DRONE DAN PENGUKURAN KERUSAKAN TERUMBU KARANG AKIBAT VESSEL GROUNDING DI
TAMAN NASIONAL KARIMUNJAWA
(STUDI KASUS GOSONG SELOKA)
Isai Yusidarta1, Nugroho Dri Atmojo2,
1&2) Balai Taman Nasional Karimunjawa
Abstrak:
Perairan pedalaman (dangkal) Taman Nasional Karimunjawa (TNKj) sering kali
terjadi aktivitas illegal shipping dan illegal pilot. Memicu
terjadinya vessel grounding, mengakibatkan kerusakan ekosistem terumbu
karang. Salah satunya terjadi di Gosong Seloka 2 Februari 2018. Dalam rangka
penyelesaian sengketa lingkungan hidup sesuai dengan Undang – Undang Nomor 32
Tahun 2009, maka dilakukan pengukuran kerusakan ekosistem terumbu karang
sebagai dasar klaim ganti rugi. Selama ini pengukuran yang dilaksanakan
menggunakan metoda fishbone ground truth. Pemasangan penanda mooring
buoy pada titik terluar untuk dapat memperkirakan area kerusakan, dilanjutkan
dengan penyelaman untuk melaksanakan pengukuran secara ground truth
tanpa alat bantu drone.
Tujuan penelitian ini adalah mengetahui manfaat
penggunaan drone sebagai alat bantu pengukuran kerusakan terumbu karang di
Gosong Seloka perairan TNKj dan
mengkuantifikasi luas kerusakan ekosistem terumbu karang.
Metoda dalam penelitian ini adalah observasi
yang dilaksanakan di lokasi terjadinya vessel grounding yaitu Gosong
Seloka, perairan dangkal TNKj. Paparan hasil survei secara deskriptif dengan
membandingkan data yang diperoleh menggunakan teknik drone murni, drone – swim-time
dan drone – ground-truth measurement. Survey dilaksanakan pada tanggal
20 – 21 April 2018.
Hasil dalam penelitian ini menunjukkan bahwa
penggunaan drone untuk aerial mapping lokasi vessel grounding di
Gosong Seloka memberikan gambaran awal kerusakan ekosistem terumbu karang dan
memudahkan penggunaan metoda fish-bone dalam pengukurannya. Menggunakan
teknik drone murni didapatkan 16 polygon spot kerusakan ekosistem terumbu
karang dengan total luas 155 m2.
Gabungan teknik drone – Swim-time mendapatkan 14 polygon spot kerusakan
ekosistem terumbu karang dengan luasan total 161 m2. Sedangkan
gabungan teknik drone – ground-truth measurement mendapatkan 14 spot
dengan luas keseluruhan kerusakan ekosstem terumbu karang adalah 184,45 m2.
Berdasarkan hasil di atas, penggunaan drone harus dilengkapi dengan ground
check melalui penyelaman dan pengukuran secara ground-truth,
karena aerial mapping belum mampu memetakan zona kerusakan dispersal (sebaran
pecahan). Aerial mapping yang dihasilkan baru mampu memperlihatkan zona
kerusakan tranjectory (lindasan langsung), kondisi ini juga memerlukan ground
check untuk menentukan luka kerusakannya berkaitan dengan vessel
grounding atau luka bekas bleaching.
Kesimpulan hasil
penelitian ini bahwa penggunaan drone sangat membantu memetakan spot – spot
kerusakan ekosistem terumbu karang di Gosong Seloka perairan pedalaman TNKj.
Luas kerusakan terumbu karang sebagai dasar klaim ganti rugi adalah 184,45 m2.
Kata kunci: drone, fish-bone, ground-truth
PENDAHULUAN
Taman Nasional Karimunjawa (TNKj) merupakan kawasan
konservasi yang ditetapkan sebagai kawasan pelestarian alam berdasarkan Surat
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 78/ Kpts-II/1999 tanggal 22
Pebruari 1999 seluas 111.625 hektar terbagi luas perairan 110.117,3 hektar dan
1.507,7 hektar. Pengelolaan TNKj telah menggunakan sistem zonasi untuk
pembagian tata ruang dengan berbasis masyarakat dan ditetapkan dengan Surat keputusan Dirjen No. 28/ IV/set-3/
2012. TNKj hanya dimanfaatkan untuk
kegiatan di bidang pendidikan, penelitian, menunjang budidaya dan wisata alam.
Tetapi kondisi TNKj saat ini berada dalam
tekanan karena letaknya pada area persimpangan lalu lintas berbagai tipe dan
ukuran kapal yang hilir mudik dari utara (Kalimantan) ke selatan (pantai utara
Jawa) dan dari timur (pelabuhan Jakarta) – barat (pelabuhan Surabaya dan
Indonesia Timur). Jenis-jenis kapal yang melintas di sekitar perairan TNKj
diantaranya kapal penumpang, kapal kargo umum dan kargo khusus, kapal minyak
mentah dan bahan kimia tertentu, dan kapal tug boat – tongkang serta kapal
pengangkut alat berat sejenis landing
cruft tank (LCT).
Gambar 1. Memperlihatkan posisi TNKj di area persimpangan lintasan kapal
komersial/ niaga pada situs marine
traffic.
Perairan TNKj yang terletak di perairan
pedalaman Kepulauan Karimunjawa, sebenarnya bukan daerah perlintasan dan tidak
ada jalur lintas kapal niaga/komersial di dalamnya. Hal ini dapat dilihat pada
e-chart navigasi internasional. Akan tetapi seringkali terdapat kapal niaga/komersial,
khususnya tug boat – tongkang dan LCT yang membuat jalur sendiri memasuki
kawasan perairan pedalaman TNKj. Hal ini membahayakan bagi ekosistem terumbu
karang di TNKj dan keamanan pelayaran.
Perkembangan pembangunan di kawasan Indonesia Timur
dan kebutuhan bahan baku energi (batubara) di Pulau Jawa membuat perairan TNKj
yang tadinya tenang menjadi crowded (bertambah
masalah) oleh kapal niaga/ komersial. Pada tahun 2017 hingga 2018 saat ini
telah terjadi kerusakan terumbu karang yang disebabkan oleh vessel-grounding (kapal kandas) di
perairan pedalaman (dangkal) TNKJ dengan melibatkan 6 buah kapal niaga/
komersial yang bukan tujuan pelabuhan Karimunjawa. Penyelesaian sengketa
lingkungan hidup atas kejadian vessel-grounding
di perairan TNKj, memerlukan perangkat dan teknik untuk melakukan
pengukuran luas kerusakan terumbu karang yang dapat diterima oleh pihak yang
berperkara.
Tujuan
penelitian ini adalah mengetahui manfaat penggunaan drone sebagai alat bantu
pengukuran kerusakan terumbu karang di Gosong Seloka perairan TNKj dan
mengkuantifikasi luas kerusakan ekosistem terumbu karang akibat vessel-grounding
tersebut.
METODE
PENELITIAN
Melaksanakan observasi tidak hanya sebatas melakukan
pengamatan semata terhadap obyek data, tetapi harus mampu menggunakan indera
panca indera pengamat untuk mengamati
(menggunakan mata), mendengarkan (telinga), membaca (pikiran), mencium (hidung)
dan meraba (tangan). Yang harus diperhatikan adalah observer harus menghindari
sifat subyektif pada hasil observasinya (Indriantoro dan Supomo, 1999).
Observasi pada kasus vessel
grounding di Gosong Seloka ini membandingkan 3 teknik yang akan digunakan
yaitu drone murni, drone – swim-time
dan drone – ground-truth measurement. Pada observasi kali ini
mempergunakan drone (pesawat tanpa awak) sebagai alat bantu pada ketiga teknik
yang digunakan. Drone yang digunakan adalah Phantom 4 dilengkapi kamera dengan
kemampuan pengambilan gambar hingga 4.000 x 3.000 pixel .
Teknik drone murni yaitu
pengukuran kerusakan terumbu karang dengan menggunakan analisa citra hasil aerial
mapping yang dihasilkan oleh drone. Diperlukan kemampuan observer untuk
membedakan area terumbu karang rusak akibat vessel grounding dan masih
utuh (tidak rusak). Langkah yang dilakukan adalah 1) Observer membuat rencana
terbang pada lokasi kejadian vessel grounding; 2). Observer melaksanakan
penerbangan drone; 3) Observer melaksanakan analisa citra hasil aerial
mapping untuk mendapatkan spot kerusakan dan luasannya.
Teknik drone – swim-time
yaitu pengukuran kerusakan terumbu karang hasil teknik drone murni dikompilasi
dengan observasi melalui swim-time (snorkeling). Langkah yang
dilakukan adalah 1). Observer merekam hasil analisa citra aerial mapping
yang dihasilkan oleh drone pada teknik drone murni pada panca inderanya; 2).
Observer membuat sketsa pada sabak hasil analisa poin 1; 3). Observer
melaksanakan groundcheck dengan swim-time (snorkeling); 4)
Observer menuliskan hasil observasinya pada sabak yang dibawa pada saat swim-time
; 5) Setelah selesai groundcheck, observer melaksanakan analisa pada program
GIS.
Teknik drone – ground-truth
measurement (pengukuran insitu) yaitu tahapan pada teknik drone murni dan
drone – swim-time dikompilasi dengan pengukuran area kerusakan
secara standar dibantu peralatan scuba gear (diving atau selam). Langkah
pelaksanaan teknik ini adalah : 1) Observer merekam hasil analisa citra aerial
mapping yang dihasilkan oleh drone pada teknik drone murni pada panca
inderanya; 2). Observer membuat sketsa pada sabak hasil analisa poin 1; 3).
Observer melaksanakan groundcheck dengan swim-time
(snorkeling); 4). Observer dengan menggunakan pertimbangan tertentu
merencanakan pengukurang titik kerusakan terumbu karang secara ground-truth
measurement menggunkan kuadran bergrid (square grid) ukuran 1 meter
x 1 meter dengan grid 10 cm x 10 cm; 5) Observer melakukan diving dan melakukan
pengukuran pada masing-masing titik kerusakan karang (patch damage); 6) Observer mencatat
hasil pengukuran pada sabak yang dibawa
Pertimbangan yang melandasi pengukuran
titik kerusakan terumbu karang menggunkan kuadran bergrid (square grid) adalah
1) bentuk titik kerusakan terumbu karang irregular (tidak berbentuk);
dan 2) letaknya berupa spot – spot yang menyebar.
Kriteria kerusakan khusus pada tingkatan status koloni
karang ini dikategorikan dengan mengestimasi persentasi ’mortality dan partial
mortality’ karang mati (Gomez et al 1994,
Ginsburg et al 1998, DeVantier and
Done (2007) adalah 1) Pada area
terdampak langsung luasan mortalitas karang (m2) = (M + PM/2),
dimana M = Jumlah kotak penuh karang mati, PM (partial) = Jumlah kotak ½ penuh; dan 2) Pada area tidak terdampak
langsung (dispersal zone) yaitu reruntuhan pecahan/patahan karang
di sekitar perimeter patch damage,
perhitungan didasarkan atas panjang lingkaran (keliling) dengan formula luas lingkarans (m2) = phi x r2 , dengan
formula mencari r = keliling/2phi dimana : phi =3,14.
.Hasil luasan mortalitas karang dengan metode kuadran grid, merupakan nilai absolut
dari luas kerusakan karang mati yang terdampak langsung. Luas kerusakan karang
terdampak tidak langsung (dispersal zone)
merupakan sebaran dari reruntuhan karang, pecahan dan patahan karang yang masih
memiliki kemungkinan untuk bertahan hidup (coral
of oppurtunities).
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Peristiwa vessel
grounding di Gosong Seloka pada tanggal 2 Februari 2018, merupakan kejadian
pertama yang mengakibatkan kerusakan ekosistem terumbu karang pada tahun 2018. Posisi
vessel grounding berada pada titik
koordinat S.050 51.290’ dan E. 1100 29. 276’ yang berada
di perairan Gosong Seloka pada Zona Tradisional Perikanan. Atas kejadian
tersebut Balai Taman Nasional Karimunjawa dan Direktorat Penyelesaian Sengketa
Lingkungan Hidup melaksanakan verifikasi lapangan atas kejadian tersebut.
Penyelesaian
sengketa lingkungan hidup didasarkan pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009
tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Peraturan Pemerintah
dan Perturan Pemerintah Nomor … Pada saat pelaksanaan verifikasi, Tim personal
Balai TNKj yang tergabung dalam Tim Join Survey melaksanakan semacam penelitian
terhadap kegiatan yang dilaksanakan. Personil TNKj melakukan analisa pengukuran
kerusakan terumbu karang membagi mejadi 3 teknik yaitu drone murni, drone – swim-time dan drone – ground-truth
measurement.
1.
Teknik
Drone Murni
Pelaksanaannya
tergantung pada kemampuan drone melakukanaerial
mapping dan kemampuan observer menganalisa citra yang dihasilkan pada
aplikasi GIS. Observer harus mampu membedakan citra terumbu karang yang masih
utuh (tidak rusak) dan rusak akibat vessel
grounding.
Hasil
analisa citra berupa penampakan terumbu karang yang rusak, dilakukan deliniasi
untuk menghasilkan polygon yang akan
memberikan informasi luas kerusakan terumbu karang dalam satuan meter persegi
secara otomatis.
Hasil analisa citra menunjukkan 16 titik kerusakan (patch damage) dengan luas bervariasi.
Hasil deliniasi memberikan gambaran bahwa luas kerusakan masing – masing titik
bervariasi antara 0,51 m2 sampai dengan 54,2 m2. Luas
total hasil deliniasi adalah 155 m2 (Gambar 2).
2.
Teknik drone – swim-time
Teknik
ini merupakan kompilasi drone murni dengan kemampuan observer akan pengetahuan
untuk membedakan kerusakan terumbu karang akibat vessel grounding atau atau sebab lainya. Pelaksanaannya, melalui
snorkeling untuk menjelajah area yang terdampak vessel grounding.
Gambar 3. Hasil
perhitungan kerusakan terumbu karang di Gosong Seloka dengan teknik drone murni
– swim-time
Hasil
analisa citra yang dihasilkan dari aerial
mapping oleh drone dikompilasi dengan melakuka ground-check melalui snorkeling. Observer selain menyimpan gambaran
citra dalam inderanya juga membuat sketsa dalam sabak untuk dibawa ke dalam
kolom perairan, sebagai alat bantu mengingat dan membandingkan dengan konsdisi
lokasi yang sebenarnya.
Hasil kompilasi ini
menunjukkan luas kerusakan terumbu karang 161 m2 dengan titik
kerusakan terumbu karang hanya 14 spot. Artinya berbeda 2 titik dibandingkan
dengan citra aerial mapping yang
dihasilkan drone. Pelaksanaan snorkeling dapat diidentifikasi bahwa 2 titik di
atas adalah titik kerusakan terumbu karang yang diakibatkan oleh bleaching (pemutihan terumbu karang)
yang mungkin disebabkan oleh pemanasan global atau penggunaan potassium sianida
untuk menangkap ikan.
3.
Teknik drone – ground-truth measurement
Berdasarkan hasil observasi kerusakan terumbu
karang dibagi dua tipe yaitu massive pada 2 titik yaitu 1m sampai dengan 2m, dan
tipe parsial berjumlah 12 titik kerusakan dari 3m, 4p sampai dengan 14p
(Gambar 3). Tipe massive dibedakan menjadi dua yaitu massive damage pada titik 1m dan 3m dan absolute damage pada titik 3m, 4p sampai 14p pada bagian atas patch-reef. Sedangkan tipe parsial
terjadi pada bagian bawah patch-reef
akibat runtuhan dari bagian atasnya.
Karakteristik kerusakan dan kematian karang serta luasan areal per
titik lebih detail dapat dilihat pada Tabel 1 dan 2.
Tabel 1. Titik kerusakan
terumbu karang terdampak langsung (quadran
grid area)
No.
|
Titik Kerusakan
(Langsung)
|
Karakteristik
Kerusakan
|
Jumlah
Kuadan
|
Luas (m2)
Absolut
|
Mortalitas
(%)
|
1.
|
Massive
damage 1m
kedalaman 0.5m
|
Montipora,
Acropora, dll terlindas/ tergilas hancur, terpotong (fragmentasi, rubble)
|
60
|
50.93
|
100
|
2.
|
Massive
damage 2m
kedalaman 0.75m
|
Montipora,
Acropora, Favites, Favia dll terlindas/ tergilas hancur, terpotong (fragmentasi,
rubble)
|
45
|
41.28
|
100
|
3.
|
Patch damage
3m
kedalaman 2-3m
|
Porites
massive, mix species terlindas/ tergilas hancur terpotong (fragmentasi,
rubble)
|
8
|
6.42
|
100
|
4.
|
Patch damage
4p
kedalaman 1m
|
Porites
massive, mix species terlindas/ tergilas hancur terpotong (fragmentasi,
rubble)
|
10
|
9.10
|
100
|
5.
|
Patch damage
5p
kedalaman 0.5m
|
Porites
massive terlindas/ tergilas hancur terpotong (fragmentasi, rubble)
|
2
|
1.58
|
100
|
6.
|
Patch damage
6p
kedalaman 1m
|
Porites
massive terlindas/ tergilas hancur terpotong (fragmentasi, rubble)
|
1
|
0.82
|
100
|
7.
|
Patch damage
7p
kedalaman 2m
|
Porites
massive terlindas/ tergilas hancur terpotong (fragmentasi, rubble)
|
3
|
1.66
|
100
|
8.
|
Patch damage
8p
kedalaman 2m
|
Porites
massive, mix species terlindas/tergilas hancur terpotong (fragmentasi,
rubble)
|
3
|
1.85
|
100
|
9.
|
Patch damage
9p
kedalaman 1m
|
Porites
massive terlindas/ tergilas hancur terpotong (fragmentasi, rubble)
|
2
|
1.21
|
100
|
10.
|
Patch damage
10p
kedalaman 1m
|
Porites
massive, mix species terlindas/ tergilas hancur terpotong (fragmentasi,
rubble)
|
5
|
2.00
|
100
|
11.
|
Patch damage
11p
kedalaman 2m
|
Porites
massive, mix species terlindas/ tergilas hancur terpotong (fragmentasi,
rubble)
|
4
|
2.66
|
100
|
12.
|
Patch damage
12p
kedalaman 2m
|
Porites
massive, mix species terlindas/ tergilas hancur terpotong (fragmentasi,
rubble)
|
4
|
3.46
|
100
|
13.
|
Patch damage
13p
kedalaman 2m
|
Porites
massive terlindas/ tergilas hancur terpotong (fragmentasi, rubble)
|
2
|
1.26
|
100
|
14.
|
Patch damage
14p
kedalaman 3m
|
Porites
massive terlindas/ tergilas hancur terpotong (fragmentasi, rubble)
|
5
|
3.74
|
100
|
Total
|
154
|
127.97
|
100
|
Sumber : Data primer yang diolah
Berdasarkan pengukuran secara insitu (ground-truth), observer membagi area kerusakan terumbu karang
menjadi dua yaitu area terdampak langsung atau bisa disebut sebagai tranjectory zone atau hull footprint)
dan area terdampak tidak langsung (dispersal
zona).
Areal terdampak langsung jelas terlihat bekas kandasnya kapal (trajectory/
hull footprint) yang merupakan areal utama tempat badan kapal kandas,
menabrak, dan melindas. Pada areal ini dicirikan dengan tipe kerusakan massive
pada koloni-koloni karang dengan berbagai bentuk pertumbuhan dan jenisnya. Tipe
kerusakan massive dicirikan koloni karang terlindas/ tergilas hancur dan
terpotong serta mortalitas 100% (Tabel 1).
Area terdampak tidak langsung berupa patahan-patahan karang dan
reruntuhan koloni karang yang jatuh di sekitar titik utama kerusakan. Area terdampak tidak langsung disebut juga dispersal zone dan dicirikan dengan tipe
kerusakan parsial. Tipe kerusakan parsial yaitu titik-titik kerusakan pada satu
atau lebih koloni karang yang tersebar berjauhan berupa reruntuhan koloni
karang berbentuk fragmentasi rubble/ sedimen berbagai ukuran (Tabel 2).
Tabel 2. Titik kerusakan
terumbu karang terdampak tidak langsung (coral
of oppurtunities)
No.
|
Titik Kerusakan
(Langsung)
|
Karakteristik
Kerusakan
|
Jumlah
Kuadan
|
Luas (m2)
Absolut
|
Mortalitas
(%)
|
1.
|
Mass. dispersal 1m
|
Fragmentasi rubble/ sedimen menyatu
|
0
|
0
|
100
|
2.
|
Mass. dispersal 2m
|
Fragmentasi rubble/ sedimen menyatu
|
0
|
0
|
100
|
3.
|
Patch. dispersal 3m
|
Reruntuhan fragmentasi rubble/ sedimen
|
10.10
|
1.70
|
50%
|
4.
|
Patch dispersal 4p
|
Reruntuhan fragmentasi rubble/ sedimen
|
18.7
|
18.74
|
50%
|
5.
|
Patch dispersal 5p
|
Reruntuhan fragmentasi rubble/ sedimen
|
5.3
|
0.66
|
50%
|
6.
|
Patch dispersal 6p
|
Reruntuhan fragmentasi rubble/ sedimen
|
4.6
|
0.86
|
50%
|
7.
|
Patch dispersal 7p
|
Reruntuhan fragmentasi rubble/ sedimen
|
8.3
|
3.82
|
50%
|
8.
|
Patch dispersal 8p
|
Reruntuhan fragmentasi rubble/ sedimen
|
9.2
|
4.89
|
50%
|
9.
|
Patch dispersal 9p
|
Reruntuhan fragmentasi rubble/ sedimen
|
5.9
|
1.56
|
50%
|
10.
|
Patch dispersal 10p
|
Reruntuhan fragmentasi rubble/ sedimen
|
10.7
|
7.12
|
50%
|
11.
|
Patch dispersal 11p
|
Reruntuhan fragmentasi rubble/ sedimen
|
8
|
2.44
|
50%
|
12.
|
Patch dispersal 12p
|
Reruntuhan fragmentasi rubble/ sedimen
|
8.6
|
2.43
|
50%
|
13.
|
Patch dispersal 13p
|
Reruntuhan fragmentasi rubble/ sedimen
|
7.73
|
3.50
|
50%
|
14.
|
Patch dispersal 14p
|
Reruntuhan fragmentasi rubble/ sedimen
|
12.53
|
8.76
|
50%
|
Total
|
109.66
|
56.48
|
50%
|
Sumber : Data
primer yang diolah
Tabel 3. Hasil perhitungan luasan area
kerusakan terumbu karang di Gosong Seloka akibat vessel grounding.
No.
|
Titik Kerusakan
|
Luas
(m2)
|
Mortalitas
(%)
|
1.
|
Direct Impact : Absolut
damage (3m, dan 4p – 14p)
|
35,76
|
100
|
Massive
damage (1m
– 2m)
|
92,21
|
100
|
|
2.
|
Dispersal zone 3m, 4p – 14p (coral of oppurtunities)
|
56,48
|
50
|
Total kerusakan
terumbu karang di Gosong Seloka
|
184,45
|
Sumber : Data
primer yang diolah
Hasil pengukuran dengan teknik drone – ground-thruth measurement menghasilkan
kerusakan terumbu karang di Gosong Seloka seluas 184,45 m2. Sesusai
dengan Table 3 bahwa pada saat pengukuran kematian terumbu karang 100% terjadi
di titik kerusakan 1m dan 2m karena kerusakannya begitu massive hingga
membentuk cekungan yang diakibatkan tergerus oleh lunas bagian halauan yang
berbentuk V. Kematian 100 % juga terjadi pada titik 3 m dan 4p – 14p pada
bagian atas patch reef disebabkan
gesekan dengan lambung kapal. Kematian 100% terjadi pada area yang terdampak
langsung.
Pada area yang tidak terdampak langsung yaitu pada titik kerusakan 3m,
dan 4p -14p, prosentase kematian pada saat pengukuran, diestimasi sebesar 50%
(artinya peluang mati dan hidup adalah 50%). Prosentase kematian dapat
meningkat seiring dengan berjalannya waktu, artinya waktu pelaksanaan
pengukuran semakin jauh dari waktu saat kejadian kejadian akan menyebabkan
prosentase kematian akan semakin besar terutama jika reruntuhan fragmentasi
rubble tidak mendapat dudukan yang sangat statis. Jika mendapat dudukan yang
statis reruntuhan fragmentasi rubble akan dapat bertahan hidup.
Gambar 2. Kumpulan foto yang menunjukkan
kareakteristik dan tipe kerusakan terumbu karang di Gosong Seloka, TNKj akibat vessel-grounding.
Perbandingan Ketiga Teknik
Analisa kerusakan terumbu karang berdasarkan penggunaan teknik drone
murni, drone –swim time, drone – ground-truth measurement, dapat dilihat
pada Tabel 3. Luas kerusakan terumbu karang terendah pada penggunaan drone
murni yaitu 155 m2. Hal ini diduga karena drone menghasilkan foto
dibatasi oleh kedalaman perairan. Semakin dalam perairan maka batas kerusakan
akan semakin tidak tampak, bahkan tidak dapat menghasilkan foto terumbu karang
pada kedalaman lebih dari 5 meter walaupun perairannya cerah. Oleh karena itu
diperlukan ground-check.
Ground-check dengan melakukan snorkeling (swim-time), telah mengkoreksi luasan
kerusakan terumbu karang, jumlah titik kerusakan dan penyebab kerusakan. Luas
kerusakan setelah melakukan snorkeling menjadi 161 m2. Gambar 1 dan
Gambar 2, menunjukkan garis deliniasi polygon yang dihasilkan semakin lebar
pada Gambar 2 setelah dilaksanakan snorkeling. Titik kerusakan terumbu karang
berkurang 2 titik menjadi 14 titik, hal ini disebabkan pada saat snorkeling
dapat diketahui bahwa 2 titik terlihat warna putih di Gambar 1, bukan
disebabkan oleh lindasan vessel grounding
tetapi karena bleaching.
Tabel 3.
Perbandingan ketiga teknik pengukuran kerusakan terumbu karang di Gosong Seloka
No.
|
Uraian
|
Drone Murni
|
Drone – Swim Time
|
Drone – Ground-truth
measurement
|
1.
|
Luas kerusakan
terumbu karang
|
155m2
|
161 m2
|
184,45 m2
|
2.
|
Titik
Kerusakan terumbu karang
|
16 titik
|
14 titik
|
14 titik
|
3.
|
Penyebab
kerusakan terumbu karang
|
Tidak dapat
dibedakan
|
Bleaching dan lindasan kapal
|
Bleaching dan lindasan kapal
|
4.
|
Tipe
kerusakan terumbu karang
|
Tidak dapat
dibedakan
|
Tidak dapat
dibedakan
|
Tipe massive
dan parsial
|
Sumber : Data
primer yang diolah
Ground-check dengan pelaksanaan ground-truth measurement lebih mengkoreksi luasan kerusakan terumbu
karang menjadi 184,45m2. Titik kerusakan saat ground-truth measurement sama seperti saat snorkeling.
Indentifikasi menjadi lebih jelas, karena terumbu karang yang mengalami bleaching masih utuh bentuk pertumbuhannya
dan tidak diketemukan fragmentasi rubble karang
pada bagian bawah patch-reef.
Kelebihan ground-truth measurement,
observer dapat mengidentifikasi tipe kerusakan terumbu karang.
Kelebihan utama ground-truth
measurement adalah observer mampu membawa peralatan standar pengukuran dan
melaksanakan pengukuran yang yang lebih detail di lokasi. Kondisi ini
memungkinkan pengukuran kerusakan terumbu karang yang tidak dapat muncul dengan
jelas ketika hanya menggunakan foto aerial mapping yang dilaksanakan drone. Drone
dapat menghasilkan gambar kerusakan terumbu karang pada tipe massive baik massive damage maupun absolute damage yang terletak dibagian
atas dari patch-reef. Citra yang
dihasilkan berwarna putih kompak dan jelas. Sedangkan pada tipe kerusakan
terumbu karang parsial di dispersal zone,
drone tidak dapat melakukan pengambilan gambar aerial mapping karena letaknya
di bagian bawah patch-reef (lebih
dalam) dan tersebar dengan berbagai ukuran yang lebih kecil bahakan dalam
bentuk sediment halus yang dapat yang dapat menutupi polip karang dan multnya
sehingga dapat menyebabkan kematian. Karena tersebar dan ukuran fragmentasi
rubble lebih kecil tidak mampu menghasilkan citra gambar warna putih yang
kompak dan jelas.
Drone merupakan perangkat yang dapat menghasilkan citra lokasi
terjadinya vessel grounding di Gosong
Seloka. Citra tersebut memberikan informasi awal tentang penampakan foto yang
berbeda di area terumbu karang. Terumbu karang yang terdampak vessel grounding memberikan citra dengan
warna putih kompak. Tetapi kondisi tersebut memerlukan ground-check untuk membuktikan apakah warna putih kompak itu karena
akibat vessel-grounding atau bukan.
Hasil ground-check menunjukkan ada
2 titik kerusakan yang disebabkan oleh bleaching. Artinya citra hasil aerial-mapping oleh drone, memerlukan
syarat ground-check untuk memastikan
kerusakan terumbu karang di suatu lokasi. Drone juga menjadi penuntun awal
sebelum melaksanakan pengukuran kerusakan terumbu karang melalui ground-check dan meminimalisir area
pengukuran serta menghemat waktu pelaksanaan pengukuran.
Pengukuran luasan terumbu karang yang rusak, khususnya dalam kasus vessel-grounding memerlukan pengukuran
yang mempunyai standar ilmiah untuk dapat diterima dalam penyelesaian sengketa
lingkungan hidup di luar pengadilan, pengadilan dan administratif. Tidak
mungkin hanya mengandalkan deliniasi dari citra hasil aerial mapping oleh drone, karena mempunyai keterbatasan seperti
yang diungkapkan di atas. Selain menggunakan formula yang telah diakui secara
ilmiah dan mempunyai daya nalar (logika), juga memerlukan peralatan yang
standar pengukuran, seperti meteran yang telah mempunyai SNI (Standar Nasional
Indonesia).
KESIMPULAN
Berdasarkan
hasil penelitian dan pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa :
1. Penggunaan drone dalam kasus vessel-grounding
kerusakan terumbu karang di Gosong Seloka perairan TNKj adalah alat bantu yang
dapat memberikan informasi awal tentang kerusakan terumbu karang berdasarkan
penampakan citra yang dihasilkan dan menuntun area ground-check.
2. Luas
kerusakan ekosistem terumbu karang di Gosong Seloka adalah 184,45 m2.
DAFTAR PUSTAKA
DeVantier LM, Done (2007). Inferring Past Outbreaks of The Crown-of
Thorns Seastar from Scar Patterns on Coral Heads (in Geological approaches to
coral reef ecology) Editor. RB Aronson. Springer, p85-125.
Ginsburg, Robert N.; Gischler, Eberhard;
Kiene, William E., 2001. Partial mortality of massive reef-building corals: an
index of patch reef condition, Florida Reef Tract. Bulletin of Marine Science,
Volume 69, Number 3, November 2001 , pp. 1149-1173(25).
Gomez ED, Alino PM, Yap HT, Licuanan WY (1994) A
reviewof the status of Philippine Reef. Mar Pollut Bull 29: 62-68
Indriantoro, N., dan Supomo B. (1999). Metodologi Penelitian Bisnis
untuk Akutansi dan Manajemen. Yogyakarta. BPFE.
UCAPAN TERIMA KASIH
1. Sutris Haryanta, SH. Kepala Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah 2 Karimunjawa
2. Kristiawan, S. Bio. PEH Ahli Muda (Wakasie SPTN Wilayah 2 Karimunjawa)
3. Yusuf Syaifudin, S.Bio., M.A. PEH Ahli Muda (Humas Balai TNKj)
4. Mulyadi. Wali Data Balai TNKj
Makalah di atas jika isinya diprosentasekan hanya 10% dari Laporan Kerusakan Terumbu Karang di Gosong Seloka akibat vessel grounding.
Jika tidak ada halangan, makalah di atas akan kami presentasikan di Universitas Hang Tuah Surabaya tanggal 12 Juli 2018.
Mohon dukungan dari pembaca berupa doa, masukan dan saran. Amien
Makalah di atas jika isinya diprosentasekan hanya 10% dari Laporan Kerusakan Terumbu Karang di Gosong Seloka akibat vessel grounding.
Jika tidak ada halangan, makalah di atas akan kami presentasikan di Universitas Hang Tuah Surabaya tanggal 12 Juli 2018.
Mohon dukungan dari pembaca berupa doa, masukan dan saran. Amien
Tidak ada komentar:
Posting Komentar