History dari Teluk Kupang
ISOLASI DAN KARAKTERISASI
SENYAWA ANTIOKSIDAN ALKALOID
DARI SPONGE PERAIRAN KUPANG, NUSA TENGGARA TIMUR
Andi Setiawan,1 Peni Ahmadi,1 dan Isai Yusidarta.2
1 Jurusan Kimia FMIPA Universitas Lampung, Bandar Lampung
2 Balai Besar KSDA NTT, Kelapa Lima, Kupang.
ABSTRAK
Telah dilakukan skrining senyawa antioksidan pada lima jenis sponge A01, A08, C21, K70 dan K72 yang diperoleh dari perairan Taman Wisata Laut (TWL) Teluk Kupang. Hasil uji aktivitas antioksidan menggunakan pereaksi DPPH 0,1 mM terhadap ke lima ekstrak metanol sampel secara berturut-turut menunjukkan persen inhibisi radikal bebas A01 4,3%, A08 6,85, K70 7,4%, C21 22,7% dan K72 25,25%. Analisis lanjut ektrak metanol sampel C21 setelah melalui beberapa tahapan kromatografi diperoleh isolat senyawa PN10 dengan aktifitas persen inhibisi sebesar 65,69%. Karakterisasi isolat PN10 menggunakan pereaksi spesifik Dragendrof dan ninhidrin pada kromatografi lapis tipis (KLT) menunjukkan bahwa senyawa PN10 merupakan senyawa alkaloid tersier. Hasil intepretasi spektrum IR isolat PN10 yang diukur menggunakan teknik FTIR-ATR memperlihatkan karakteristik serapan bilangan gelombang pada daerah 1326,52 cm-1 untuk C=N-C-, kemudian 1429,10 cm-1 untuk vibrasi tekuk C-N, dan 1020 cm-1 untuk vibrasi ulur ikatan -C-N-. Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa isolat PN10 dari sponge C21 merupakan senyawa alkaloid tersier yang memiliki potensi sebagai senyawa antioksidan dengan persen inhibisi radikal bebas sebesar 65,69 % pada konsentrasi 25 ppm.
Kata Kunci: Antioksidan, Alkaloid, Sponge, DPPH.
PENDAHULUAN
Perairan TWL Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur merupakan salah satu kawasan Indonesia yang memiliki potensi yang kaya akan keanekaragaman biota laut. Berbagai jenis biota laut seperti soft coral, tunicate, dan sponge dapat dijumpai dengan mudah di perairan Kupang pada kedalaman 3 sampai 30 meter. Kondisi ini tidak saja berpotensi untuk tujuan pengembangan pariwisata dan budidaya laut tetapi juga dapat dijadiakan sebagai sumber kajian ilmiah berkaitan dengan sumber senyawa bioaktif baru dari biota laut guna pengembangan industri farmasi.
Hingga saat ini, studi mengenai pemanfaatan potensi senyawa bioaktif yang bersumber dari biota laut untuk pengembangan industri farmasi masih terus dilakukan. Sponge merupakan salah satu target biota laut yang secara intensif di kaji guna mendapatkan berbagai informasi mengenai senyawa bioaktif baru. Berdasarkan hasil kajian yang telah di lakukan dalam satu dekade terakhir ini khususnya di perairan Indonesia menunjukkan bahwa sponge memiliki keragaman struktur kimia dengan bioaktifitas yang berbeda-beda. Beberapa jenis senyawa bioaktif yang berhasil diisoalsi antara lain Agosterol A, senyawa polihidroksi sterol asetat, dengan aktivitas sebagai reversal agent terhadap sel tumor yang telah resisten terhadap senyawa anti kanker (Aoki S., et al., 1999), senyawa manadomanzamine A dan B yang memiliki aktivitas sebagai antimikobakteria dan HIV-1 (Peng J., et al., 2003), senyawa fenolik eter terbrominasi dengan aktifitas sebagai antibakteria (Hanif N., et al., 2007), serta
senyawa sesquiterpen aminoquinone, dysideamine, dengan aktivitas menghambat pertumbuhan spesies senyawa yang sangat reaktif terhadap oksigen (Suna H., et al., 2009).
Dalam menindak lanjuti kajian kami untuk mendapatkan senyawa-senyawa bioaktif dari laut khususnya sponge, maka dalam penelitian ini telah dilakukan upaya untuk mengisolasi, mengkarakterisasi dan penapisan senyawa antioksidan dari lima jenis sponge yang diperoleh dari perairan TWL Teluk Kupang, Nusa Tenggara Timur.
Pengujian terhadap ekstrak sponge dan hasil isolat senyawa antioksidan dilakukan secara in vitro menggunakan pereaksi DPPH dengan standar pembanding vitamin C.
METODOLOGI PENELITIAN
SURVEY DAN SAMPLING
Delapan puluh empat sampel biota laut diambil secara acak dengan menggunakan teknik scuba di perairan TWL Teluk Kupang NTT pada tanggal 8 sampai 15 Agustus 2009.
EKSTRAKSI SENYAWA ALKALOID
Untuk mendapatkan ektrak alkaloid, sampel spnge yang telah diperoleh dipotong kecil-kecil dan dikering anginkan, kemudian di rendam dengan metanol lalu disaring untuk memisahkan filtrat dengan residu sponge. Filtrat yang diperoleh dipekatkan dengan mesin pemutar vakum BUCHI R210 pada temperatur 380C, kemudian ekstrak metanol yang diperoleh dipartisi dengan menggunakan pelarut dikloro metan (DCM) dengan air (1:1). Fraksi polar selanjutnya dipisakan dan dipekatkan kembali dengan pemutar vakum. Hasil
pemekatan yang diperoleh kemudian dilarutkan kembali dalam pelarut metanol sebagai ektrak metanol.
PENAPISAN AWAL SENYAWA ANTIOKSIDAN ALKALOID
Terhadap ekstrak metanol sponge perairan Kupang, dilakukan penapisan awal dengan metode cepat microplatereader DPPH (1,1-Diphenyl-2-picrylhydrazyl). Metoda ini bergantung pada reduksi warna ungu DPPH menjadi kuning dari diphenyl picrylhydrazine. Perubahan warna yang terjadi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 419 nm. Larutan DPPH dibuat dengan cara melarutkan DPPH 1,3 mg dalam metanol sebanyak 2,5 mL, sehingga diperoleh konsentrasi DPPH 1,27 mM (Takao et al., 1994; Akhanovna et al., 2008). Mengingat senyawa DPPH sangat sensitif terhadap cahaya maka diupayakan agar pengaruh cahaya pada saat pengukuran sampel seminimal mungkin. Untuk identifikasi alkaloid di uji secara KLT dengan pereaksi spesifik Dragendorff dan ninhidrin.
KROMATOGRAFI KOLOM GRAVITASI LANDAIAN
Ektrak metanol sponge yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan selanjutnnya difraksinasi melalui beberapa tahapan kolom kromatografi landaian. Pada proses kolom kromatografi fase gerak yang digunakan merupakan.campuran DCM : MeOH dan silika gel sebagai fasa diam. Hasil fraksinasi dari setiap fraksi yang diperoleh dimonitor dengan metoda KLT menggunakan pereaksi spesifik DPPH untuk mengidentifikasi senyawa antioksidan dan pereaksi Dragendrof dan ninhidrin untuk mengidentifikasi komponen alkaloid.
UJI KUALITATIF ANTIOKSIDAN
Uji aktivitas antioksidan terhadap isolat antioksidan alkaloid dilakuan dengan cara melarutkan larutan stok sampel 1 mg/mL hingga di dapat konsentrasi akhir pada saat pengukuran menjadi 5, 10, 25, 50, dan 100 ppm.
Untuk masing-masing konsentrasi diambil 100 L dan dimasukkan ke dalam plate wells kemudian ditambahkan DPPH sebanyak 100 L disetiap wells sehingga konsentrasi akhir DPPH dalam larutan adalah 0,1 mM. Perlakuan yang sama dilakukan terhadap terhadap vitamin C sebagai kontrol positif dan metanol sebagai blanko. Pengukuran sampel dilakukan dengan menggunakan microplate readerpada panjang gelombang 492 nm. Larutan DPPH 0,2 mM dibuat dengan melarutkan DPPH sebanyak 0,4 mg ke dalam 5 mL metanol (modifikasi dari metode Marxen et al., 2007).
% Inhibisi = [(C-S)/C] x 100
Keterangan :
Nilai C merupakan nilai absorbansi blanko.
Nilai S merupakan nilai absorbansi sampel.
KARAKTERISASI ISOLAT ANTIOKSIDAN ALKALOID
Senyawa alkaloid hasil isolasi ekstrak metanol dari sponge dikarakterisasi secara fisika dan kimia. Analisis gugus fungsi pada struktur alkaloid di dasarkan pada spektrum serapan IR pada daerah bilangan gelombang 4000 - 600 cm-1. Interpretasi spektrum di fokuskan pada serapan di daerah 3400-3300 cm-1 untuk vibrasi N-H dari gugus amina primer dan sekunder. Selanjutnya juga diamati untuk karakteristik gugus fungsi N primer, sekunder dan tersier pada daerah disekitar 1300-900 cm-1. Sedangkan untuk mengkonfirmasi adanya gugus amina picrylhydrazyl). Metoda ini bergantung pada reduksi warna ungu DPPH menjadi kuning dari diphenyl picrylhydrazine. Perubahan warna yang terjadi diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 419 nm. Larutan DPPH dibuat dengan cara melarutkan DPPH 1,3 mg dalam metanol sebanyak 2,5 mL, sehingga diperoleh konsentrasi DPPH 1,27 mM (Takao et al., 1994; Akhanovna et al., 2008). Mengingat senyawa DPPH sangat sensitif terhadap cahaya maka diupayakan agar pengaruh cahaya pada saat pengukuran sampel seminimal mungkin. Untuk identifikasi alkaloid di uji secara KLT dengan pereaksi spesifik Dragendorff dan ninhidrin.
KARAKTERISASI SPIKULA SPONGE
Karakterisasi sampel sponge di lakukan berdasarkan pengamatan spikula terhadapsponge yang berpotensi mengandung senyawa antioksidan paling tinggi. Proses pengerjaan melalui tahapan sebagai berikut, sponge diiris kecil ± 0,5 cm3, kemudian dimasukkan dalam tabung reaksi dan ditambahkan asam nitrat pekat secukupnya. Campuran ini kemudian dipanaskan di atas pengaduk magnetik hingga terlarut sempurna, kemudian ditambahkan akuades dan diamkan selama dua jam agar spikula mengendap atau jika tidak mengendapdilakukan centrifugepada 6000 rpm selama 20 menit. Endapan yang diperoleh dicuci sebanyak 2 – 3 kali dengan alkohol absolut sebanyak 1mL untuk menghilangkan kotoran yang tersisa. Endapan diamati di bawah mikroskop Zeiss A10 dengan perbesaran 400x untuk mengetahui bentuk spikulanya (Bell et al.,2005).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sampel sponge diambil secara acak dengan menggunakan teknik scuba pada kedalaman 3-31 meter di Perairan TWL Teluk Kupang. Dari hasil pengambilan sampel sponge di perairan Teluk Kupang diperoleh sampel sebanyak 84 sampel. Secara umum pengambilan sampel di bagi pada sembilan lokasi pengambilan sampel yang berbeda, seperti terlihat pada Tabel 1. Hasil pengamatan dari bentuk morphologi 84 sampel biota laut teridentifikasi 80 sampel sponge dan 4 tunicate.
Tabel 1. Lokasi pengambilan sampel di Kupang
No
|
Nama Lokasi
|
Koordinat
|
Jumlah
Sampel
|
Kedalaman (meter)
|
1.
|
Tabulolong
|
S 10º18'52.3"- T 23º28'39.7"
|
20
|
10-15
|
2.
|
Pos Polair
|
S 10º13'07.4"- T 23º20'36.2"
|
11
|
24
|
3.
|
Tabulolong (Barat, 300 Mtr)
|
S 10º13'48.5"- T 23º26'01.5"
|
19
|
8-25
|
4.
|
Tabulolong (Timur, 300 Mtr)
|
S 10º08'45.5"- T 123º29'18"
|
13
|
3,3-31
|
5.
|
Buluinan
|
S 10º08'56.6"- T 123º23'11.8"
|
7
|
25
|
6.
|
Hansini
|
S 10º10'16.0"- T 123º30'30.7"
|
6
|
27
|
7.
|
Sekitar Polair
|
S 10º13'10.9"- T 123º30'18.6"
|
3
|
30,1
|
8.
|
Tabulolong (Barat, 1Km)
|
S 10º13'16.0"- T 123º29'47.7"
|
4
|
30,5
|
9.
|
Sekitar Hansisi
|
S 10º12'21.8"- T 123º30'30.3"
|
1
|
30,6
|
Berdasarkan data pada Tabel 1. terlihat bahwa keanekaragaman sponge di Kupang paling banyak berturut-turut ditemukan di Tabulolong pada kedalaman berkisar antara 10-15 meter yaitu sebanyak 20 jenis sponge, Tabulolong (300 meter kearah Barat) pada kedalaman 8-25 meter yaitu 19 jenis sponge, Tabulolong (300 meter kearah Timur) pada kedalaman 3,3-31 meter sebanyak 13 jenis sponge, Kawasan Pos Polair pada kedalaman 24 meter sebanyak 11 jenis sponge, Daerah Buluinan pada kedalaman 25 meter sebanyak 7 jenis sponge, Tabulolong (1 Km kearah Barat) pada kedalaman 30,5 meter sebanyak 4 jenis sponge, dekat kawasan sekitar Polair pada kedalaman 30,1 meter sebanyak 3 jenis sponge, dan sekitar Hansini pada kedalaman 30,6 meter sebanyak 1 sponge.
Perbedaan keanekaragaman sponge di suatu daerah perairan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kejernihan air, kedalaman, intensitas sinar matahari dan arus (Bell et al., 2005). Jika dilihat dari data tersebut, jenis sponge terbanyak diperoleh di Tabulolong pada kedalaman 10-15 meter, hal ini dimungkinkan karena sponge masih mendapatkan cahaya matahari yang cukup di dukung perairan yang jernih. Sedangkan paling sedikit sponge ditemukan di daerah dekat Hansisi yaitu pada kedalaman 30,6 meter dengan kondisi dasar berlumpur dimana pada kedalaman tersebut tentunya hanya memperoleh sedikit cahaya. Dengan kata lain semakin dalam suatu perairan maka semakin sedikit cahaya yang dapat menembus sehingga berakibat pada semakin sedikitnya keragaman sponge yang dapat tumbuh. Pada kondisi tersebut hanya jenis sponge tertentu saja yang memiliki kemampuan tumbuh pada daerah yang kurang cahaya matahari.
Dari hasil 80 sampel sponge yang diperoleh dipilih 5 jenis sponge (A01, A08, C21, K70, dan K72) untuk dilakukan uji awal DPPH, dengan pertimbangan antara lain ketersediaan jumlah sampel yang memadai, ketersediaan data sebelumnya serta keunikan sponge. Spesifikasi kelima jenis sponge ini dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 2. Spesifikasi sampel sponge A01, A08, C21, K70, dan K72
No
|
Kode Sampel
|
Kedalaman (meter)
|
Lokasi
|
Spesies
|
1
|
A01
|
10-15,9
|
Tabulolong
|
Stylissa carteri
|
2
|
A08
|
10-15,9
|
Tabulolong
|
Leucetta sp
|
3
|
C21
|
24,6
|
Pos Polair
|
Aaptos sp
|
4
|
K70
|
28
|
Hansisi
|
Belum teridentifikasi
|
5
|
K72
|
28
|
Hansisi
|
Ianthella basta
|
PENAPISAN SENYAWA ALKALOID ANTIOKSIDAN
Hasil penapisan dengan menggunakan metode microplate reader 96 wells untuk satu kali pengoperasian terhadap kelima ekstrak metanol sampel sponge secara berturut-turut menunjukkan persen inhibisi radikal bebas sebagai berikut, A01 4,3%, A08 6,85%, K70 7,4%, C21 22,7% dan K72 25,25%. Terukurnya aktivitas senyawa antioksidan di setiap ekstrak metanol sponge dapat disebabkan oleh adanya komponen-komponen sampel dari golongan flavonoid (polifenol) (Grube et al., 2007), terpenoid (Topcu et al., 2007) ataupun senyawa alkaloid yang telah berhasil diisolasi dari tanaman (Shaheen et al., 2005) dan algae (Maiza-Benabdesselam et al., 2007).
Dari kelima jenis sponge di atas, ekstrak metanol sponge K72 memiliki persen inhibisi radikal bebas paling besar (25,6%). Namun untuk kajian lebih lanjut, analisis dan isolasi selanjutnya difokuskan pada sponge C21 dengan mempertimbangkan ketersediaan sampel sponge C21 bila dibandingkan dengan ketersediaan sponge K72 yang relatif sangat terbatas. Lebihlanjut, ditinjau dari aspek aktifitas, ektrak metanol sponge C21 memperlihatkan nilai persen inhibisi (22,7%) yang relatif tidak jauh berbeda dibanding dengan ekstrak K72.
Hasil analisis menggunakan metoda KLT pada ekstrak kasar C21 dengan menggunakan pereaksi DPPH dan Dragendorf dapat dilihat pada Gambar 1. Data yang diperoleh menunjukkan bahwa ekstrak metanol dari sponge C21 memiliki komponen alkaloid terlihat dari adanya bercak berwarna jingga setelah direaksi dengan pereaksi ragendrof (Gambar 1a) dan bersifat sebagai antioksida dengan indikasi bercak berwarna putih (Gambar 1 b) pada plat KLT didaerah Rf 0,1-0,3.
Gambar 1. KLT dari ekstrak metanol sponge C21 yang dielusi dengan DCM:MeOH 9:1 dengan (a.) direaksikan dengan Dragendorf, (b.) direaksikan dengan DPPH.
ISOLASI DAN KARAKTERISASI SENYAWA ANTIOKSIDAN ALKALOID
Untuk mendapatkan komponen aktif dari ekstrak metanol C21, dilakukan fraksinasi menggunakan teknik kolom kromatografi gravitasi. Kondisi yang dipilih untuk melakukan tahapan fraksinasi menggunakan fasa diam silika gel 60 (0,063-0,200 mm) dan fase gerak campuran DCM:MeOH . Pengerjaan kolom kromatografi di lakukan melalui beberapa tahapan sehingga diperoleh isolat PN 10 seberat 3 mg. Hasil analisis dengan KLT menggunakan reaksi spesifik ninhidrin menunjukkan hasil yang negatif sedangkan dengan peraksi Dragendrof nampak bercak bercak tunggal berwana jingga. Hal ini mengindikasikan bahwa isolat PN10 merupakan senyawa alkaloid tersier.
Gambar 2.Spektrum IR Senyawa PN10
Analisis lebih lanjut dengan menggunakan FTIR-ATR spektrum PN10 (Gambar 2) memperlihatkan karakteristik serapan bilangan gelombang pada daerah 1326,52 cm-1 untuk C=N-C-, kemudian 1429,10 cm-1 untuk vibrasi tekuk CN, dan 1020 cm-1untuk vibrasi ulur ikatan -C-N-. Berdasarkan analisis hasil spektrum IR yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa isolat PN10 dari sponge C21 merupakan senyawa alkaloid tersier. Analisis lebih lanjut menunjukkan struktur isolat PN 10 memiliki gugus hidroksi, hal ini terlihat dengan adanya serapan di daerah 3367,32 cm-1 yang mengindikasikan vibrasi ulur dari O-H. Lebih lanjut, tidak adanya serapan yang muncul pada daerah 2940-2875 cm-1 yang signifikan untuk vibrasi C-H dari gugus metilen mengindikasikan bahwa struktur PN10 bukan senyawa alkaloid alifatis. Sedangkan adanya pita serapan pada daerah 1653,37 cm-1 sebagai vibrasi ulur C=C yang mengindikasikan struktur PN10 memiliki ikatan rangkap tak terkonyugasi.
UJI AKTIVITAS ANTIOKSIDAN
Perbedaan % inhibisi antara vitamin C dan PN10 dapat diakibatkan oleh kemampuan masing-masing senyawa dalam memberikan elektronnya kepada DPPH, semakin banyak elektron yang diberikan kepada DPPH maka mengakibatkan penurunan nilai absorbansinya yang berarti meningkatnya % inhibisi. Dengan demikian PN10 lebih stabil bila dibandingkan dengan vitamin C. Hal ini terbukti dari nilai % inhibisi vitamin C pada konsentrasi mulai dari 10 ppm hingga 100 ppm menunjukkan nilai yang relatif sama, sedangkan pada PN10 nilai % inhibisinya menunjukkan relatif sama pada konsentrasi lebih dari 25 ppm. Hal tersebut kemungkinan terjadi karena reaksi yang terjadi adalah reaksi terbatas dimana jumlah antioksidannya lebih banyak bila dibandingkan dengan jumlah radikal DPPH, sehingga mengakibatkan donor elektron menjadi berlebih, sehingga penambahan konsentrasi senyawa PN10 tidak mempengaruh nilai % inhibisi.
Tabel. 3. Absorbansi dan % inhibisi PN10 dan Vitamin C
No.
|
Konsentrasi
(ppm)
|
Absorbansi Vit.C
|
% inhibisi Vit.C
|
Absorbansi PN 10
|
% inhibisi PN10
|
1
|
5
|
0,3913
|
33,41
|
0,5316
|
9,52
|
2
|
10
|
0,2163
|
63,19
|
0,3746
|
36,25
|
3
|
25
|
0,1783
|
69,66
|
0,2016
|
65,69
|
4
|
50
|
0,1753
|
70,17
|
0,2223
|
62,16
|
5
|
100
|
0,221
|
62,39
|
0,2416
|
58,87
|
IDENTIFIKASI SPONGE
Sampel sponge diidentifikasi berdasarkan bentuk morfologinya, yaitu berdasarkan warna, tekstur, bentuk spikula, dan ukuran sponge. Warna dan tekstur sponge dapat diamati secara konvensional, yaitu dengan cara melihat ciri-ciri fisiknya dan membandingkan langsung dengan literatur yang sudah ada (Gambar 3.)
Analisis spikula sponge C21 dilakukan dengan merendam sampel dalam larutan asam nitrat pekat, hal ini bertujuan untuk melarutkan senyawa-senyawa lain yang dapat menggangu analisis spikula (pengotor), sedangkan spikula yang berbahan dasar silika tak larut dalam asam nitrat. Setelah perendaman dalam asam nitrat, selanjutnya dibilas dengan air untuk melarutkan senyawa-senyawa lain yang dapat mengganggu pengamatan dalam analisis spikula. Pencucian lebih lanjut dilakukan dengan alkohol untuk melarutkan senyawa-senyawa yang tak larut air. Hasil pengamatan dengan menggunakan mikroskop Zeiss A 10 dengan perbesaran 400x terlihat pada Gambar 4. Sebagai catatan selama ini belum pernah dilaporkan bahwa bentuk spikula dengan bagian yang berbentuk kanal atau adanya saluran pada bagian sisi spikula secara jelas seperti pada gambar 4.c. belum pernah dilaporkan.
Gambar 3. Bentuk sponge C21 A. Nampak utuh dari luar. B. Nampak bagian dalam berwarna kuning.
Gambar 4. Bentuk Dan Ukuran Spikula Sponge C21
Dari hasil pengamatan bentuk spikula sponge C21, menunjukkan bahwa spikula pada Gambar 4a identik dengan spikula jenis toxa yang memiliki karakterisitik bentuk yang berkelok dan memiliki ukuran panjang 55-85 m, seperti ditunjukkan pada Gambar 5a. Selain itu gambar 4b. identik dengan spikula jenis smooth styles, bentuk spikula ini apabila ukurannya masih pendek bentuknya sangat lurus, biasanya ukuran dari spikula jenis ini yang ukurannya pendek berkisar antara 155-254 x 4-7 m, dan untuk ukuran panjang berkisarantara 600-1060 x 6-12 m dan lebih memiliki bentuk yang lebih lentur bila dibandingkan dengan yang pendek, gambar jenis spikula smooth styles dapat dilihat pada Gambar 5b. Pada Gambar 4c identik dengan spikula jenis long thin oxea (Gambar 5c) yaitu memiliki karakterisitik spikula berbentuk panjang berukuran sekitar 250-350 x 3-14 m, dengan bagian ujung lebih tajam (lancip)
Gambar 5. Bentuk spikula berdasarkan literatur: a. spikula toxa; b. spikula smooth styles dan c. spikula long thin oxea.
Dari analisis morfologi sponge C21 memiliki karakteristik berbentuk bulat seperti bola, bagian luar berwarna hitam, sedangkan bagian dalam berwarna kuning.Sponge C21 mudah ditemukan pada kedalaman 1-20 meter dan masih mendapatkan sinar matahari maka dapat dikelompokkan dalam sponge yang hidup pada dalam habitat terbuka (Bell et al., 2005) serta adanya bentuk spikula toxa,smooth styles dan long thin oxea memiliki kesamaan fisik dengan sponge jenisAaptos sp.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh dapat disimpulkan bahwa perairan TWL Teluk Kupang kaya akan keanekaragaman biota laut khususnya sponge. Hasil identifikasi berdasarkan morphologi dan bentuk spikula menunjukkan bahwa sponge C21 adalah Aaptos sp. Isolat PN10 dari Aaptos sp. merupakan senyawa antioksidan alkaloid yang memiliki aktivitas % inhibisi radikal bebas sebesar 65,69% pada konsentrasi 25 ppm tergolong memiliki aktivitas sebagai antioksidan cukup tinggi. Lebih lanjut, isolat PN10 merupakan senyawa siklik alkaloid yang memiliki gugus hidroksil dan ikatan rangkap tak terkonjugasi.
UCAPAN TERIMAKASIH
Penulis mengucapkan terimakasih kepada 1. Kepala Balai Besar KSDA Kupang, NTT atas bantuan dan dukungan selama kegiatan survey; 2. Ketua Lembaga Penelitian Universitas Lampung, Dr. Eng. Admi Syarif atas arahan dan saran selama kegiatan penelitian ini.; Agus Trianto, Idam Hermawan, dan Eko Setyono yang telah membantu dalam pengambilan dan pendokumentasian sampel sponge.
DAFTAR PUSTAKA
Akhanovna, J., Konan, K.M., Bekro, Y.A., Gabin, M., Zomi, T.J., Mambo, V., and Boua, B.,B., 2008. Phytocompounds of the Extracts of Four Medicinal Plants of Côte D'ivoire and Assessment of their Potential Antioxidant by Thin Layer Chromatography. European Journal of Scientific Research. Vol. 24. pp. 219-228.
Aoki, S., Setiawan, A., Yoshioka, Y., Higuchi, K., Fudetani, R., Chen Z-S., Sumizawa, T.,Akiyama, S., and Kobayashi, M., 1999. Reversal of Muitidrug Resistance in Human Carcinoma Cell Line by Agosterols, Marine Spongean Sterols.Tetrahedron Vol. 55: pp. 13965-13972
Bell, J.J., and Barne, D.K.A., 2005. Effect of Disturbance on Assemblages: an Example Using Porifera. Biol. Bull. Vol. 205 : pp. 144-159.
Grube, A., Assman, M., Lichte, E., Sasse, F., Pawlik,J.R., and Ko’ck, M. 2007.Bioactive Metabolites from the Caribbean Sponge Aka coralliphagum. Journal Natural Product. Vol. 70. pp. 504-509.
Hanif, N., Tanaka, J., Setiawan, A., Trianto, A., Voogd, N., Murni, A., Tanaka, C., and Higa, T., 2007. Polybrominated Diphenyl Ethers from the Indonesian SpongeLamellodysidea herbacea. Journal Natural Product. Vol. 70. pp. 432-435.
Maiza-Benabdesselam, F., Khentache, S., Bougoffa, K., Chibane, M., Adach, S., Chapeleur, Y., Max, H., and Laurain-Mattar, D. 2007. Antioxidant activities of alkaloid extracts of two Algerian species of Fumaria : Fumaria capreolata andFumaria bastardii. Rec. Nat. Prod. Vol.1. pp. 28-35.
Marxen, K., 2007. Determination of DPPH radical oxidation caused by Methanolic Extract of Some Microalgal Species by Linear Regression Analysis of Spectrofotometric Measurements. Full research Paper. Vol. 7. pp. 2080-2095.
Peng, J., Hu, J., Kazi, A.B., Li, Z., Avery, M., Peraud,O., Hill, R.T., Franzblau, S.G., Zhang, F., Schinazi, R.F., Wirtz, S.W., Tharnish, P., Kelly, M., Wahyuono, S., and Hamann, M.T. 2003. Manadomanzamines A and B: A Novel Alkaloid Ring System with Potent Activity against Mycobacteria and HIV-1. J. Am. Chem. Soc. Vol. 125.: pp. 13382-13386.
Shaheen, F., Ahmad, M., Khan, M.H.T., Jalil, S., Ejaz, A., Sultankhodjaev, M.N., Arfan, M., Choudhary, M.I., and Atta-ur-Rahman. 2005. Alkaloids of Aconitum laeve and their anti-inflammatory, antioxidant and tyrosinase inhibition activities.Phytochemistry. Vol. 66. pp. 935–940.
Suna, H., Arai, M., Tsubotani, Y., Hayashi, A., Setiawan, A., and Kobayashi, M. 2009. Dysideamine, a new sesquiterpene aminoquinone, protects hippocampal neuronal cells against iodoacetic acid-induced cell death. Journal Bioorganic and Medicinal Chemistry. Vol. 1. pp. 3968–3972.
Takao,T, Kitatani, F., Watanabe, N., Yagi, A., and Sakata, K. 1994. A Simple Screening method for Antioxidant and isolation of several antioxidant produce by marine bacteria from Fish and Shellfish. Bioscience Biotechnol Biochem. Vol. 58. pp.1780-1783.
Topçu, G., Ertaş, A., Kolak, U., Öztürk, M., and Ulubelen, A. 2007. Antioxidant activity tests on novel triterpenoids from Salvia macrochlamys. ARKIVOC. Vol. 7. pp. 195-208