dari teknologi dalam bidang pemetaan dimana pemanfaatan
pesawat tanpa awak dalam pemotretan udara dimanfaatkan dengan teknologi GIS
untuk memetakan suatu area daratan dan perairan pada kedalaman tertentu.
Kelebihan pemetaan dengan drone yaitu : 1) Mendapatkan gambaran citra kenampakan terbaru; 2)
Mendapatkan kenampakan dengan citra resolusi tinggi; 3) Low cost untuk pemetaan
area kecil dibanding harus membeli citra resolusi tinggi; 3) Efisien dalam
waktu karena pemotretan dapat langsung dilihat hasilnya; 4) Peta yang dihasilkan dapat diperbaharui
secara parsial maupun secara keseluruhan dengan cepat; dan 5) Citra yang sangat
real time dan in-situ
Jadi yang dimaksud sebagai lukisan
realisme dengan teknologi adalah pembuatan peta keruangan dengan menggunakan
teknologi drone beserta perangkat aplikasinya.
Bagaimana dengan kaitan RBM tahun
2020-an? Citra aerial mapping telah
memberikan gambaran terbaru (terkini) yang lebih konkrit sebelum ke lapangan,
dengan presisi kordinat yang tidak terbantahkan (resoslusi bisa mencapai 1
pixel = 1,5 cm) dan kualitas citra bisa dipilih higest. Artinya petugas groundcheck
sudah membawa bekal pemahaman (gambaran) lebih tentang kondisi suatu objek
pada (khususnya yang tidak bergerak)
suatu titik koordinat dan tinggal membuat bukti dan koreksi bahkan dapat
merencakan cara menjangkaunya dengan persiapan yang lebih simpel dan tidak
berlebih peralatannya.
Lukisan Realisme
Pulau Kelapa Dua
Sebagai manajer pengelola kawasan
konservasi yang baru, pelaksaan kegiatan melukis Pulau Kelapa Dua adalah adalah
hal yang baru. Paling mudah adalah memberikan kepercayaan (trust). Paling berat
adalah meningkatkan keyakinan (belief),
bahwa mereka (staf) bisa, walaupun belum pernah melaksanakan aerial mapping apalagi di perairan
pesisir. Tapi saya tidak begitu yakin mereka “belum pernah mengenal aerial mapping”. Mengapa? Berdasarkan data infromasi yang saya
dapatkan tentang ketiga staf saya mereka adalah orang yang cerdas.
Melukis realisme Pulau Kelapa Dua dengan memanfaatkan dan meramu sumber daya SPTN Wilayah I Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu (BTNKpS) berupa : 1) Staf pilot drone; 2) Staf pengolah Arc-GIS; 3) Staf pengolah aplikasi foto udara; 4) Peralatan drone mavic dan 5) Penelaah hasil aerial mapping.
Lukisan realime dalam dua dimensi dalam bentuk file JPEG dapat dilihat Gambar 1. Jika menginginkan dalam bentuk soft file (pdf dengan berbagai skala dan kualitas) dapat menghubungi saya dengan menuliskan dalam kotak komentar blog saya ini yaitu kolom-mari.blogspot.com.
Gambar 1. Hasil aerial mapping Pulau Kelapa Dua pada ketinggian 30 meter menggunakan drone mavic. Hasil olahan oleh Hardian Agustin, S.Hut (polhut SPTN Wilayah I)
Berdasarkan Gambar 1. Pulau Kelapa Dua, secara ekologi terbagi dalam wilayah tiga (3) pesisir pulau-pulau kecil yaitu :
1.
Supratidal
yaitu
area yang tidak tergenang air laut pada saat pasang tertinggi. Area supratidal dapat disebut sebagai daratan
(terestrial).
2.
Sub tidal yaitu area
yang tergenang air laut pada saat pasang tertinggi dan pada saat surut terendah
tidak tergenang air laut. Area Subtidal ini
lebarnya tidak lebih dari 2 meter dan hanya terlihat di mulai dari kantor SPTN
Wilayah I ke arah barat di PT. Lucky. Area ini berupa pasir putih dan pecahan
karang. (tidak terlihat pada peta Gambar 1)
3.
Tidal yaitu area
yang tetap tergenang pada saat air surut sekalipun hingga ke arah tubir hingga reef slope (lereng karang). Area ini
terdapat 3 ekosistem yaitu 2 ekosistem asli yaitu terumbu karang dan lamun
serta 1 ekosistem buatan yaitu mangrove (hasil adaptasi).
Bersambung
ke Bagian 2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar